Subang, Demokratis
Meskipun pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan tentang larangan bagi pihak sekolah seperti menjual buku pelajaran, bahan ajar (baca: buku modul), seragam sekolah atau bahan pakaian seragam dan alat perlengkapan sekolah lainnya kepada para siswa, tetapi tidak semua sekolah mematuhi larangan tersebut. Padahal semua jelas sudah diatur di dalam Pasal 181 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17/2010 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 66/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Aturan terkait hal buku termaktub dalam Permendikbud Nomor 8/2016 tentang Buku yang digunakan oleh satuan pendidikan dan regulasi pendukung lainnya Permendikbud Nomor 44/2012 tentang pungutan dan sumbangan biaya pendidikan pada satuan pendidikan dasar serta Permendikbud Nomor 75/2016 tentang Komite Sekolah.
Faktanya di lapangan sejumlah regulasi itu diabaikan, seperti yang terjadi di SMPN 1 Kecamatan Cisalak, Kabupaten Subang, yang menjual buku modul itu berlangsung, dengan berbalut koperasi lembaga pendidikan ini bermetamorfosa berubah seolah menjadi “pasar swalayan”.
Temuan itu seperti dirilis LSM Fesomas yang diterima Biro SKU/Media online Demokratis Kabupaten Subang, belum lama ini.
Pentolan LSM Fesomas Dedi Supriatna dalam rilisnya memaparkan, disinyalir pihak sekolah menjual dedet (baca: paksa) dengan harga cukup fantastis, sehingga tak sedikit orang tua/wali murid yang mengeluh, terutama bagi orangtua/wali murid tergolong miskin.
“Kita tahu peraturan tapi karena anak kami sekolah di situ, ya, kita ngikut aja. Mungkin wartawan dan LSM-lah yang bisa mengkritisi, agar sekolah itu menghentikan penjulan buku modul, kan melanggar peraturan. Kalau orangtua murid yang menyampaikan kepada pihak sekolah sikonnya tidak memungkinkan, sekitar sekolah,” ujar Dedi menirukan keluhan sejumlah orang tua/wali murid saat mengantar anaknya ke SMPN 1 Kecamatan Cisalak.

Menurut Dedi, didasarkan hasil investigasi dan keterangan berbagai sumber disebutkan, walaupun pembayarannya bisa mencicil namun nyatanya orang tua murid merasa keberatan.
Dari seluruh jumlah siswa kelas 7 sampai dengan Kelas 9 sebanyak 1.100 siswa, setiap semester dalam tahun ajaran berkenaan dibagi sejumlah buku modul seharga Rp220.000 (dua ratus dua puluh ribu rupiah) per siswa, maka jika dikalkulasi dalam setiap tahunnya dari sebanyak 1.100 siswa dikalikan Rp220.000 dikalikan 2 semester akan terhimpun fulus haram bisa dibelanjakan mobil Avanza baru 2-3 unit.
Menurut Dedi, modus praktik jual-beli buku modul yang kini terjadi di sekolah SMPN 1 Cisalak sudah menjadi rahasia umum, pasalnya setiap kali adanya praktik jual-beli buku seperti itu, dipastikan cara atau modusnya sama.
Pada intinya sekolah yang menerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dilarang melakukan penarikan pungutan atau tagihan uang masuk siswa baru. Ataupun tagihan lain, yang sesuai ketentuan.
Aturan ini berlaku untuk semua sekolah, baik negeri maupun swasta, yang menerima dana BOS. Sekolah yang melanggar aturan ini dapat dikenakan sanksi, seperti penurunan akreditasi, penangguhan bantuan pendidikan, dan hukuman lainnya.
Buku pelajaran yang harus disediakan oleh sekolah adalah buku-buku yang diterbitkan oleh Kemendikbud. Pembelian buku ini diutamakan menggunakan dana BOS.
Sebagaimana termaktub di dalam pasal 181 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, secara rinci dijelaskan tentang larangan tersebut. Pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, seragam sekolah atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan.
Sekolah atau guru dilarang menjual buku maupun lembar kerja siswa (LKS) baik secara langsung kepada siswa di kelas maupun melalui perantaraan koperasi. Ketentuan tersebut dipertegas kembali di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2/2008 tentang Buku. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan berlaku.
Praktik jual-beli modul buku pelajaran yang dilakukan pihak sekolah disebut Dedi merupakan bagian mal administrasi, sehingga bisa dipandang sebagai tindakan pungutan liar (pungli). Sedangkan pungli bagian dari tindakan korupsi yang patut dikenai sanksi bagi pelakunya.
Masih kata Dedi, hal itu merupakan peristiwa pidana, sehingga aparat penegak hukum (APH) tidak harus menunggu pengaduan, tetapi dapat mencokok langsung terduga pelakunya sepanjang terpenuhinya alat bukti. “Kami akan membawa kasus ini ke ranah hukum, bila kelak sudah diketemukan fakta-fakta yuridisnya secara lengkap,” pungkasnya. (Abh)