Indramayu, Demokratis
Pada 13 Februari 2020, Pemerintah Indonesia mengajukan secara resmi Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
RUU Ciptaker ini menggunakan model Omnibus Law dalam teknis penyusunannya yang melingkupi sebelas bidang kebijakan (Cluster).
Dari batang tubuhnya, RUU Ciptaker terdiri dari 174 pasal akan tetapi secara subtansi rancangan ini memuat perubahan, penghapusan, dan pembatalan atas 79 undang-undang yang terkait dengan pembangunan dan investasi.
Semenjak diwacanakan sebagai sebuah inisiatif hingga penyerahannya ke DPR, RUU ini telah menimbulkan berbagai penolakan dari masyarakat seperti Serikat Buruh, Serikat Petani, Pejuang Reforma Agraria, Nelayan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Pemuda, Pedagang dan Gerakan Mahasiswa.
Pengaturan Bidang Ketenagakerjaan sama sekali tidak memberikan Perlindungan kepada pekerja atau buruh, RUU Ciptaker justru berpotensi membuat hak–hak pekerja/buruh kembali dipinggirkan demi kepentingan investasi dan para pemilik modal.
Sesungguhnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Hubungan Industrial Pancasila, perlindungan pekerja/buruh merupakan tanggung jawab Negara.
Jikalau pun ada pasal yang memberikan pemanis bagi kepentingan pekerja/buruh, pasal-pasal ini sebenarnya hampir mustahil untuk diimplementasikan, bagaikan omong besar tanpa isi.
Konsep Baru PHK yang Merugikan Buruh Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang tadinya berbunyi “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.” Diubah menjadi “Pemutusan hubungan kerja dilaksanakan bedasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.”
Perubahan ini menghilangkan konsepsi mendasar mengenai PHK dalam Undang-undang Ketenagakerjaan yang harus dipandang sebagai sesuatu yang sangat dihindari.
Rumusan Pasal 151 ayat (1) di RUU Ciptaker juga menghilangkan peran pemerintah dalam mengupayakan tidak terjadinya pemutusan hubungan kerja; PHK menjadi hal yang privat di mana seluruhnya diserahkan pada kesepakatan antara pekerja dan pengusaha.
Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjamin peran serikat buruh/pekerja dalam PHK.
Di Pasal 151 ayat (2) menyebutkan, “Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja serikat buruh”.
Namun RUU Ciptaker menghilangkan peranan serikat buruh untuk berunding dengan pengusaha terkait dengan pemutusan hubungan kerja juga terancam hilang, karena RUU aquo mengubah ketentuan Pasal 151 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Pasal 151 ayat (2) RUU Ciptaker menyebutkan bahwa, “Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Rumusan pasal itu selain menghilangkan peran serikat pekerja/buruh, juga membingungkan serta tidak tegas mengatur kewajiban pengusaha untuk menyelesaikan PHK melalui penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
RUU Ciptaker juga memberikan keleluasaan lebih bagi pengusaha untuk melakukan PHK tanpa perlu kesepakatan dan/atau prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal, contohnya, perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur) atau perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga sebagaimana dirumuskan dalam pasal 151A huruf (g) dan (h) RUU Ciptaker : “g. Perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur) atau (h).
Perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga. ”Pengecualian-pengecualian tak dikenal dalam Undang-undang Ketenagakerjaan (Pasal 154 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) dan berpotensi menimbulkan banyak PHK baru, utamanya terkait perusahaan yang pailit.
Pasal 156 RUU Ciptaker juga menghapus kewajiban perusahaan untuk memberikan uang penggantian hak.
Undang-undang Ketenagakerjaan mewajibkan adanya uang penggantian hak, namun RUU aquo Pasal 156 ayat (4) mengatur, bahwa, “Pengusaha dapat memberikan uang penggantian hak yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”.
Dengan demikian pasal tersebut mengatur bahwa uang penggantian hak adalah opsional atau pilihan, dan menghapus kewajiban perusahaan untuk membayar uang penggantian hak.
RUU Ciptaker menghapuskan ketentuan spesifik mengenai kompensasi untuk tiap–tiap alasan pemutusan hubungan seperti halnya;
(1) PHK alasan melakukan pelanggaran; (2) PHK alasan pengunduran diri; (3) PHK alasan perubahan status, penggabungan, peleburan, atau kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja; (4) PHK dengan alasan perusahaan mengalami kerugian terus-menerus selama 2 (dua) tahun; (5) PHK dengan alasan perusahaan pailit, sebagaimana diatur dalam Pasal 161-165 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Namun RUU Ciptaker menghapus pasal-pasal tersebut.
RUU Ciptaker mengurangi perhitungan maksimum uang penghargaan kerja.
Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur uang penghargaan masa kerja terbanyak mencapai 10 (sepuluh) bulan upah bagi mereka yang masa kerjanya 24 Tahun atau lebih.
Sementara dalam RUU aquo maksimal uang penghargaan yang dapat diterima seorang buruh hanya 8 (delapan) bulan upah untuk masa kerja 21 tahun atau lebih sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 156 ayat (3) huruf g RUU aquo, “masa kerja 21 (dua puluh satu) Tahun atau lebih, 8 (delapan) bulan upah”.
Perubahan ketentuan-ketentuan ini menunjukkan bahwa RUU Ciptaker pada akhirnya memang lebih memudahkan terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja, jika dibandingkan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Pada aksi 1 Mei 2020, kaum buruh tetap melakukan aksi demonstrasi dengan berbagai macam tuntutan.
Namun, ditengah isu wabah global, kaum buruh tidak dapat menumpahkan keresahannya secara maksimal walaupun telah mengikuti koridor hukum dan anjuran pemerintah dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD).
Aksi yang di jegal oleh beberapa oknum aparat membuat kaum buruh mundur teratur dan harus mengurung niat tersebut walaupun ancaman di depan mata.
Untuk mendapatkan keterangan lebih jelas, awak media mencoba menelusuri keresahan para buruh khususnya yang ada di Indramayu.
Dalam keterangan melalui pesan tertulis maupun telepon, sebagian buruh menganggap pemerintah terkesan memaksakan untuk menerapkan pasal-pasal dengan wujud Neo-kolonialisme dan Neo-imperialisme.
Hasil wawancara awak media kepada buruh yang tergabung dalam Kongres Aliansi Buruh Indonesia (Kasbi) pada hari Minggu (05/05).
Bagaimana kondisi buruh saat ini, terutama terkait dengan wabah covid-19?
Hadi selaku Ketua Buruh Gas Bumi mengatakan, yang jelas dampak yang diakibatkan wabah covid-19 menjadikan kondisi buruh semakin buruk, kalau saya lihat secara garis besar saja banyak buruh yang di rumahkan dengan di gaji hanya sebagian saja dan itu masih mendingan-lah karena ada buruh yang di rumahkan tidak sama sekali menerima upah alias tidak di gaji.
Yang lebih ekstrimnya ya jelas banyak buruh yang di PHK dengan alasan perusahaan sudah tidak mampu lagi membayarkan hak buruh karena perusahaan mengalami penurunan produksi.
Dalam catatan Gas Bumi berapa banyak buruh yang di-PHK maupun dirumahkan?
Kalau yang saya baca dari beberapa sumber sih;
- Dari Asosiasi Dunia Usaha 212.394 yang di PHK, ada sebagian yang dirumahkan 1.205.191 jadi total 1,4 juta.
- Dari Kementrian Ketenagakerjaan ada 282.000 pekerja informal.
- Dari BPJS Ketenagakerjaan pekerja formal yang di rumahkan sekitar 454.000 sedangkan yang di PHK 537.000.
Apa upaya selanjutnya saat aksi may day 2020 ini tanpa demonstrasi/ arak-arakan?
Tetep konsisten walaupun terbentur keadaan kedepannya akan lebih masif lagi supaya kita tetap dilihat pihak terkait dan pada akhirnya kemenangan ada di tangan kita.
Sementara itu, keterangan lainnya yang di dapatkan oleh awak media (06/05) kepada ketua Serikat Buruh Keramik Indonesia (SBKI), Khaerul mengatakan terkait kondisi buruh saat pandemi covid-19 pendapatan per-bulan menurun sebab sebagian kegiatan produksi berhenti oleh karenanya tidak ada upah lemburan dan hampir semua atau mayoritas pekerja mempunyai tanggungan bank dengan berkurangnya pendapatan per-bulan juga setoran bank tentu sisa upah menjadi lebih minim lagi.
Ia menambahkan, untuk pekerja tetap sementara masih bekerja seperti biasa dan untuk pekerja kontrak 98% sudah di berhentikan sejak tanggal 5 kemaren jumlahnya sekitar 100 lebih, sisanya mungkin hanya beberapa pekerja kontrak masih bekerja sebab masih ada 2 line yang beroperasi.
Lebih lanjut, langkah konkrit setelah may day yang nyaris mempersempit ruang gerak buruh dalam pandemi ini. Kita masih terus berupaya untuk mengkonsolidasikan isu-isu yang akan di hadapi kaum buruh terkait rencana akan di rumahkan.
Berkurangnya THR dengan tidak ada bonus masa kerja yang sebelumnya. Serta isu nasional yakni omnibus law yang juga nanti akan berdampak buruk di masa yang akan datang.
Bagaimana tanggapan bung tentang Omnibus Law?
Tanggapan tentang omnibus law adalah produk Undang-undang (UU) yang hanya untuk menarik investasi dan menguntungkan investor dan korporasi birokrat di dalam omnibus law bukan hanya menyangkut hal hubungan kerja tetapi menyangkut sendi-sendi kekayaan alam lainnya.
Artinya, negara hari ini tengah mengobral Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang di miliki kepada investor-investor yang hendak bekeinginan untuk mengelolanya dengan mempermudah segala urusan lewat aturan-aturan yang di sesuaikan dengan keinginan.
Sebab, negara hari belum mampu menasionalisasi industri baik negeri atau pun swasta.
Itu lah kenapa sampai hari ini banyak elemen yang menolak lahirnya omnibus law dari hubungan gelap pemerintah dan investor.
Demikian keterangan dari beberapa aliansi buruh di Indramayu kepada Demokratis saat aksi 1 may day tempo hari yang mencekam serta tanpa arak-arakan atau demonstrasi untuk menyuarakan tuntutan kaum buruh. (RT)