Rabu, Juli 2, 2025

Para Pedagang Pasar Kalijati Resah

Subang, Demokratis

Pasca terbakarnya Pasar Kalijati pada September 2019 lalu, membuat para pedagang galau berkepanjangan seiring dengan merebaknya pandemi Covid-19 yang berakitbat daya beli masyarakat melemah dan berimbas pada omset dagangan yang kian hari semakin menurun.

Belakangan diketahui para pedagangnya semakin resah karena keinginan peninjauan kembali kebijakan manajemen pengembang (developer) PT SRM terkait harga kios dan site plan yang dirasa memberatkan belum mendapat respon sebagaimana diharapkan.

Tak hanya itu, pihak pengembang PT SRM yang akan membangun pasar berbiaya Rp 60 miliaran untuk 700 kios/toko, ketika berkomunikasi dengan pedagang terkait transaksi booking kios/toko misalnya, terkesan selalu mengintimidasi.

Seperti dalam surat pemberitahuan tertanggal 12 November 2020 berisi “Apabila batas waktu di tanggal tersebut tidak mendaftar, maka hak mendapatkan discount dan prioritas letak kiosnya ditiadakan” dan surat pemberitahuan 21 November 2020 “Apabila pedagang tidak memenuhi ketentuan kami, maka uang tanda jadi (UTJ) kami anggap batal dan unit bisa kami alihkan ke pedagang lain” serta surat pemberitahuan 23 November 2020 “Apabila bapak/ibu tidak memenuhi ketentuan UTJ s/d 30 November 2020, maka dengan berat hati kami menganggap bapak/ibu telah membatalkan pesanan unit”.

Ketua Solidaritas Perjuangan Pedagang Pasar Kalijati (SP3K) Yudi Kudrat Permana didampingi Sekeratis Imron Rohim dan Bendahara Susanti di sebuah tempat di Desa Kaliangsana (7/1) kepada awak media mengungkapkan, permasalahan ini sudah disampaikan melalui Pemerintahan Desa Kalijati melalui surat No 001/SPPPK/XI/2020, tanggal 23 November 2020 dan telah mempertemukan pengembang dengan para pedagang namun belum didapat kesepakatan.

“Tidak diperolehnya kesepakatan menurut penilaian SP3K pihak Pemerintahan Desa diduga tidak bersikap netral bahkan terkesan cenderung memihak kepada pengembang. Ada apa ini Pemerintah Desa Kalijati Timur?” tanya Yudi heran.

Untuk mencari solusi persoalan ini, juga telah digelar audensi diprakarsai Komisi II DPRD Subang pada 25 November 2020, namun lagi-lagi hasilnya belum sesuai keinginan para pedagang.

Berangkat dari kondisi ini, pihaknya ingin digelar pertemuan susulan antara para pedagang (SP3K-red) dengan pengembang yang difasilitasi oleh institusi yang bisa bersikap netral seperti SKPD terkait di tingkat kabupaten, Pemcam Kalijati atau Komisi II DPRD/anggota DPRD Dapil Kalijati.

Analisa Yudi yang akrab disapa Otoy, mengungkapkan sudah diketahui akar masalahnya cukup simpel, bagaimana bisa mewujudkan pertemuan yang fair guna membahas keinginan masing-masing pihak untuk mencapai kata mufakat.

Di antaranya hal yang subtansial ihwal harga kios/los pasar. Keinginan pengembang/developer harga kios bawah Rp 18.000.000/m2, kios atas Rp 15.000.000/m2, lemprakan (lapak basah) Rp 11.000.000/m2, lemprakan (lapak kering) Rp 9.600.000/m2. Sementara penawaran pedagang harga kios bawah Rp 13.000.000/m2, kios atas Rp.10.500.000/m2, lemprakan (lapak bawah) Rp 7.700.000/m2, lemprakan (lapak kering) Rp 6.700.000/m2.

Dalam prosesnya saat berlangsung pertemuan bisa dibahas hal-hal teknis secara transparan (terbuka) semisal tawar menawar harga. “Ada pepatah bata turun keusik naek (Sunda : bata turun pasir naik) sehingga dimungkinkan cepat diperoleh titik temu, setidaknya merujuk harga kios/toko di Pasar Purwadadi,” ujar Yudi.

Tidak seperti yang dikehendaki pihak pengembang, pedagang bila ingin menawar harga agar datang saja ke pihak manajemen secara perorangan. Hal ini menurut Otoy bisa ditafsirkan tidak transparan, dikhawatirkan memicu kecemburuan sosial di antara para pedagang itu sendiri. Lantaran bisa saja pengembang memperlakukan berbeda-beda terhadap pedagang.

“Ada yang diberi harga mahal dan sebaliknya, tergantung kebijakan pihak manajemen, jadi tidak seragam,” tandasnya. Hal ini pula yang membingungkan calon konsumen, sehingga tak sedikit pedagang yang sudah membayar uang tanda jadi (UTJ) diambil kembali.

Merujuk penawaran harga pada nominal itu, tambah Yudi, dipandang rasional, pertimbangannya didasarkan dari pendapatan perorangan. Jika dikalkulasi rata-rata pendapatan Rp 3 juta/bulan dipotong biaya hidup, makan, listrik, iuran retribusi desa, keamanan, kebersihan ditotal Rp 2 juta/bulan, sehingga sisanya tidak akan mencukupi untuk membayar cicilan kios/toko yang ditawarkan pengembang.

Tak hanya itu, para pedagang juga meminta kesediaan pengembang mengakses tuntutan SP3K untuk meninjau kembali di antaranya rencana pembangunan ruko-ruko di depan area pasar, pasalnya akan berdampak mematikan kios-kios yang berada di belakangnya; para pedagang bersedia membayar cicilan DP 30 persen setelah diterimanya kunci, sedangkan sisanya 70 persen siap dicicil selama enam tahun.  Para pedagang meminta masa waktu hak guna bangunan minimal 30 tahun.

Seperti diketahui, lanjut Yudi negoisasi lanjutan harga kios/los pasar ini patut dilakukan, pasalnya MoU sebelumnya yang dibuat antara pengembang dengan Asosiasi Pedagang Kalijati/ASPAK (wadah para pedagang Kalijati sebelumnya-Red) dinilai prematur, karena prosesnya hanya melibatkan para pengurus box saja, sehingga dianggap tidak mewakili para pedagang secara keseluruhan.

“Seharusnya terlebih dahulu mendapat persetujuan dari para pedagang baik besaran harga kios maupun site plan, bukan klaim sepihak yang pada akhirnya menimbulkan salah pengertian (misunderstanding),” ujarnya.

Camat Kalijati Ahmad Hidayat SE ketika dikonfirmasi via seluler (7/1) terkait adanya keresahan para pedagang pasar, mengaku belum mengetahui secara detail, lantaran pihak Pemerintah Desa Kalijati Timur sejak awal perencanaan pembangunan pasar cenderung tidak melibatkan unsur Muspika secara intens.

“Peran kami dalam membina penyelenggaran pemerintahan desa lebih bersifat memfasilitasi. Jadi untuk mendapatkan informasi secara utuh dipersilahkan menghubungi pihak desa,” tutur Camat mengarahkan.

Kades Kalijati Timur Ahadiyat Awaludin saat dikonfirmasi ihwal keresahan dan keluhan pedagang pasar via WhatsApp (9/1) pihaknya menyangkal atas tudingan miring yang dialamatkan kepada instusinya bila sikapnya tidak pro pedagang.

“Faktanya kami sudah memfasilitasi pertemuan antara pedagang dan pengembang, tapi diakui memang saat itu deadlock tidak ada  titik temu. Namun pihak pengembang memberi keleluasaan bila pedagang ingin menawar tinggal menghubungi pihak manajemen pemasaran dengan catatan datangnya masing-masing secara perorangan, proses itu nyatanya berjalan dan alhamdulillah sudah banyak yang mendaftar,” ujarnya.

Dikatakannya bahkan bagi pedagang yang menghendaki transaksi setelah bangunan jadi dipersilahkan, pihaknya tidak keberatan dan hal ini akan dikomunikasikan kepada pengembang. “Tetapi lebih jelasnya silahkan saudara menghubungi pihak manajemen di kantornya,” pungkasnya mengarahkan.

Sementara pihak manajemen PT SRM hingga berita ini tayang belum berhasil dimintai keterangannya. (Abh)

Related Articles

Latest Articles