Tapanuli Selatan, Demokratis
Media dan wartawan tergabung di dalam Tim Pers Tabagsel menyurati Kepala Sekolah SMK Negeri 1 Batang Angkola terkait adanya informasi siswa-siswi di SMK Negeri 1 Batang Angkola yang diwajibkan untuk membayar uang SPP senilai Rp40.000 per siswa di tahun pelajaran 2023/2024 dan di tahun ajaran 2024/2025 siswa membayar senilai Rp45.000 per siswa. Artinya dari tahun lalu naik senilai Rp5.000 per siswa. Namun beberapa lama ditunggu balasan surat dari kepala Sekolah SMK Negeri 1 Batang Angkola tidak dibalas.
Rangkuti salah seorang guru di SMK Negeri 1 Batang Angkola mengatakan bahwa pihaknya sudah kedatangan orang yang bernama A. Yusron selaku Tim Pers Tabagsel dengan surat konfirmasi mereka, dan sudah dipertemukan dengan kepala sekolah.
“Jadi sudah selesai, kenapa lagi datang bapak dari Tim Pers Tabagsel?” kesal Rangkuti keheranan.
Keheranan Rangkuti pun dijawab oleh salah satu wartawan Ira Daulay yang menyurati kasus SPP di SMK Negeri 1 Batang Angkola. “Yang saya tahu yang menggagas nama Tim Pers Tabagsel adalah Pak Uba Nauli Hsb. Umpama ada orang lain yang buat nama Tim Pers Tabagsel, itu di luar pengetahuan kami. Padahal surat ini adalah yang kedua kali dilayangkan (yang pertama awal Oktober 2024 ). Yah tidak dibalas, makanya ada surat yang kedua,” kata Ira.
Saat ditanya di mana keberadaan kepala sekolah, Rangkuti didampingi Boru Regar mengatakan kepala sekolah tidak ada di ruangannya. “Ruang kepala sekolah tertutup,” katanya sembari mengakui bahwa pembayaran uang SPP tersebut benar adanya.
“Untuk melakukan pembayaran uang SPP tersebut sudah disepakati oleh orang tua siswa,” lanjut Rangkuti.
Menurutnya, di SMKN 1 Batang Angkola adalah sumbangan pembinaan pendidikan atau biasa disebut SPP. SPP merupakan uang sekolah yang proses dan mekanisme penetapannya telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan dan juga Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Besaran dan proses penetapan SPP ini, sebut Akhiruddin, dilaksanakan melalui rapat yang dihadiri oleh orangtua peserta didik dan pengurus komite sekolah.
“Besaran sumbangannya bervariasi sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan orangtua masing-masing peserta didik. Kemudian secara administrasi dan dokumentasi pada rapat komite tersebut, kami juga memilikinya dengan lengkap,” urainya.
Seperti diketahui sebelumnya, siswi PKL dari SMKN 1 Batang Angkola Boru Lubis dan rekannya yang duduk di kelas 11 membenarkan bahwa mereka diwajibkan membayar uang SPP. “Kami telah membayar uang SPP senilai Rp45.000 per siswi di tahun 2024 ini, namun di tahun 2023 lalu dikenakan Rp40.000 per siswi,” katanya.
Sementara itu, Mangudut Hutagalung Kepala Devisi Investigasi dan Pengkajian Data dari NGO Lippan Sumut mengatakan bahwa kalau besaran SPP per siswa yang miskin disamakan dengan siswa yang orang tuanya mampu sudah masuk kategori pungutan liar.
“Pungutan liar apapun bentuknya termasuk iuran SPP kepada murid, seluruh sekolah khususnya negeri dilarang melakukan pungutan dalam bentuk apapun,” tegas Saiful R dari Ombudsman Sumut.
Menurutnya, terkait informasi adanya pungutan liar yang diterima oleh Ombudsman termasuk juga iuran sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) yang dilakukan oleh pihak sekolah khususnya sekolah negeri kepada siswa-siwinya mendapat perhatian serius dari Ombudsman.
“Jadi intinya adalah pungutan uang SPP itu adalah termasuk korupsi,” terang Saiful R saat wawancara dengan Demokratis pada tahun 2023 lalu. (Uba Nauli H)