Jakarta, Demokratis
Sebagai pengejawantahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tetang Advokat, pendidikan advokat sulit terlaksana menjadi pendidikan formal yang diprogramkan pada PTN dan PTS. Padahal, bekerjasama dengan organisasi advokat yang resmi yang sesuai dengan Undang-Undang yang semula Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) masuk Pendidikan Non Formal.
Demikian dikatakan Wakil Sekretaris Jenderal DPN Peradi Mohammad Mara Muda Herman Sitompul SH MH, Kamis (17/2/2022), menyikapi terlaksana atau tidaknya Permen Ristekdikti Nomor 5 Tahun 2019.
Dipaparkannya, beban 24 SKS dalam 2 semester dan lama pendidikan 3 tahun maksimal bertujuan untuk meningkatkan kwalitas calon advokat kedepan. Apa yang terjadi beberapa tahun belakangan ini menegaskan jika pendidikan program advokat tersebut belum bisa dilaksanakan.
“Kenapa demikian? Tentu ada masalahnya. Ini yang harus kita sikapi dengan bijak,” ujarnya.
Ia mengatakan, masalah pendidikan advokat ini perlu didudukkan bersama. Sangat disayangkan jika bentuk organisasi single bar sulit terlaksana. Melihat kurikulum yang mana yang mau diterapkan tentu Peradi yang selama ini tinggal disempurnakan dan diperbaiki.
“Melihat kondisi organisasi advokat yang menjamur dewasa ini, harus ada komitmen untuk bersatu pada political will,” imbuhnya.
Menurut Herman, advokat merupakan profesi mulia dan terhormat. Dan jika banyak organisasi apakah masih pantas disebut profesi mulia (officio nobile) jika mengatur rumah tangga saja sulit.
“Saya termasuk pelaku sejarah yang ikut merumuskan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003. Kembali kepada Permen Ristekdikti 2019, advokat harus bersatu dulu. Jika ada masalah yang belum cocok dan pas bisa bicarakan baik-baik. Tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan,” pungkasnya. (MH)
