Mendiskusikan kejayaan Islam wal muslimin dan kekerasan teologis dalam arti tafsir kebenaran mutlak dalam intern agama adalah dua konsep yang tidak mungkin bisa disatukan. Ibarat air dan minyak. Bersinggungan namun tidak bersatu. Sampai kapanpun.
Kata izzul Islam wal muslimin atau kejayaan Islam dan umatnya adalah cita-cita perjuangan umat Islam. Bagi bangsa Indonesia ini sudah ditorehkan para pahlawan dan pendiri bangsa sebelum proklamasi.
Sementara kata kekerasan teologis adalah pandangan hukum Islam sikap memvonis kepada pihak lain dengan hitam putih. Kebenaran absolut menurut fahamnya sendiri, seperti mengkafirkan satu pihak yang tidak sepaham yang banyak terjadi belakangan ini.
Jadi pada konteks ini, cita-cita perjuangan umat Islam bila dikonfrontir dengan teologi kekerasan jelas sebuah masalah yang serius karena tidak ada ujung dan jalan keluarnya. Secara kasat mata kita bisa melihat Timur Tengah dengan Arab Spring. Konflik berkepanjangan berbasis kekerasan teologis. Saling mengkafirkan, saling menuduh antara satu dan lain. Sungguh satu ironi sejarah abad ini.
Untuk solusi mungkin bisa diusulkan pembangunan akhlak mulia baik dalam bidang keumatan secara kultural maupun bidang siyasah kultural.
Mengapa demikian? Karena kondisi itu yakni kejayaan atau Islam berkemajuan banyak halangan dan hambatannya yang bersumber pada problem kultural dan siyasah. Seperti masalah akhlak Islamiyah. Tiada kejayaan Islam tanpa akhlak dan siyasah.
Dua faktor ini agaknya kunci masalah dan merupakan faktor dominan. Secara narasi penelitian kejayaan adalah tujuan faktor terikat. Sementara ahlak adalah faktor bebas.
Singkat kata, dengan demikian kejayaan Islam ditentukan oleh faktor akhlak. Semakin positif sumbangan faktor akhlak semakin maksimal tercapai tujuan. Sebaliknya jika negatif atau gagal sumbangan akhlak semakin gagal pencapaian kejajaan Islam.
Persoalan di atas bisa dibentangkan sebagai berikut:
Pertama, yaitu adanya persoalan karena ketidakberhasilan bidang akhlak. Akhlak diartikan adalah perilaku yang baik, jujur dan amanah. Sebutlah bidang siyasah atau politik, tanpa akhlak mencerminkan perpecahan, sikut-menyikut antar sesama. Jauh dari istiqomah dan lupa diri. Padahal agama memberi arah agar istiqomah persatuan diwujudkan.
Kedua, ketidakberhasilan dalam siyasah kita gagal membangun taaruf. Kita membiarkan hoaks berita bohong dan fitnah. Padalhal kita diajarkan taaruf. Saling tegur sapa, saling cek dan ricek tentang suatu kebenaran informasi dan saling nasihat-menasihati dalam kesabaran.
Dua sisi ini ibarat satu mata uang tidak bisa dipisahkan. Di situ kita mengalami persoalan berat yang harus diselesaikan agar tujuan kejayaan Islam wal muslimin tercapai. Yang lain boleh diurus belakangan. Ini membawa kesimpulan bahwa ada dua faktor penentu umat Islam dalam menuju masa depannya. Tanpa itu kita akan gagal dan hina di hadapan mahkamah sejarah. Pertanyannya bagaimana upaya yang harus dilakukan.
Hemat penulis peran maksimal dalam mengimplementasikan dan akhlak mulia dimaksud dengan pemahaman dan aplikasi di lapangan dapat mengatasi persoalan akhlak. Satu paket kemasan fatwa yaitu menegakkan ahklak mulia dan memasyarakatkan ukhuwah Islamiyah.
Kita tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada masa depan dengan masyarakat tanpa akhlak. Mungkin ini dapat menjadi pesan kepada organisasi Islam untuk umat dan bangsa ini. Kajayaan Islam dan umatnya jauh dari kekerasan teologis. Semoga!
Jakarta, 10 Januari 2021
*) Masud HMN adalah Doktor Dosen Pascasarjana Universitas Muhammdiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta