Oleh: Prof. Dr. H. Asasriwarni, MH
Qs. Al-Hujurat: 11
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim”.
Tafsir Qs. Al-Hujurat: 11
Allah SWT mengingatkan kaum Mukminin untuk tidak saling mengolok-olok, karena bisa jadi mereka yang diolok-olokkan lebih mulia dan terhormat di sisi Allah SWT dari merek yang mengolok-olokkan. Hal ini juga berlaku di kalangan wanita, di mana sekelompok wanita dilarang mengolok-olok wanita lain, karena yang diolok-olokkan mungkin lebih terhormat dan lebih baik di mata Allah SWT dibanding wanita yang mengolok-olokkan.
Seorang hamba Allah SWT dilarang memastikan kebaikan atau keburukan seseorang hanya berdasarkan amal perbuatannya. Ada kemungkinan seseorang tampak beramal baik, tetapi di dalam hatinya Allah SWT melihat terdapat sifat tercela. Sebaliknya, mungkin ada seseorang yang tampak melakukan perbuatan buruk, tetapi dalam hatinya dipenuhi penyesalan yang mendorongnya untuk bertobat. Oleh karena itu, amal perbuatan yang terlihat hanyalah tanda-tanda yang dapat menimbulkan sangkaan, tetapi belum bisa dianggap meyakinkan.
“Sesungguhnya Allah SWT tidak memandang kepada rupamu dan harta kekayaanmu, akan tetapi la memandang kepada hatimu dan perbuatanmu.” (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)
Allah juga SWT melarang memanggil seseorang dengan panggilan yang buruk, seperti menyebut seseorang yang sudah beriman dengan sebutan seperti “hai fasik” atau “hai kafir.”, dan panggilan buruk lainnya.
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas dalam menafsirkan ayat ini, menerangkan bahwa ada seorang laki-laki yang pernah di masa mudanya mengerjakan suatu perbuatan yang buruk, lalu ia bertobat dari dosanya, maka Allah SWT melarang siapa saja yang menyebut-nyebut lagi keburukannya di masa yang lalu, karena hal itu dapat membangkitkan perasaan yang tidak baik. Itu sebabnya Allah SWT melarang memanggil dengan panggilan dan gelar yang buruk.
Panggilan yang buruk dilarang diucapkan kepada seseorang yang telah beriman, karena gelar-gelar tersebut mengingatkan kepada kedurhakaan yang telah berlalu, dan sudah tidak pantas lagi disebutkan.
Barang siapa yang tidak bertobat, bahkan terus memanggil dengan gelar-gelar yang buruk itu, maka mereka dicap oleh Allah SWT sebagai orang-orang yang zalim terhadap diri sendiri dan pasti akan menerima konsekuensinya berupa azab dari Allah SWT pada hari kiamat.
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dalam Kitabnya, Imam Ahmad meriwayatkan dari Asy-Sya’bi, ia bercerita bahwa Abu Jubairah bin Adh-Dhahhak memberitahunya, ia bercerita dan mengatakan,
“Rasulullah SAW pernah tiba di Madinah dan di antara kami tidak seorang pun melainkan mempunyai dua atau tiga nama. Dan jika beliau memanggil salah seorang dari mereka dengan nama-nama tersebut, maka mereka berkata: ‘Ya Rasululah, sesungguhnya ia marah dengan panggilan nama tersebut'”.
Qs. Al-Hujurat: 12
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang”.
Tafsir Qs. Al-Hujurat: 12
Menerangkan tentang larangan ghibah seperti dinukil dari Tafsir Kemenag RI. Saking buruknya ghibah, perbuatan ini diibaratkan seperti memakan bangkai saudaranya sendiri.
Oleh karenanya, muslim diperintahkan untuk menghindari perbuatan ghibah. Allah SWT menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal satu sama lain, bukan sebaliknya.
Sang Khalik tidak menyukai orang yang sombong. Sesungguhnya semua manusia sama di sisi Allah SWT, yang paling mulia di antaranya hanyalah orang-orang yang bertakwa.
“Karena itu berusahalah untuk meningkatkan ketakwaan agar menjadi orang yang mulia di sisi Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu baik yang lahir maupun yang tersembunyi, Mahateliti sehingga tidak satu pun gerak-gerik dan perbuatan manusia yang luput dari ilmu-Nya,” tulis Tafsir Kemenag RI pada surat Al Hujurat ayat 12.
Sementara itu, dalam Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menafsirkan bahwa surat Al Hujurat ayat 12 menjelaskan tentang prasangka yang termasuk dosa. Ini dikarenakan prasangka merupakan tuduhan yang tidak beralasan dan dapat memutus silaturahmi antara satu dan yang lainya.
Begitu pula dengan menggunjing yang artinya membicarakan aib serta keburukan seseorang. Bergunjing atau ghibah termasuk perilaku munafik juga perbuatan hina dan pengecut.
“Begitulah hinanya (ghibah)! Kalau engkau seorang manusia yang bertanggung jawab, mengapa engkau tidak mau mengatakan di hadapan orang itu terus terang apa kesalahannya, supaya diubahnya kepada yang baik?” bunyi tafsir surat Al Hujurat ayat 12 oleh Buya Hamka.
Apalagi tanggal 27 November hanya beberapa hari akan digelar Pilkada Serentak sehingga jangan sampai Paslon merendahkan Paslon yang lain apalagi slogan di Sumbar dikembangkan Pilkada Badunsanak. ***
Penulis Guru Besar UIN IB Padang/ Ketua Dewan Pertimbangan MUI Sumbar/ Anggota Wantim MUI Pusat/ Penasehat ICMI Sumbar/ A’wan PBNU