Indramayu, Demokratis
Sejak Maret 2016 lalu masyarakat di Kelurahan Panjunan, Kota Cirebon, sudah mengalami dampak dari bongkar muat batubara yang berada di Pelabuhan Kota Cirebon, Jawa Barat.
Hasil bongkar muat tersebut memberi polusi pada udara yang bercampur dengan debu batubara. Betapa mengerikannya efek debu batubara tersebut jika terus-terusan terhirup oleh manusia. Terlebih lagi debu batubara yang hinggap di pemukiman warga, di rumah makan dan di sekolahan tempat anak-anak berlangsung menimba ilmu.
Perjuangan warga Panjunan bersama elemen masyarakat Kota Cirebon dan organisasi-organisasi pemuda dilakukan secara bertahap mulai dari lapor kepada Pemerintah Daerah (Pemda) Kota Cirebon, DPRD Kota Cirebon dan dinas-dinas terkait.
Sampai pernah mediasi dengan pihak KSOP dan Pelindo yang akhirnya perjuangan ditutup dengan keluarnya peringatan dari Kementerian Lingkungan Hidup. Peringatan tersebut berisi tentang pemberhentian sementara aktivitas bongkar muat sampai pada pemenuhan dan kajian lebih lanjut oleh pihak Pelindo.
Sampai pada September 2016 dibuka kembali aktivitas bongkar muat batubara yang konon Pelindo sudah melengkapi keamanan-keamanan bongkar muat batubara agar tidak menimbulkan debu yang mencemari udara. Yaitu dengan menyemprotkan air ke batubara sebelum dan sesudah dimuat ke mobil pengirim. Selain itu, menjanjikan pemberian beberapa kontribusi kepada masyarakat yang terkena dampak debu batubara serta kepastian tidak ada debu batubara yang keluar area bongkar muat.
Hingga kini, janji-janji tersebut dipenuhinya sebatas 3 tahun. Sekarang musim kemarau mulai melanda dan debu batubara akan “mengudara” lagi. Hinggap kembali ke pemukiman, makanan, sekolah serta paru-paru warga Panjunan.
Masyarakat panjunan resah, melakukan advokasi ke pihak Pelindo. Namun tidak dipertemukan kepada orang yang bertanggung jawab atas semua itu. Melainkan dari salah satu petugas pelabuhan yang menyatakan bahwa penyemprotan batubara tidak dilakukan karena tidak ada air.
Menurut Arif Setiawan selaku Sekretaris Jenderal (Sekjend) Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Kota Cirebon, Jumat (13/09), menyatakan bahwa keterangan dari pihak Pelindo hanyalah alasan yang tidak bertanggung jawab.
“Alasan yang ubahnya sangat tidak masuk akal jika tidak ada air bagi suatu perusahaan, apalagi sekelas Pelindo. Dulupun pernah terjadi penyebaran polusi debu batubara sekitar 3 tahun lalu,” jelasnya.
Selain itu, ia pun menjelaskan kepada awak media bahwa perjuangan tersebut bukanlah hanya kepentingan, namun lebih mengutamakan hak-hak masyarakat yang harus diperjuangkan.
“Kami ikut memperjuangkan udara bersih dari polusi debu batubara, kami bersama masyarakat Panjunan melakukan perjuangan dengan berbagai cara mulai dari surat menyurat, kunjungan dan demonstrasi. Namun pihak Pelindo tidak bergeming sampai pada akhirnya keluar peringatan dari Kementrian LH yang menegur Pelindo menghentikan sementara bongkar muat batubara,” tuturnya.
Tiga tahun berlalu, tambah Arif, kini Pelindo berulah lagi. Ini sangat beresiko bagi kesehatan masyarakat yang ada disekitarnya jika kembali larut didiamkan oleh pihak pengusaha maupun pemerintah yang tidak ada tindakan.
“Apakah ini yang dinamakan bisnis di atas kemanusiaan? Jika iya, lebih baik bisnis tersebut ditutup saja jika harus mengorbankan nyawa sebab sudah tidak dalam koridor perundang-undangan,” tegasnya. (R Tarigan)