Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Pemdes Jatireja Dilanda KKN

Subang, Demokratis

Merebaknya dugaan tindak pidana korupsi yang melanda di sejumlah lembaga Pemerintahan Desa di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, terkait pengelolaan keuangan desa yang berpotensi merugikan keuangan negara/desa, ini dipicu akibat lemahnya implementasi peraturan perundang-undangan serta lemahnya pengawasan dan penerapan sanksi hukum.

Pengelolaan keuangan desa seharusnya merujuk pada asas-asas transparansi, akuntabel, partisipatif, tertib dan disiplin anggaran sebagaimana diamanatkan Undang-undang Desa dan peraturan pelaksanaannya serta UU Keterbukaan Informasi Publik. Namun aspek-aspek itu disinyalir diabaikan oleh sejumlah oknum kepala desa, hal ini menyebabkan keuangan desa sulit dikontrol, sehingga berpotensi terjadi penyelewengan.

Akan halnya dugaan perbuatan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), kini tengah melanda di tubuh Pemerintahan Desa Jatireja, Kecamatan Compreng, Kabupaten Subang, terkait adanya dugaan penyelewengan penggunaan keuangan desa (baca : Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa/APBDes) yang dijadikan ajang korupsi, sehingga berpotensi merugikan keuangan negara/desa mencapai puluhan juta bahkan hingga ratusan juta rupiah.

Di antara penyelewengan anggaran desa itu, yang bersumber dari Bantuan Desa atau lazim disebut dana Pokok-pokok Pikiran (Pokir) dulu populer disebut dana aspirasi. Kades Jatireja Abn ditengarai bersekongkol dengan oknum anggota dewan yang terhormat sebagai aspirator kompak menggasak dana Bantuan Desa (Bandes).

Modus operandi penyelewengan dana itu terjadi mulai dari klaim sepihak, pungutan liar (Pungli) dengan prosentase tertentu, praktek nepotisme, hingga yang paling parah dugaan adanya kegiatan fiktif.

Disebut fiktif, lantaran kegiatannya sendiri tidak direalisasi/dilaksanakan, tetapi administrasi/SPj dibuatkan seolah-olah pembangunan fisiknya diterapkan.

“Sebelum dana dikucurkan calon penerima dana atau pelaksana kegiatan harus bersepakat dahulu dengan oknum-oknum petinggi partai, anggota dewan yang terhormat atau pejabat tertentu mengenai besaran fee,” ujar sumber.

Pembangunan jembatan di Dusun Lamaran RT 03/RW 06 yang menghubungkan antara Dusun Lamaran (Desa Jatireja)-Desa Mekarjaya berbiaya swadaya iuran tanah bantaran PJT, namun diklaim Pemdes Jatireja didanai dari Bandes (APBD Murni TA 2020) Kabupaten Subang. Padahal yang tercatat di nomenklatur SK Bupati No KU.03.11/06/KEP.530-DPMD/2020 Jembatan Jalan Usaha Tani di Dusun Lamaran letaknya di RT 01/RW05 Dusun Lamaran.

Masih menurut sumber tadi, besaran fee yang harus disetor kepada oknum anggota dewan yang terhormat, berkisar antara 10 persen hingga 30 persen dari total pagu anggaran.

Eksesnya bagi Kades akhirnya latah (ikut-ikutan) diduga turut menyunat antara 10 – 20 persen dari pagu anggaran, sehingga dana yang direalisasikan berkisar 60 persen bahkan hingga 50 persen saja.

Hasil investigasi dan keterangan berbagai sumber dihimpun awak media menyebutkan, sejumlah kegiatan yang menyimpang seperti bantuan modal Kelompok Usaha Ternak “Sinar Harapan” mendapat pagu Rp 40 jutaan hanya dibelanjakan domba sebanyak 20 ekor, seharga kisaran Rp 800 ribuan/ekor, sehingga masih tersisa anggaran puluhan juta tidak jelas pertanggungjawabannya.

Ironisnya, kucuran dana yang menggelontor di Desa Jatireja di tahun TA 2020, sebanyak lima titik kegiatan (APBD murni) dan empat titik kegiatan (APBD-P) totalnya mencapai Rp 550 juta, kedapatan kegiatan fisik pembangunan jembatan makam Lamaran (lanjutan), pagu anggaran Rp 100 juta (APBD murni) dan jembatan jalan usaha tani di Dusun Lamaran (RT 01/05), pagu anggaran Rp 100 juta (APBD-P) diduga tidak dilaksanakan (fiktif).

Tak hanya itu, anggaran desa yang diperuntukan modal Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebesar Rp 200 juta (sumber DD) diduga diselewengkan. Pasalnya, kata sumber, sejak dikucurkannya modal sejak tahun 2018 hingga kini belum terlihat progresnya. “Berapa perkembangan asetnya, berapa SHU tiap tahun, sudah seberapa besar kontribusi terhadap APBDes dan manfaat terhadap masyarakat, tidak jelas juntrungannya,” ujarnya.

Lalu seiring di tengah sulitnya perekonomian yang membelit warga Desa Jatireja, akibat terdampak pandemi Covid-19, sehingga keseharian hidupnnya kesusahan kendati kini sudah memasuki masa new normal.

Namun konidisi ini tak menyurutkan niat Kades Jatireja Abn dengan membebani warganya memungut biaya pembuatan sertifikat masal (program redistribusi-Red) sebesar Rp 1 juta/bidang.

Bisa dibayangkan bila dikalkulasi kutipan biaya Rp 1 juta/bidang, maka fulus makruh yang terhimpun dari kuota sebanyak 400 bidang bisa mencapai ratusan juta rupiah.

Padahal menurut ketentuan, warga peserta program mestinya dibebaskan dari biaya pengukuran, BOP panitia, biaya pendaftaran, transportasi petugas ukur karena sudah dibiayai dari APBN. Sedangkan warga peserta program hanya dibebani biaya pengadaan materai kisaran 4-6 lembar, patok tiga buah dan biaya ATK/photo copy warkah dari desa.

Pembangunan jembatan makam Lamaran berbiaya swadaya masyarakat, sudah dibangun sebelum diusulkan dananya dari Bandes, namun diklaim Pemdes Jatireja didanai dari Bandes (APBD-Murni TA 2020) Kabupaten Subang.

Mereka mengeluh dan merasa keberatan atas pungutan biaya yang dikenakan Panitia dan Pemdes setempat.

“Kami ikut menjadi peserta program pembuatan sertifikat massal (redistribusi-Red), biayanya dikenakan Rp 1 juta/bidang,” ujar sejumlah warga yang keberatan disebut identitasnya ketika ditemui awak media (3/4/2021).

Dengan berbagai dalih oknum Panitia Desa dan BPN Subang diduga tetap melakukan Pungli biaya pembuatan sertifikat massal. Presiden RI Jokowi geram bahkan menegaskan bila BPN dan pihak lain memungut biaya, warga agar melaporkan ke aparat penegak hukum karena sejatinya gratis. “Ya dilaporkan saja (ke polisi) kalau memang ada pungutan itu,” ungkap Jokowi seperti dilansir kumparan.com.

Menurut mereka, biaya sebesar itu diklaim hasil rapat dan sosialisasi dengan pihak panitia desa. Namun ironisnya, biaya sebesar itu sudah ditentukan sebelumnya oleh panitia.

“Jadi penentuan biaya bukan hasil musyawarah, besarannya sudah ditentukan pihak panitia desa. Padahal biaya sebesar itu bagi warga yang tidak mampu dirasa memberatkan,” ungkapnya.

Praktek culas Kades tersebut dituding warga sebagai pencuri, lantaran diduga mengutip biaya pembuatan sertifikat massal di luar ketentuan alias pungutan liar (Pungli). Sementara Pungli sendiri bagian tindak pidana korupsi.

Sementara untuk memuluskan pungutan biaya pembuatan sertifikat beraroma Pungli itu, Kades Jatireja disebut-sebut berkolusi dengan BPD setempat, dengan cara menyerahkan uang tutup mulut sebesar Rp 5 jutaan.

Kepala Desa Jatireja Abin saat ingin dikonfirmasi di kantornya, kendati sudah berulang kali awak media berkunjung di kantornya, namun belum berhasil ditemui. Salah seorang Kepala Urusan Nurhaji saat ditemui di ruang kerjanya menerangkan Kades sedang di lapangan, tapi ketika dimintai keterangan ihwal penggunaan Bandes pihaknya menyampaikan jika pembangunan jembatan Jalan Usaha Tani sudah dilaksanakan, tepatnya jembatan yang menghubungkan antara Desa Jatireja – Mekarjaya di Dusun Lamaran RT 03/RW 06 yang mengerjakan pihak ketiga yakni mantan anggota DPRD berinisial Sur.

Tapi diperoleh keterangan, pembangunan jembatan dimaksud pembiyaannya diperoleh dari iuran warga yang memiliki tanah bantaran PJT, dan disokong seorang donatur tokoh masyarakat setempat H Salam.

Sementara pembangunan jambatan makam Lamaran (lanjutan) pihaknya tidak bisa menjelaskan.

Foto: Ilustrasi/Ist

Masih kata Nurhaji, ihwal pungutan biaya sertifikat massal itu sudah hasil kesepakatan warga, sementara peruntukannya meliputi: pengadaan patok, pembelian materai, biaya pengadaan dokumen pendukung, biaya pengangkutan dan pemasangan patok, transportasi petugas/panitia desa, dari dan ke kantor Pertanahan guna urus perbaikan dokumen yang diperlukan.

“Kesemua biaya ditanggung oleh pantia desa, sementara dari Kantor Pertanahan kami tidak terima biaya,” kilahnya.

Adapun penggunaan dana BUMDes menurut Nurhaji dari permodalan sebesar Rp 200 juta diperuntukan modal saprotan sebesar Rp 120 juta, usaha pembuatan tahu Rp 50 juta dan home industri (pembuatan sendal) sebesar Rp 30 juta, selebihnya ihwal perkembangan usaha BUMDes itu sendiri tidak bisa menjelaskan.

Untuk melengkapi tanggapan Kades Jatireja, awak media konfirmasi via surat tertulis No 01/DMK/Biro-Sbg/Konf/I/2021, namun meski cukup luang waktunya, hingga berita ini ditulis Kades Jatireja Abin tidak berkenan menjawab.

Di kesempatan terpisah, Ketua BPD Desa Jatireja Wahyu Hidayat ketika dikonfirmasi di kediamannya (13/3/2021) membeberkan, pihaknya membenarkan adanya pungutan biaya pembuatan sertifikat massal sebesar Rp 1 juta/bidang. Malahan Wahyu mengaku telah kedatangan sejumlah warga peserta program yang mengeluh ke lembaganya.

“Tapi kami tidak bisa berbuat banyak, terkait ini pihak pemerintah desa tidak ada koordinasi dan terkesan berjalan sendiri,” tandasnya.

Ketika disinggung pengelolaan dana BUMDes, pihaknya juga merasa prihatin. Pasalnya sudah berulang kali meminta laporan perkembangan kegiatan BUMDes, namun oleh pengurusnya tidak digubris. “Bukan apa-apa, permodalan BUMDes itu asal sumber dananya dari APBN, jadi masyarakat mempunyai hak untuk tahu perkembangannya dan kemanfaatan usaha BUMDes itu sendiri sebagaimana diamanatkan dalam UU Desa,” ujarnya.

Menanggapi itu, Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi (GNPK-RI) Kabupaten Subang melalui Kepala Devisi Pengaduan Yudi Prayoga Tisnaya saat dihubungi awak media di kantornya Komplek BTN Puskopad Sukajaya, Kelurahan Cigadung-Subang (3/4/2021) menegaskan, bila benar ada pungutan biaya itu menyalahi ketentuan tergolong Pungli dan setiap Pungli adalah bagian tindak pidana korupsi.

“Setiap pengutan tanpa dilandasi Undang-undang adalah Pungli. Apapun dalihnya kebijakan yang dibuat Pemerintah Desa dipandang kontradiksi dengan regulasi Pemerintah atasnya, sehingga batal demi hukum,” tegasnya.

Terkait pungli pembuatan sertifikat massal sebagai yurisprudensi, Yudi menambahkan atas putusan Mahkamah Agung/MA (Kasasi) No. 301K/Pid.sus/2021, tanggal 22 Pebruari 2021 yang sudah inkchract menghukum an H Sholihin Bin Rasiwan selaku Kepala Desa Kedungwungu, Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu untuk menjalani hukuman pidana penjara 1 tahun 6 bulan dan pidana denda sebesar Rp 50.000.000 subsider 3 bulan kurungan, karena dianggap telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 11 Undang-undang Nomor 31/1999 Jo Undang-undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Maka itu sudah selayaknya oknum Kades dan panitia yang terlibat seharusnya segera dicokok oleh aparat penegak hukum.

Masih kata Yudi, dalam konteks ini aparat penegak hukum tidak usah menunggu adanya pengaduan dari masyarakat. “Kasus ini bukan delik aduan, melainkan laporan peristiwa pidana,” tandasnya.

Pihaknya berjanji, bila data-data yuridis sudah diperoleh secara lengkap akan melaporkan kepada aparat penegak hukum. (Abh/Esuh)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles