Hari Valentine atau hari kasih sayang yang diperingati setiap tanggal 14 Februari identik dengan cokelat dalam berbagai bentuk. Namun, tahukah Anda bahwa makanan yang dihasilkan dari kakao itu punya sejarah panjang di Tanah Air hingga akhirnya populer sebagai kudapan atau minuman seperti saat ini?
Berbicara mengenai cokelat, ternyata tak bisa dilepaskan dari Minahasa. Kabupaten yang letaknya sekitar 40 km sebelah selatan Manado, ibukota Sulawesi Utara itu menjadi tempat kakao sebagai bahan pembuat cokelat untuk pertama kalinya masuk ke Tanah Air.
Menurut Sejarawan kuliner dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran Fadly Rahman, kakao diperkenalkan oleh orang-orang Spanyol yang berkunjung ke Minahasa pada 1560. Kakao tersebut dibawa dari hutan-hutan tropis di Amerika Tengah dan di Amerika Selatan bagian utara.
Sebelum memperkenalkan kakao ke bumi Nusantara, mereka sudah mempopulerkannya terlebih dahulu di daratan Eropa. Pada pertengahan abad ke-16 beberapa pabrik pengolahan kakao diketahui telah berdiri di benua tersebut, seperti di Lisbon (Portugal), Genoa, Turin (Italia), dan Marseilles (Prancis).
“Pamor kakao sebagai komoditas awalnya kalah dengan kopi dan teh. Pemerintah Hindia Belanda baru gencar mengembangkannya di abad ke-18. Di abad ke-19 seiring dengan meluasnya distribusi hingga mancanegara, produksi kakao mulai ditingkatkan,” ujar Fadly.
Hingga awal abad ke-20 kakao belum menjadi bagian dari industri makanan dan minuman di Tanah Air. Produksi kakao dari seluruh perkebunan yang tersebar di seantero Hindia Belanda seluruhnya diekspor ke Eropa.
Fadly menyebut barulah pada pertengahan abad ke-20 pabrik-pabrik pengolahan kakao bermunculan seiring dengan meningkatnya produksi perkebunan kakao. Kakao yang tidak terserap oleh pasar ekspor akhirnya diolah di dalam negeri.
“Produksi kakao yang surplus kemudian diolah menjadi lemak kakao dan bubuk cokelat. Kemudian bubuk cokelat itu dijadikan sebagai bahan pembuat minuman, menciptakan rasa pada kue-kue atau roti. Ini terinspirasi dari apa yang dilakukan di Inggris, Jerman, dan Perancis,” tuturnya.
Bandung menjadi salah satu pusat pengolahan kakao di Hindia Belanda setelah CJ Van Houten mendirikan pabriknya di kota tersebut pada pertengahan abad ke-20. Sebagai catatan, CJ Van Houten merupakan penemu cara mengekstrak biji kakao menjadi lemak kakao dan bubuk cokelat pada 1828 di Amsterdam, Belanda.
Lebih lanjut, terkait dengan kepopuleran cokelat di Hindia Belanda menurut Fadly tak bisa dilepaskan dari iklan-iklan yang menyebut cokelat punya khasiat tertentu, salah satunya meningkatkan stamina. Kala itu, banyak ditemukan iklan cokelat bubuk yang menyebut minum cokelat dapat meningkatkan gairah seksual peminumnya.
“Cokelat waktu itu walaupun belum ada penelitian secara saintifik sudah diiklankan sebagai penambah gairah atau dipercaya sebagai minuman dengan khasiat afrodisiak. Sesuai dengan apa yang dipercayai oleh suku Maya dan Aztec,” ungkapnya.
Apa yang disampaikan oleh iklan-iklan tersebut dalam perkembangannya ternyata ada benarnya. Tak sedikit penelitian yang membuktikan bahwa cokelat mempunyai fungsi sebagai penambah gairah.
Senyawa yang terdapat dalam cokelat, fenetilamin disebut-sebut mampu membantu pengeluaran hormon endorfin bagi mereka yang mengkonsumsinya. Hormon yang dapat dihasilkan secara alami oleh tubuh itu berfungsi mengurangi efek buruk dari stres dan rasa sakit, melepaskan hormon seksual, menambah nafsu makan dan meningkatkan respons kekebalan tubuh.
Selain itu, yang tak kalah menarik cokelat juga pernah menjadi simbol status sosial bagi mereka yang mengkonsumsinya. Minuman dari bubuk cokelat di era kolonial identik dengan minuman untuk kaum bangsawan.
Hal tersebut tak terlepas dari iklan-iklan yang menyebut cokelat mempunyai banyak manfaat bagi tubuh. Selain itu, harga cokelat yang terbilang tinggi untuk masyarakat pribumi juga ikut menjadi penyebabnya. (*)