Jakarta, Demokratis
Pakar tata negara Margarito Kamis mempertanyakan mengapa sejak berlakunya UUD hasil amandemen 2002, pemerintah terpilih belum pernah membentuk portofolio Kementerian Keamanan Nasional yang menjadi amanat pasal 30 UUD 1945 tentang pertahanan dan keamanan, dalam kabinet yang dibentuk oleh presiden terpilih secara langsung.
Hal ini diutarakan langsung oleh Margarito Kamis di Gedung DPD Jakarta, Rabu (14/8) saat berlangsung diskusi bertema : Demokrasi Indonesia Setelah 74 Tahun.
Dari mulai sejak amandemen, katanya, belum satupun presiden terpilih yang memikirkan terbentuknya Kementerian Keamanan Nasional.
“Sekarang adalah kesempatan bagi Jokowi untuk membentuk Kementerian Keamanan Nasional dalam kabinet yang baru nanti, agar tidak melanggar UUD 1945 yang berimplikasi pada pemakzulan jika setelah diingatkan tetapi tidak mau dijalankan,” paparnya.
“Masa yang lalu portofolio Kementerian Keamanan Nasional ditempelkan kepada Menteri Menko Polhukam. Padahal nomenklatur Menteri Koordinator tidak dikenal di dalam UUD dan Undang-undang,” tegasnya.
“Adapun dasar pertimbangan dibentuknya Kementerian Keamanan Nasional adalah karena mengingat gangguan keamanan dan ancaman yang yang terus berulang-ulang dari yang sifatnya kriminal, teroris, terakhir kejahatan siber,” kata Margarito.
Lantas apa kewenangan kementerian baru itu nanti?
“Wewenangnya guna untuk mengoptimalkan peran negara dalam melindungi warga negara dari sisi keamanan dalam kerangka Criminal Jaustice System Plus BNPT,” tukasnya.
Jadi, imbuhnya lagi, UUD kita sebenarnya sudah sangat maju dalam memperkuat keamanan warga negara, akan tetapi pasal 30 ini salama ini justru belum pernah dilaksanakan.
“Dengan perkataan lain, dengan dibentuknya Kementerian Keamanan Nasional berarti Presiden sudah menjalankan UUD,” tambahnya.
Super Presidensial
Menanggapi fenomena super presidensial yang ditandai oleh partai politik yang ramai-ramai masuk kabinet Jokowi, dikatakan, harus dikembalikan pada demokrasi yang memberi ruang lahirnya oposisi karena inilah demokrasi universal.
“Supaya agar jangan sampai demokrasi hanya dimaknai oleh yang besar-besar adalah yang paling berkuasa, sebaliknya yang kecil akan dilindas,” paparnya.
Analoginya, tambahnya, seperti yang terjadi di Mahkamah Konstitusi karena tidak ada yang mengawasi MK, hasilnya atau putusannya banyak melahirkan Machiaveli baru karena dalam menangani sengketa Pemilu atau Pilpres tergantung pada pembuktian perolehan angka suara yang diperoleh di saat Pemilu. “Padahal demokrasi itu adalah anak kandung dari kepastian hukum dan keadilan,” tegas Margarito.
Menurutnya, dibandingkan dengan sistem yang lain, demokrasi di Indonesia masih lebih baik karena bisa memberikan hak kebebasan berbicara bagi warga negara. “Sebaliknya di negara otoriter justru melarang ada kebebasan itu. Ini suka atau tidak suka,” kata Margarito. (Erwin Kurai)