Jakarta, Demokratis
Kekosongan kepala pemerintahan daerah akan dimulai pada waktu dekat ini 12 Mei 2022 terkait pemilu legaislatif, pilpres dan pilkada serentak nasional. Penunjukan penjabat kepala pemerintahan daerah dari kalangan aparatur sipil negara (ASN) yang mungkin mencakup 272 gubernur, wali kota hingga bupati sangat rawan dan banyak masalah.
“Akan menambah masalah baru, bila pada daerah daerah rawan konflik ditempatkan orang yang tidak tepat dalam memegang pemerintahan di sana tentunya,” ujar Pendiri Institute Otonomi Daerah (i-OTDA) Djohermansyah Djohan, saat diskusi bertema Pengisian Kekosongan Jabatan Kepala Daerah Tahun 2022 & 2023 di Museum Satria Mandala, Jakarta, Kamis (9/2/2022).
Diskusi ini juga menghadirkan dua pembicara lain yakni Peneliti Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro, dan Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis.
Menurut Djohermansyah, pakar pemerintahan daerah yang tergabung dalam Institut Otonomi Daerah (i-OTDA) mendalami secara cermat apa apa saja akibat yang akan ditimbulkan ke depan, bila kekosongan jabatan kepala daerah pada 2022 -2024 diisi dari ASN.
“Saat ini, ada fenomena pengangkatan penjabat kepala daerah dari Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan waktu yang cukup lama.. Berapa lama? Bisa satu tahun, dua tahun bahkan hampir tiga tahun. Kondisi ini bisa mengganggu demokrasi, otonomi daerah, otonomi khusus, bisa juga ganggu penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak,” paparnya.
Dikatakan, kemungkinan pembuat Undang-Undang No. 10/ 2016 tentang Pilkada tidak mengantisipasi dan mengkaji dengan cermat keadaan keadaan ini, ditambah kurangnya awareness pemerintah dalam menyikapi persoalan ini.
“Bila pengangkatan penjabat kepala daerah ini tetap dilakukan, secara demokrasi sama saja kita lebih mundur dari zaman Orba. Di zaman orba saja, kepala daerah masih dipilih lewat DPRD,” ujarnya.
Djohermansyah menilai permasalahan yang akan muncul bila kepala daerah yang habis pada bulan Mei 2022 hingga 2024 bila jabatan kepala daerah diserahkan pada ASN bisa jadi mereka tidak fokus memimpin wilayah yang hilang kepemimpinan definitifnya
“Ketidakfokusan itu bisa terjadi, bila jabatan tersebut diserahkan pada ASN. Kenapa begitu? Karena ASN memiliki kewenangan terbatas di samping ASN tidak boleh melepas jabatan strukturalnya di ASN,” ujar Djohermansyah.
Persoalan lain yang akan dihadapi Penjabat kepala daerah dari ASN, yaitu bila terlalu lama tentu mereka akan menangani APBD, saat ASN harus berhadapan dengan para politisi daerah di DPRD untuk pembahasan anggaran. Hal ini tentu akan menjadi kendala besar ketika ASN tidak dilatih untuk urusan politik praktis.
Kekhawatiran lain, menurut Djohermansyah, dalam proses pengangkatan penjabat kepala daerah tersebut, bisa jadi muncul kolusi, suap, yang dibiayai pihak pihak tertentu yang memiliki kepentingan atas daerah tersebut agar semua kepentingan pemodal dapat berjalan lancar.
Djohermansyah berpendapat periode yang terlalu lama dalam menjabat bisa jadi membuat penjabat tergoda menyelewengkan kekuasaan, korup dan sebagainya. Belum lagi penanganan masalah pandemi yang tak kunjung usai, hal ini juga menjadi hal persoalan cukup pelik dalam penyelesaian masalah di lapangan.
Untuk satu negara yang menganut sistem demokrasi, menurut Prof Djohermansyah Djohan, akan lebih sehat dan bermanfaat bila dilakukan perpanjangan masa jabatan, bila pilkada 2022 dan 2023 ditiadakan. Selain kepala daerah tersebut punya legitimasi kuat karena dipilih langsung oleh rakyatnya, mereka juga sudah berpengalaman lama. Kasus perpanjangan masa jabatan kepala daerah sudah dilakukan di Daerah Khusus Yogyakarta tahun 2008-2011.
“Deepening democracy inilah yang harus dikembangkan, dimana pendalaman demokrasi Indonesia, dilakukan lewat pemilihan secara langsung yang diterapkan sejak 1 Juni 2005. Ini harus tetap dijaga untuk mencari solusi atas problem yang lebih besar yang kemungkinan akan timbul di depan,” ujar Djohermansyah.
Sementara itu, Siti Zuhro mengatakan proses pilkada tidak berdiri sendiri dan akan berpengaruh pada negara ini. Indonesia tidak mungkin maju tanpa ditopang daerah-daerah yang juga maju. Tapi ada penjabat sementara di daerah yang berkuasa hingga dua sampai tiga tahun.
“Ke depan itu, kita perlu pertimbangkan secara khusus untuk merekrut penjabat. Secara nasional, jika dipetakan, ada positif dan negatifnya jika melakukan rekrutmen penjabat di ratusan daerah. Demikian juga jika dilakukan perpanjangan masa jabatan. Dampak negatif lebih besar terjadi pada rekrutmen penjabat,” tambahnya.
Menurut Siti, dalam rangka menyongsong pemilu 2024 di tengah pandemi Covid, rakyat mestinya diberikan kepastian. Kondisi itu harus cepat direspons oleh pemerintah supaya tidak ada hoax, fitnah, dan rumor. Di Papua, kepala daerah bukan sekadar anutan masyarakat tapi juga tokoh adat yang dihormati.
“Bukan hanya soal lamanya memimpin, penunjukan penjabat itu sendiri juga sudah menyalahi demokrasi di Indonesia sebagai negara yang berbentuk republic. ddari segi penalaran hukum pejabat kepala daerah harus dipilih bukan ditunjuk. Orang tidak mau menanggung dampak buruk dari tunjuk menunjuk,” tambah Margarito Kamis.
Margarito mendukung solusi yang dilontarkan Djohermansyah untuk memperpanjang masa jabatan kepala daerah pada tahun 2022 dan 2023. Dari segi payung hukum, proses perpanjangan masa jabatan kepala daerah lebih sederhana. Tidak perlu membuat regulasi baru. Jika diperlukan, regulasi pasal 201 ayat 8, 9 dan 10 bisa direvisi. (Kurai)