Jakarta, Demokratis
Sebelum reshuffle kabinet dilakukan, Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menyatakan pihaknya ingin mengingatkan agar siapapun yang dipilih oleh presiden, harus bisa memastikan dirinya tidak menjadi beban bagi pemerintahan.
Menurut Arsul, hal tersebut pantas disampaikan setelah kontroversi perpres bidang usaha investasi yang memasukkan minuman keras sebagai bidang usaha investasi. Belakangan aturan tersebut akhirnya dicabut. Selanjutnya adalah hilangnya frase agama dalam rancangan Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN).
Belakangan, sorotan muncul lagi terkait tidak tercantumnya mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021. Dalam Pasal 40 ayat 3 PP ini, tidak tercantum Pancasila sebagai mata pelajaran. Sedangkan Bahasa Indonesia tidak tercantum tegas, hanya disebut bahasa saja.
Arsul mengatakan pihaknya sangat khawatir karena hal seperti ini terus berulang.
“Menjelang kemungkinan adanya reshuffle kabinet, PPP sebagai partai koalisi pemerintahan mengingatkan jajaran kabinet dan pemerintahan agar ke depan tidak terus-menerus menciptakan beban politik dan ruang suudzon atau prasangka tidak baik terhadap Presiden Jokowi dan pemerintahannya,” kata Arsul Sani, Minggu (18/4/2021).
Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua MPR itu menyatakan, seyogianya semua yang ada di kabinet maupun jajaran Pemerintahan, punya tekad mengurangi bahkan menghilangkan beban politik dan ruang suudzon dimaksud.
Kedepan, Arsul menekankan bahwa koordinasi yang baik harus dilaksanakan. Semisal, pembahasan antarkementerian dan lembaga (K/L) yang komprehensif atas hal-hal yang sensitif atau akan menarik perhatian publik harus dilakukan. Antar K/L juga harus saling melakukan proofreading atas rancangan kebijakan atau aturan.
Menurutnya, hal demikian tentu bisa dimulai dalam rapat kabinet atau rapat koordinasi di bawah Kemko yang bersangkutan. Arsul yakin dengan cara seperti ini, maka sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan atau peraturan akan lebih baik.
Arsul menilai problem sinkronisasi dan harmonisasi ini timbul karena masih rendahnya koordinasi antar K/L pemerintahan terkait. Menurut Arsul, meski ada kementerian kordinator (kemko), namun level kordinasi yang tinggi seperti diharapkan belum tercipta.
“Contohnya saja kasus tidak tercantumnya Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran dalam PP 57 Tahun 2021. Padahal dalam Pasal 35 UU 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pancasila dan Bahasa Indonesia masuk ke dalam kurikulum perguruan tinggi,” urainya.
“Jika ada kordinasi yang lebih baik, setidaknya antara Kemendikbud sebagai pemrakarsa, Kemenkumham sebagai kordinator legislasi Pemerintah dan Sekretariat Negara sebagai pintu terakhir sebelum sebuah produk aturan ditandatangan Presiden, maka sisi pandang yang melihat tidak sinkron dan harmonisnya PP di atas dengan UU-nya bisa dicegah,” bebernya lagi.
“Jika semuanya sinkron, maka beban politik dan ruang suudzon dari elemen masyarakat dengan sendirinya akan dapat diminimalisir secara signifikan,” pungkas Arsul. (Red/Dem)