Senin, November 25, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Pocong, Bambu, dan Kabel

Oleh Andri Wikono

Orang tua saya pernah mengatakan, bahwa hantu selalu nongol ketika sore dan terutama, malam hari. Tak ada hantu yang datang pagi-pagi, apalagi siang bolong. Tapi di suatu pagi buta sebelum berangkat sekolah—kala itu saya masih kelas 3 SD—, beberapa sosok putih-putih berjalan (ya, tidak berjingkrak) di jalan-jalan kampung. Masing-masing mereka menenteng bumbung bambu.

Saya masih ingat betul masa kecil itu. Masa yang syahdu.

“Itu bukan pocong, Nang,” kata ibu sambil tertawa saat menyaksikan anaknya merunduk di bawa gorden yang sedikit terbuka.

Saya ketakutan, lalu menyelinap di ketiak ibu, sebelum kemudian saya mengatakan kepadanya suatu kebohongan yang menggelikan, bahwa sekolah diliburkan, tepat saat itu juga: ketika saya menemukan sosok-sosok putih berjalan di jalan depan rumah saya.

“Nang, itu orang, bukan pocong.”

“Itu pocong! Pocong!”

“Itu orang. Orang yang memakai baju putih.”

“Pocong!”

Saya mewek. Mewek jumpalitan di atas tembikar pandan, lalu berkata, “Tanggal merah! Sekolah, libur!”

Butuh waktu cukup lama untuk mengakui kalau salah satu dari beberapa “pocong” tersebut ternyata Mang Kucret, tetangga saya sendiri, yang punya tato bergambar ikan lele di dada kiri. Benar kata ibu, sosok-sosok putih itu rupanya manusia biasa yang mengenakan pakaian serba putih dan yang sama-sama makan nasi, ikan asin, + sambal terasi. Rupanya, pagi itu, mereka sedang menjalankan salah satu adat yang ada di desa kami, yakni mapag tamba.

Menurut Mang Gobleng, tukang cukur keliling langganan saya sejak kecil, ritual mapag tamba ini tersebar di beberapa desa di Indramayu, mungkin juga di luar Indramayu, dan masing-masing tempat itu tidak sepenuhnya sama dalam ritualnya. Di Desa Leuweunghapit Kabupaten Majalengka, misalnya, pakaian yang dikenakan oleh beberapa pamong desa pelaksana adat itu berwarna serba hitam, bukanlah serba putih seperti di desa kami (Tugu, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat)

Mapag, masih menurut Mang Gobleng, “berarti menjemput. Tamba berarti obat. Jadi kurang lebih, mapag tamba berpengertian menjemput obat. Belum ada yang tahu pasti, kapan ritual ini pertamakali ada. Yang jelas, mapag tamba berlangsung pada hari jumat.”

Prosesi adat tersebut dimulai dengan penjemputan atau pengambilan air (obat) dari tujuh sumber air yang dianggap sakral, yaitu banyu laut (air laut), banyu bengawan (air bengawan), banyu papagan (air yang diambil dari pertemuan atas tiga sungai yang berbeda. Papag, dalam Bahasa Indonesia, kurang lebih memiliki makna pertemuan), banyu masjid (air masjid), banyu kuwu (air yang diambil dari sumur atau kamar mandi milik kepala desa), sumur Jaba (sumur yang terletak di salah satu kebuyutan di desa kami: Buyut Penjalin), dan terakhir, sumur Mertasinga (sumur yang terletak di salah satu desa di Cirebon. Adanya sumber air suci dari Cirebon juga menandakan, bahwa Cirebon masih dianggap sakral sebagai sebuah wilayah yang memiliki bobot historis dalam kekeratonan, keislaman, dan sebagainya)

Setelah itu, air tersebut digujurkan ke dalam beberapa ember besar yang kemudian ditaburi kembang berwarna-warni (tujuh rupa). Usai dirapalkan doa-doa, air suci dimasukkan ke bumbung dengan tutupnya yang berupa daun pisang tua (klaras). Setelah salat subuh, para pamong desa berkumpul di dalam balai desa. Beberapa pamong desa lainnya, sudah mengenakan pakaian serba putih—mereka lebih sering dijuluki sebagai wadyabala. Semua berdiri menghadap pintu balai desa yang terbuka dan membawa udara pagi dari embun-embun basah yang bermanik-manik di pucuk rerumputan. Seorang ustad kampung melantangkan doa cukup panjang, lalu ia adzan. Ketika iqamat dikumandangkan dan keheningan pun mengendap, ustad tersebut dan seluruh pamong desa, juga para warga, melepas para wadyabala.

Dengan bumbung di tangan, para “pocong” pun melangkah, tanpa alas kaki, telanjang, dan di ujung jalan mereka berpencar ke arah wetan (timur) dan kulon (barat) ke titik-titik tertentu di batas-batas Desa Tugu. Salah satu pantangan terbesar dalam perjalanan  mereka adalah: bicara. Mereka dilarang berkata-kata. Para warga pun punya tantangan yang sama, terutama saat para wadyabala melintas. Mereka dilarang keras menyapa para “pocong”.

Pada saat “pocong-pocong” melintas, para petani yang sedang mencakul, menghentikan ayunan cangkulnya. Para penjala ikan, menyetop lemparannya. Para penimba air sumur, berhenti dari juluran talinya. Mereka yang kebetulan sedang mencuci pakaian menyetop kucekannya. Mereka yang sedang memanaskan sepeda motor, mematikan erangan mesinnya. Mereka yang sedang buang hajat di jamban, diusahakan dengan ikhlas dan khusyu, untuk sejenak tidak mengeden apalagi mematahkan “batang jagung”—ini menghindari suara kecimplung yang sumbang itu. Ya, ini serius…

Semua tahu, bahwa pada saat itu mereka mesti menghormati para “pocong” yang sedang membawa tugas berat demi umat. Keheningan adalah cara menghormati, juga sebentuk doa tanpa kata agar air yang ada di dalam bumbung itu penuh berkah. Para warga meyakini bahwa air suci tersebut (tentu saja atas izin Allah) bisa membumihanguskan para hama yang ada di sawah-sawah di desa mereka. Demikianlah tugas para “pocong”: merelakan kaki mereka tertancap gerigis kerikil, terjerembab ke selokan, terbelepoti lumpur tegalan; demi mengucurkan dan mencipratkan air suci ke sudut-sudut tertentu pada sawah yang hijau berembun, ketika padi berusia 40-50 hari sejak penanaman—-masa pertengahan di antara ritual mapag sri yang dilakukan pasca panen dan sedékah bumi yang dilaksanakan dimusim rendéng atau awal musim tanam padi.

Saya kira, hampir seluruh anak di desa kami memiliki kenangan tentang “pocong-pocong ini”, sehingga barangkali, ketika dewasa, mereka akan menceritakannya kepada teman-teman mereka yang lama dan yang baru, teman sekampung atau tidak sekampung, kepada teman sekolah atau teman kerja. Mungkin ketika tambah dewasa, mereka akan menuturkan kisah itu kepada anaknya, kepada cucunya, dan jika masih diberi umur panjang, mereka pun menceritakan dongeng legendaris itu dengan suara parau dan tubuh lemah, kepada cicitnya.

Anak-anak desa tersebut, akan bercerita bahwa pada saat itu mereka sungguh ketakutan, ya seperti saya, memberitahu kalau tanpa ketiak ibu, mereka terpaksa nyungsep di ketiak bapa yang lebat dan kurang sedap. Tapi diakhir cerita, tiba-tiba dadanya gatal dan geli: “Alangkah, lugunya saya. Alangkah lucunya, waktu itu.” Demikian mereka pungkasi pengalaman tersebut dengan tawa terpingkal-pingkal. Sungguh berartinya cerita-cerita. Sungguh kering dan sungguh hampanya hidup yang tak memiliki cerita. Dan, lebih miris lagi bila punya cerita tapi tidak membaginya.

Tetapi bukankah tidak semua manusia memiliki kisah yang sama? Andai “pocong-pocong” itu tak lagi ada… anak-anak itu… seperti apa cerita yang kelak mereka bagikan?

 

Kebel “Senja”

Pada suatu hari, warga desa dikejutkan oleh keberadaan kendaran-kendaraan berat yang berjejer berhenti di sebuah sisi jalan utama desa. Beberapa kabel berwarna oranye seperti senja, mejulur dari sebuah mobil yang di dalamnya bertengger layar yang menayangkan gambar berupa grafik-grafik. Kabel tersebut menjulur paaaaaanjang sekali; melungsur, meliuk, memintasi apa yang hendak dipintasi. Kami penasaran dan menilik ke arah mana kabel “senja” itu pergi, dan kami menemukan ujungnya: di titik-titik tertentu di sebuah sawah yang masih muda dan hijau.

Beberapa orang berpakaian khusus, yang memperkerjakan kabel “senja” tersebut, kami tanyai. Mereka menjawab bahwa mereka sedang melakukan seismik. Rupanya mereka sedang mencari titik-titik sumber minyak di desa kami. Tidak! Kami marah sebab pertama, kabel-kabel itu merusak tanaman-tanaman sayur dan padi yang belum selesai kami paneni, kedua, pengujian titik-titik minyak itu dilakukan dengan cara mengebor dan mengebom di tengah sawah sehingga bukan saja merusak padi, tetapi juga konon, mematahkan ekosistem di bawa tanah, plus, membuat tanah melorot, dan ketiga, pengerjaan dilakukan tanpa ada sosialisasi yang baik! Sehingga kemungkinan-kemungkinan ganti rugi/ganti untung terkait tanaman yang dirusak pun jelas belum dibicarakan, dan pun, belum kami sepakati keberadaaan kegiaatan itu. Satu lagi: banyak dinding rumah warga yang retak!

Kalau ada orang asing yang tiba-tiba masuk ke rumahmu, mencuri celana dalammu, apa yang akan kamu lakukan kepada mereka? Ya, begitulah Pertamina dengan seismik-nya, seperti orang asing yang mencuri celana dalammu: benda keramat yang mestinya hanya Tuhan dan kekasih ganasmu yang boleh tahu. Atas ketersingungan dari ketaksopanan Pertamina itulah, beberapa warga membawa parang untuk mengusir mereka, dan sebagian membabat kabel oranye itu.

Tapi kami tak sampai hati sebenarnya, terutama jika mesti marah-marah apalagi sampai mengacungkan parang kepada para pekerja lapangan yang hampir seluruhnya muda dan berwajah tirus dengan sepasang mata cekung itu. Sebagian kami mengenal mereka sebagai teman. Sebagian kami memahami betapa pekerjaan mereka berat karena mesti melangkah jauh seraya membopong dan meloloskan kabel “senja” yang berat dan panjang jaraknya, merelakan kaki dan tangan terjerembab dalam lumpur atau comberan. Kami memahami mereka sebagaimana memahami diri kami sendiri: orang-orang muda yang terlahir sebagai orang miskin di tanah kaya yang kerjanya serabutan, juga yang sesekali berangkat jadi pekerja di Taiwan (jika lolos medical ceheck up. Kadang, kami penyakitan), sesekali pula bekerja di Pertamina—bukan sebagai mandor, tapi sebagai buruh kecil (lulusan SD/SMP) yang sering mendapat semprotan (maklum, kampus migas di Indramayu tidak gratis dan setelah lulus pun belum tentu diterima kerja di Pertamina) Kami memahami kalau para pekerja pembawa kabel “senja” itu hanya digaji dengan nominal tak seberapa. Persis seperti kami.

“Pergilah. Sampaikan kepada pimpinan kalian, bahwa warga menolak seismik,” kami berkata dengan nada yang dikendurkan. Dengan wajah agak ketakutan, para pekerja itu pergi. Kabel-kabel digulung kembali. Mobil-mobil besar pun kembali ke kandang.

Entahlah, setelah itu saya tak lagi mendengar kabar jika kegiatan seismik hadir kembali di desa kami. Saya sempat lama di luar kota. Tapi dari jauh, sayup-sayup saya dengar teriakan dari tetangga desa kami yang dengan lantang mengumandangkan perlawanan. Tetangga desa kami (Segeran), konon, pada Tahun 90-an, sempat mengalami krisis ekologis. Kebun-kebun jeruk mereka yang sempat meraja karena kecil tapi lejat, pernah tak berbuah lantaran beberapa tahun sebelumnya dilakukan pengeboran titik minyak. Karena kenangan itulah mereka tak lagi mau menerima kegiatan seismik. Desa kami, sedikit belajar dari tetangga desa itu. Ya, penolakan ini memang tidak merata. Beberapa desa yang disambangi, pada akhirnya harus mendengar dentuman berkali-kali, dan menyaksikan lumpur-lumpur yang menyebur dari dalam tanah.

Sampai kini, beberapa tahun sudah, seismik masih belum datang. Tapi sampai kapan? Kebutuhan akan minyak dan gas tetap berlangsung, mungkin makin kuat. Secara otomatis, minyak dan gas akan terus dicari. Kita terjebak pada mata rantai mengerikan ini. Kita tidak ingin, tapi kita butuh. Bukankah demikian? Namun, menyakisakan kenyataan itu, alangkah takutnya saya, bila kelak akan terjadi bedol desa: segumpal desa akan dicerabut dan dipindahkan ke tempat yang entah di mana. Mereka akan bilang, bahwa kalian akan tetap hidup, dan bedol desa adalah suatu hal lumrah. Bedol desa akan menjadi ritual baru!

Kita masih bisa hidup, memang, jika mesti pindah. Kita akan tinggal di rumah yang sudah ditata rapih oleh pemerintah. Kita akan bekerja di suatu pabrik. Hidup berjalan terus…

Namun, bisakah kita hidup dengan tanpa kenangan-kenangan, dengan tanpa pemaknaan-pemaknaan, dengan tanpa penghayatan-penghayatan, dan dengan tanpa cerita-cerita yang dibagikan. Mereka bilang, uang dapat dicari. Tapi kita akan merindukan apa-apa yang kita senangi, yang membuat kita bahagia, dan kadang itu bukan uang, melainkan pohon-pohon, jalan-jalan kecil, sawah-sawah, sumur-sumur, jamban-jamban, sungai-sungai, petilasan-petilasan, kebuyutan-kebuyutan, adat-istiadat, ritual-ritual, nilai-nilai, kearifan-kearifan, dan segalanya yang pernah berdenyut serta telah kita kenali dari tiap inci desa kita, desa yang telah dihidupi sepanjang waktu. Itulah desa yang terancam musnah oleh kilang-kilang. Pada mula pemindahan massal itu, kita akan mengalami shock culture, dan perlahan, seraya melangut, kita menjadi manusia urban.

Saya menikmati ketakutan semacam ini. Dan di dalam bus dari arah Semarang menuju terminal Harjamukti, Cirebon, headset di telinga saya mederukan kekelaman Gloomy Sunday-nya Billy Holiday. Kenangan membercak di kaca jendela bus yang pucat oleh waktu.

“Mak, kenapa baju mereka harus putih?” tanya saya pada waktu itu kepada ibu.

“Putih itu, Nang, artinya suci.”

“.. dearest, the shadows

I live with are numberless

Little white flowers

Will dever awaken you

Not where the black coach

Of sorrow has taken you …”

 

Setelah sampai di terminal itu, saya akan nebeng di motor teman saya, dan kami sama-sama menuju desa kami di Indramayu. Bedol desa memang tidak sedang terjadi. Mapag tamba dan segalanya belum pergi dari desa kami. Banyak anak-anak yang masih melihat “pocong-pocong” pembawa bambu di pagi buta. Namun jika pada suatu hari kita akan berjalan jauh bersama angin yang tak dikenali, menuju rumah yang belum dipahami, pastilah saya ikut andil dalam penghilangan itu; saya memiliki sepeda motor di rumah dan kini, saya sedang menumpangi bus. Sepeda motor dan bus tersebut, jelas butuh bahan bakar.

“… deat is no dream

For in death i’m caressing you

With the last breath

of my soul l’ll be blessing you …”

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles