Oleh Es Tarigan
FPI bukan hanya berhasil mencegah pembangunan gereja, tetapi serupa dengan itu di bagian-bagian lain Bekasi, proses transformasi lahan yang meluas, penggusuran masyarakat miskin, dan penguatan segregasi sosioekonomi melalui peluasan perumahan klaster dan kawasan industri, diubah menjadi pertarungan bagi integritas umat muslim. Pada 2007 misalnya, group properti PT Duta Bumi Adi Pratama memesan patung karya pemahat masyhur Nyoman Nuarta, untuk ditaruh di jalan masuk komplek perumahan.
Sebagai satu dari banyak kawasan perumahan klaster yang terkonsentrasi di Bekasi barat, dan utara, yang diperuntukan kepada kelas menengah ke atas, perumahan inilah yang terbesar, luasnya lebih dari 2.000 hektar. Patung tersebut setinggi 17 meter yang berjudul “Tiga Mojang” dalam wujud tiga perempuan berpakaian tradisional Sunda. Baru pada 2010 patung itu dipersoalkan oleh FPI, sesudah ribut ribut kristenisasi dan dengan sensitifitas tinggi terhadap indetitas teritorial. Keberatan keberatan atas patung itu diberi alasan macam-macam, mulai dari cabul atau tidak pantas secara budaya, kristenisasi terselubung dan dianggap menggambarkan bentuk manusia yang dilarang dalam Islam (wawancara dengan Murhali Barda, Bekasi, 2011. Bahwa perumahan itu sudah banyak dikeluhkan oleh warga setempat, dengan alasan pembangunannya turut memperparah banjir).
Serupa dengan itu, di Pekayon Bekasi selatan sebuah replika patung liberty, yang didirikan di depan perumahan mewah Grand Galaxy City membuat warga marah. FPI berunjuk rasa menuntut dirobohkannya simbol “imperialisme budaya Amerika” ini. (Berita8.com 2010, “patung liberty di Bekasi bertahan delapan jam,” 29 November). Pada kasus-kasus ini, patung menjadi titik pengerahan massa untuk menentang perubahan paras sosioekonomi Bekasi, reaksi terhadap marjinalisasi spasial dan sosial oleh ruang-ruang eksklusif orang kaya, ruang-ruang tempat penduduk lokal, dikecualikan secara ekonomi, sosial dan budaya, perebutan batas simbolik yang memisahkan “masyarakat” dengan tatanan tatanan sosial yang berbeda. (Informan FPI setempat, menyatakan bahwa pilihan simbol perumahan itu mencerminkan “jaman jahilia” dan juga cerminan dari semacam kebudayan dan cara hidup yang diyakini berkembang di dalam tembok-tembok mereka. Bahwa perumahan itu kerap dipilih oleh ekspatriat yang bekerja di perusahan multi nasional dan memiliki persentase tinggi warga Kristen di pandang sebagai bukti lebih jauh dari “kebejatan” mereka).
Kepemimpinan FPI mencoba memanfaatkan ketegangan-ketegangan ini secara strategis dengan menggunakan konflik, mobilisasi sentimen dan rakyat sebagai sarana untuk memberi pengaruh kepada pemerintah daerah. Menarik kaum Islamis konservatif dan simpatisan mereka sangat sedikit membutuhkan konsensi politik. Menerapkan pendirian garis keras terhadap sasaran-sasaran politik yang lunak, seperti minoritas agama, berpotensi memobilisasi untuk kepentingan elektoral kelompok-kelompok yang secara idiologis cenderung untuk tidak memilih. (Hanya 7,7 persen dalam pemilu multi partai pertama paska orde baru pada 1999, golput meningkat sampai nyaris 30 persen pada pemilu legislatif nasional 2009. Pada pemilu legislatif 2014 mencapai 38 persen).
Di sinilah kemampuan FPI untuk memakelari kesepakatan-kesepakatan elektoral. Gurbenur Jawa Barat Ahmad Heryawan misalnya, menanda tangani perjanjian dengan FPI selama kampanye 2012, bahwa jika ia kembali menjabat, maka ia akan melarang Ahmadiyah, dan menjaga “suasana islami”, di provinsi tersebut. (Setelah memenangkan pemilihan kembali, Heryawan dilaporkan oleh FPI ke Ombudsman, karena gagal menegakan pelarangan Ahmadiyah. Sementara Heryawan mengancam akan membrangus FPI karena menyerang beberapa masjid Ahmadiyah. Ia menyangkal membuat “kesepakatan” apapun dengan FPI, meski pemberitaannya sangat gencar kala itu. Beritasatu.com 2013 “Ahmad Heryawan tak ada persetujuan Perda syariah Islam dengan FPI,” 22 Februari).
Secara umum kebangkitan moralitas konservatif berbaju agama di Indonesia, sebagai sebentuk modal politik menjadi semakin bertaut dengan agenda-agenda kaum islamis vigilante seperti FPI, serta para tokoh politik daerah dan juga nasional. Walikota Surabaya Tri Rismaharini memperoleh dukungan politik yang sangat ia butuhkan dari kaum konservatif dan radikal agama, termasuk FPI, dengan menutup paksa Dolly salah satu pusat pelacuran terbesar di Asia Tenggara. (Kompas 2014, “FPI sebut Risma ‘singa betina’ karena berani tutup Dolly”, 14 Mei. Untuk latar belakang bagi “peralihan konservatif” ini, lihat tulisan para kontributor dalam Bruinnessen 2013). Gerakan anti maksiat semakin bersilangan dengan kekuatan kekuatan “Anti Liberal” lebih luas, yang menemukan dukungannya dari kelas menengah perkotaan tidak jarang mewujud dalam kerinduan akan zaman Suharto dan mereka yang memperjuangkan kembalinya zaman itu.
Fahira Idris misalnya yang dulu pernah mengkritik keterlibatan FPI dalam kekerasan sektarian. Kini menjadi pendukung lantang razia-razia FPI terhadap para penjual alkohol, Fahira berpendapat bahwa FPI, “meringankan beban polisi”. (Sebagai seorang pengusaha perempuan, aktivitas anti miras dan hak-hak anak serta putri bekas menteri perindustrian pemerintahan SBY, Idris juga ketua harian Persatuan Penembak Indonesia (Perbakin) VOA Islam, “jadi pembela FPI, Fahira Idris puji perjuangan FPI cabut Keppres, “ 7 Juli. Lihat juga Kompas 2014, “Ini empat anggota DPD terpilih dari DKI Jakarta,” 25 April). FPI kemudian menggalang dukungan bagi Fahira dalam pemilihan DPD mewakili Jakarta yang ia menangkan dengan jumlah suara tertinggi di antara semua calon berbekal kampanye yang berjanji akan “membersihkan kota”, serta agenda lebih luas yang, “Anti Liberal”. (Suara Islam 2014, “Fahira Idris dari twitter menuju Senayan,” 31 Maret).
Pada 2010 FPI sempat sebentar mempertimbangkan gagasan membentuk partai politiknya sendiri, dan memajukan Rizieq sebagai Calon Presiden, terlepas dari kotbah-kotbahnya bahwa “Demokrasi lebih haram dari daging babi.” (Arrahmah 2013 “Habib Rizieq: Demokrasi lebih bahaya dari babi”, 2 April). Meski menolak demokrasi karena bertentangan dengan Islam FPI toh lihai memainkan sejenis politik tertentu, yang dibentuk oleh kerangka sistem elektoral yang lebih luas. Posisi awalnya untuk memboikot demokrasi diganti dengan strategi “rebut dulu kekuasaan, baru ribut!”, menjelang Pemilu 2014. (Suara Islam 2014, “Pemilu bukan pesta demokrasi, tapi momentum rebut kekuasaan”, 11 Maret). Hal ini memungkinkannya tetap berpendirian “radikal”, menolak demokrasi sekaligus terlibat dalam permainan politik elektoral, mendorong kaum muslim untuk terlibat dalam demokrasi elektoral sebagai cara untuk mengakhirinya.
Pemilu Legislatif dan Presiden 2014, menurut FPI, adalah sebuah “masa darurat” bagi kaum muslim, dan penting untuk mendukung mereka yang mau “membela Islam” dari kaum liberal, sekular, dan komunis. (Arrahmah 2013, “sikap FPI pemilu 2014: darurat bagi umat Islam,” 31 Agustus). Di balik sikap ini, ia mendulang dukungan terbuka yang semakin panjang dari kalangan elite politik bangsa. Sebagai contoh, menteri agama pemerintahan SBY dan Ketua PPP Suryadharma Ali menawarkan pencalonan legislatif kepada juru bicara FPI Munarman. (Tempo 2015, “Rizieq Presiden, Suryadharma Ali calon wakil,” 23 Agustus. Munarman adalah mantan ketua lembaga bantuan hukum (LBH) yang diikeluarkan pada 2006 setelah bergabung dengan Hizbut Tahrir, dan politiknya bergeser ke arah anti-demokrasi yang semakin radikal. Ia menjadi kontributor keuangan penting FPI, terutama melalui pendapatannya sebagai pengacara korporat. Klien-kiennya termasuk PT Indocopper Investama, sebuah perusahaan milik Aburizal Bakrie, Ketua Golkar, dan salah seorang pemegang saham utama di perusahaan tambang, tembaga dan emas Freeport di Papua Barat).
Ketika ditanya apakah pantas bekerjasama dengan kelompok vigilante penuh kekerasan, ia menjawab lebih baik FPI “dirangkul, bukan dimusuhi”. (Ini pada saat Habib Rizieq menjuluki Presiden SBY pecundang, karena menyatakan bahwa FPI harus dibubarkan jika terus terlibat dalam aksi kekerasan. Vivanews 2013, “Munarman jadi Caleg PPP”, 30 januari). Politisi Nasioanal lain mengikuti jejak. Pada 2013 menteri dalam negeri Gamawan Fauzi, yang kurang dari setahun sebelumnya mengancam akan membubarkan paksa kelompok ini, karena “kerap bertindak anarkistis”, menyebut FPI sebagai “aset bangsa” yang perlu dirangkul oleh pemerintah, “agar ormas berperan dalam pembangunan”. (Tempo 2013, “menteri Gamawan: FPI aset yang perlu dipelihara,” 25 Oktober). Prabowo Subianto juga mengulurkan tangan, dan sebagai akibatnya, menerima dukungan FPI bagi pencalonan presiden 2014 (Kompas 2014, “syarat FPI dukung Prabowo: Perda syariah harus diperbanyak,” 5 Juni. Syarat utama dari dukungan FPI adalah, bila terpilih Prabowo akan memperbanyak jumlah undang-undang berlandasan syariah, UU yang tentu siap ditegakkan oleh FPI). Bersambung… Politik Jatah Preman, Mirza Jaka Suryana/suwarnotarigan1@gmail.com