Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Angka Golput dan Krisis Legitimasi

Oleh O’ushj.dialambaqa*)

Pilkada serentak di 270 daerah pada 9 Desember 2020 telah usai. Tinggal menunggu hasil resmi pengumuman dari KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) masing-masing yang akan menjadi keabsahan perolehan suara siapa yang berhasil terpilih menjadi kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota). Hasil perhitungan cepat (quick count) sudah bisa dipastikan siapa Paslon (pasangan calon) yang terpilih atau sebagai pemenang dalam kontekstasi politik Pilkada.

Hasil quick count ini bisa dijadikan bahan analisis sosial, sebab hasilnya bisa dipastikan tidak meleset, tingkat margin error-nya tidak lebih dari 5 persenan bahkan hanya di bawah 5 persen. Metodologi (ilmiah) quick count ini dipakai di seluruh dunia. Jika ada lembaga survei lebih dari satu dalam daerah Pilkada, hasilnya pun terpaut tipis, hanya kisaran di bawah 3 persenan, sehingga secara logika dan akal waras tidak menyimpang dari metodologi akademik (ilmiah) dan keniscayaan kepala daerah terpilih.

 

Angka Golput

Golput kita definisikan sebagai hak pilih yang tidak diambil haknya (tidak berpartisipasi memilih, tidak datang di TPS) dan hak pilih yang haknya disalurkan, datang ke TPS dan mencoblos, tetapi dianggap tidak sah karena mencoblos lebih dari satu Paslon dan atau datang ke TPS tapi tidak mencoblosnya, tidak memilih satupun atau semua dari Paslon yang ada pada kertas lembaran pemilih, dan kotak kosong kita kategorikan sebagai golput.

Ketiga kategori tersebut oleh peraturan perundang-undangan Pilkada dinyatakan blanko atau suara tidak sah. Suara yang tidak sah tersebut kita definisikan sebagai angka golput, atau dengan perkataan lain, golput adalah angka suara yang tidak berpartisipasi dan atau tidak menentukan hak pilihannya untuk satu Paslon, ikut pilihan tetapi haknya untuk menentukan salah satu di antaranya diputuskan untuk digugurkan hak suaranya.

Pilkada serentak tersebut menghasilkan angka-angka perolehan suara yang variatif; ada yang menang telak, seperti di: Gowa-Sulsel, Adnan Purichta Ichsan-Abdul Rauf Malaganni Karaeng Kio: 91,1 persen lawan kotak kosong (angka golput): 8,9 persen. Surakarta/Solo (anak Presiden Joko Widodo), Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakoso: 87,21 persen dari target Gibran: 92 persen lawan Bagyo Wahyono-Fx Supardjo: 12,85 persen, ada yang menang tak jauh angkanya (kisaran 10 persenan), seperti di Medan (Menantu Presiden), Bobby Nasution-Aulia Rahman: 54,29 persen lawan Akhyar Nasution-Salman Alfarisi: 45,71 persen. Ada menang tipis, seperti di Kepri (Gubernur), Isdianto-Suryani: 38,61 persen lawan Ansar Ahmad-Marlin Agustina: 37, 92 persen  –  Soerya Respationo-Iman Sutiawan: 23,47 persen.

Tidak saja ada yang menang telak (mutlak), menang tipis dan ada juga yang menang tetapi kalah dalam legitimasi publik, karena perolehan suaranya kalah dengan angka golput. Hal ini terjadi di Pilkada Indramayu.  Total pemilih atau hak pilih: 1.302.788. Suara masuk: 856.274. Suara tidak sah: 15.558 dan golput: 431.990. Angka golput seperti yang kita definisikan dan atau kita kategorikan golput, berarti 431.990 + 15.558 = 447.548 (52,2 persen). Angka perolehan suara dari 4 paslon adalah: No 1 (Sholihin-Ratna): 219.938 (26 persen). No 2 (Toto-Deis): 72.663 (Independen: 9 persen). No 3 (Daniel-Taufik/Dinasti-Petahana):  236.172 (28 persen) dan No 4 (Nina-Lucky): 309.944 (37 persen).

Dengan angka golput 52,2 persen ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi Bupati terpilih, dan berarti tingkat kepercayaan publik yang dikantongi Bupati terpilih hanya 37 persen, dalam kategori rendah, karena jauh di bawah 50 persen. Dengan legitimasi publik yang rendah tersebut, (kemungkinan) akan menghadapi pelbagai tantangan, yaitu optensi dari: Pertama, angka golput 52,2 persenan, civil society kritis. Kedua, jalur oposon politik (Parpol) dengan pelbagai kepentingan politik pragmatisnya, yaitu 26 persen + 28 persen = 54 persenan. Ketiga, angka 9 persen dari jalur Independen bisa berpotensi menjadi oposan politik, yang berarti akan menjadi 63 persenan, dan jika potensinya ke jalur golput civil society kritis (intelektual akademik), maka akan menjadi 61,2 persenan.

Bupati Indramayu terpilih Nina Agustina-Lucky Hakim untuk periode 2020-2025 hanya dibentengi dengan tingkat kepercayaan publik 37 persen dengan Parpol pengusung (PDIP: 7 kursi, Gerindra: 6 kursi, Nasdem: 1 kursi, Perindo: 1 kursi dan Hanura: 1 kursi), dan konsituennya bisa jadi tidak mengusung Nina-Lucky, karena fakta empirik sosial politiknya bisa menjadi dua hal yang berbeda atau tidak berelasi sama sekali.

Jika kita melakukan pembacaannya dengan teoritik kepercayaan publik (public trust) akan menghadapi potensi tantangan tersendiri dalam pengambilan diskresi kebijakan publik untuk menjawab pertanyaan, akan dibawa arah ke manakah pembangunan Indramayu untuk lima tahun ke depan pemerintahannya? Pertanyaan tersebut berimplikasi banyak dalam hal semua kebijakan yang akan diputuskan oleh Bupati Nina-Lucky dalam masa jabatannya hingga 2025 nanti, dan jika kita mau melakukan analisis makro maupun mikro secara akademik, bukan menggunakan analisis berbasis asumsi, maka akan banyak persoalan yang dihadapi nanti.

 

Tantangan Bagi Bupati Terpilih

Kepercayaan publik yang rendah tersebut akan menjadi problem dalam menentukan arah dan atau pengambilan kebijakan publiknya. Kebijkan publik yang akan dimabil oleh Bupati, tentu akan mendapat pengawalan atau kontrol publik yang ketat. Kontrol publik itu akan datang sebagai tantangan yang: Pertama, dari kekuatan logika dan akal waras civil society yang ketat (52,2 persenan) sebagai oposan intelektual akademik, yang tidak menaruh kepecayaan dan atau meragukan kepercayaan terhadapnya terhadap Bupati terpilih, yaitu Nina-Lucky.

Jika yang 52,2 persenan tersebut adalah mayotitas civil society (intelektual akademik) yang kritis, atau jika angka Golput itu merpresentasikan Pemilih (yang) Cerdas, maka janji-janji politik dengan slogan dan jargon: #Indramayu Butuh Pemimpin Bukan Penguasa, dengan visi missi 99 program kerjanya akan mendapat pengawalan yang ketat, yaitu: (1) Terutama bagi masyarakat menengah ke bawah yang dijanjikan sekolah gratis, yang berarti tanpa pungutan apapun atas nama pendidikan, kesehatan gratis dan lapangan kerja yang tersediakan.

(2) Apakah dalam pemerintahannya akan berpihak kepada kepentingan publik hajat hidup orang banyak (pro rakyat, masyarakat) atau pro kepentingan golongan dan kroni-kroni politiknya? Itu bisa kita lihat nanti dalam pembacaan APBD dan diskresi lainnya.

(3) Apakah bisa membuktikan adanya perubahan dalam pemerintahannya dengan fakta dan realitas empriknya: adanya korupsi yang jor-joran, adanya transaksi jabatan, adanya jual beli proyek, dan BUMD (PDAM, PD BWI dan PD BPR Karya Remaja) yang kronis penyakitan, tidak waras? Ataukah akan tetap dan atau terus memelihara tradisi atau budaya tersebut, transaksi atau jual beli kebijakan baik proyek atau jabatan dengan sporadis?

(4) Apakah dalam pemerintahannya akan bisa mewujudkan good governance dan good goverment yang dibuktikan dengan adanya tarnsparansi dan akuntabilitas publik, yaitu e-planning, e-budgeting (MoU dengan KPK sejak tahun 2017 hingga kini terus dilanggar, belum diterapkan), dan kebijakan-kebijakan publik lainnya untuk bisa diakses publik sebagai bentuk adanya dan atau kuatnya polical-will atau adanya niat baik dan sungguh-sungguh  #perubahan, atau justru akan semakin menyingkirkan transparansi dan akuntabilitas publik dalam kebijakannya.  Makin menyembunyikan transparansi dan akuntabilitas publik.

(5) Apakah akan membangun oligarki-oligarki politik dan kekuasaan dalam hajat hidup orang bayak atau khalayak, yaitu dengan membagi-bagikan kue kenikmatan jabatan pada BUMD, kue kenikmatan jabatan struktural yang strategis (untuk menjadi kepala SKPD, sekretaris hingga pada tingkatan Kabid hingga kepala sekolah), dan kue jabatan Badan Pengawas pada BUMD atas dasar balas budi sebagai Timses (tim sukses) dalam Pilkada seperti yang terjadi di istana sekarang ini, dengan sporadis, termasuk kue APBD untuk pelbagai proyek atas nama pembangunan di segala bidang?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa sebagai representasi pembacaan atas kebijakannya, untuk menguji kebenaran niat baiknya atas janji-janji politik: #Indramayu Butuh Pempimpin Bukan Penguasa. Jika faktanya nanti, justru kebalikannya, maka hanya akan membuat sejarah baru oligarki dan membuat Indramayu makin tersungkur dengan daerah-daerah lainnya dari paradigma dan narasi perubahan; bukan pemimpin, melainkan penguasa, seperti rezim dinasti penguasa sebelumnya selama 20 tahun.

Jika mayoritas civil society tersebut sebagai oposan intelektual (akademik), yang berarti tidak memiliki kepentingan pragmatis dan hanya bertujuan atau berkepentingan untuk meluruskan kebijakan agar adanya keniscayaan akan perubahan untuk kemajuan daerahnya, maka resikonya akan menjadi ketidaknyaman kekuasaan dalam pemerintahannya. Berarti jika kebijakan tersebut tidak berbasis data akademik dan atau hanya berbasis asumsi konyol yang dirujuk dengan logika dan akal waras menjadi ngawur dan keblinger, niscaya akan menuai kritik dan tekanan civil society yang menjadi oposan inletektual akademik yang ketat. Yang jika tidak didengarkan, bisa berpotensi memilih jalan ekstra parlementer, karena adanya fakta sosial kematian legislatif (dewan) dan Inspektorat (termasuk BPK/Badan Pemeriksa Keuangan yang mengumbar WTP) sebagai fungsi pengawasan terhadap kebijakan eksekutif, sekalipun bisa saja oposan intelektual akademik tetap berada dalam menara gadingnya, tetapi bisa jadi gayung bersambut dengan berbagai elemen atau komponen masyarakat yang berkepentingan.

Kedua, jika partai politik yang kalah atau bukan pengusung Bupati terpilih yang bergabung bersatu padu yang 54 persenan itu (suara Paslon No 1 dan Paslon No 3), menjadi oposan politik kepentingan pragmatis, terutama yang berada di dewan dengan 33 kursi (Golkar, PKB dan PKS), maka akan adanya tarik ulur kepentingan politik pragmatis dalam melakukan pembahasan RAPBD menjadi APBD, sehingga kepentingan politik akan mengabaikan kepentingan publik, kebijakan yang tidak pro rakyat, masyarakat. Jika ini terjadi, maka Bupati tengah menggali kuburnya sendiri, karena akan terjerumus dalam potensi korupsi yang terstruktur, sistemik dan masif, yang tingkat resikonya bisa saja tersandung APH (Aparat Penegak Hukum, jika aparatus negaranya pada waras?) atau akan terjaring dalam operasi senyap (operasi tangkap tangan). Pertanyaannya, apa bedanya dengan rezim dinasti yang korup?

Ketiga, dalam realitas empirik sebagai sebuah fakta, dewan bukan sebagai representasi konsituennya atau tidak merepresentasikan kepentingan masyarakat, tapi keniscayaannya sebagai representasi kepentingan partai politiknya, sehingga dewan merupakan bagian yang terpisahkan dalam kepentingan pragmatis. Oleh sebab itu, akan menjadi oposan politik dalam kebijakan pemerintahannya.

Keempat, tidak menutup kemungkinan, pendukung (setia) yang telah memilih Paslon yang kalah, akan juga menjadi oposan politik dengan kepentingan pragmatisnya, yang berarti akan turut merecoki kebijakan minta kebagian kue kenikmatan APBD dalam berbagai bentuk dan model kebijakan, misalnya seperti yang terjadi sekarang ini, proyek kegiatan kajian pengukuran tingkat pemahaman dan implementasi religius masyarakat Kabupaten Indramayu yang menggelontorkan dana APBD untuk Ormas yang meminta proyek kajian tersebut dengan menelan anggaran yang cukup lumayan besar  +/- Rp 400 jutaan untuk kepentingan oligarki dinasti tahun 2020, dan hasilnya disembunyikan oleh Bappeda (eksekutif), padahal publik perlu tahu, apakah itu kekonyolon dalam mengukur atau menakar keshalehan seseorang atau masyarakat, apakah ketaqwaan bisa dikuantitaskan dan atau dikualitatifkan dalam statistik dengan hanya bersandar pada satu variebel tunggal saja seperti terkumpulnya zakat di Baznas yang luar biasa atau statistik orang berangkat haji dan umroh atau penuhnya masjid dalam sholat Jumat. Sedangkan variabel utamanya disingkirkan seperti varibel tingkat korupsi yang drastis menurun setiap tahunya atau makin naik, atau menurunnya angka kriminalitas atau semakin naik,  atau kejahatan dalam banyak bentuk seperti begal, jambret, penipuan, miras, judi, prostitusi dan lain-lain, dan seterusnya makin menurun apa tambah naik?

Oleh karena itu, jika pembacaan dan pemetaan Nina-Lucky terhadap fenomena sosial politik bahkan fakta sosial yang akan dihadapinya dianggap angin lalu atau bagaikan anjing menggonggong kafilah tetap berlari, akan menjadi krisis kepercayaan publik yang semakin meluas, dan berarti dalam pemerintahannya akan menjadi rentan konflik kepentingan, sehingga Indramayu akan berkubang pada lumpur yang serupa dengan para pendahulunya, terutama dalam era rezim kekuasaan dinasti hinngga tahun 2020 sekarang ini. #perubahan hanya akan berumah di atas angin, mengigau tidur di siang bolong, berjalan tanpa napak di bumi. Utopian yang utopis, ilusi niat baik #perubahan. Terjebak dan tergelincir dalam bayang-bayang.

Akan tetapi, jika Nina-Lucky mau keluar dari persoalan kebobrokan dan ketertinggalan (terutama IPM) dan lainnya, maka kran dan atau kanal-kanal yang tertutup dan atau tersumbat selama ini harus dibuka dalam ruang dan dalam ranah publik civil society yang kritis dan atau oposan intelektual akademik, sehingga bisa memberikan kontribusi atau partisipasi publik untuk bagaimana menentukan arah kebijakan pembangunan semesta untuk kemajuan daerahnya. Bukan mengunci dengan Musrenbang.

Jika kita melakukan pembacaannya makro dalam analisis sosial, bagaimana mungkin akan adanya partisipasi publik atau masyarakat untuk perubahan kemajuan Indramayu ke depan, jika resorsis SDM-nya (sumber daya manusia) rata-rata tidak tamat Sekolah Dasar (5,9 tahun lamanya berpendidikan), kemapuan SDM yang rendah tersebut, maka kita harus bertumpu pada kapal birokrasi, di mana SDM-nya rata-rata sarjana bahkan banyak juga yang telah pasca sarjana.

Secara akademik dalam birokrasi seharusnya berkemapuan untuk berpikir bagaimana merubah Indramayu menjadi baik dan maju, tetapi jika persoalannya mentalitas yang dihadapi, maka Indramayu tetap dalam problem dilematis untuk #perubahan. Kerena, soal mentalitas tidak berelasi dengan tingkat pendidikan, kaya atau miskin, tetapi ini persoalan pemahaman keberagamaan atas keyakinan akan kebenaran itu sendiri.

Jika tidak tahu yang salah, mana tahu akan yang benar. Begitu juga, jika tidak tahu hal yang benar, maka mana tahu bahwa hal itu salah. Jika kita tidak mau paham akan kebenaran itu sendiri dalam keberagamaannya, maka bagaimana mungkin kita akan paham bahwa yang salah itu tetap akan menjadi kesalahan. Lain halnya, jika dalam keberagamaan kita masih dalam paganism atau dalam pubertas beragama dan atau apa yang dikatakan Gus Mus (Mustofa Bisri): Sibuk beragama tapi lupa ber-Tuhan. Ini menjadi problem yang sungguh lebih serius, karena tidak hanya paganisme.

Jika pilihan kebijakannya nanti memutar orkestra lama yang dinamakan konsultasi publik dengan mekanisme Musrenbang, maka hanya akan membuat jebakan atau ranjau buat pemerintahannya, karena dalam pola konsultasi publik yang berbentuk Musrebang, semuanya sudah diplot atau merupakan skenario, settingan kepentingan politik kekuasaan, di mana hanya sebagai kedok untuk memenuhi normatif formalistik peraturan perundang-undangan, di mana setiap kebijakan publik harus melibatkan konsultasi publik, yaitu mengundang stakeholder, LSM, Ormas, OKP, dan biasanya yang diundang yang plat merah atau yang “pager doyong apa gebrage” (tergantung pada angin yang bertiup kencang, ikut arus saja demi kenyamanan dan keamanan. Berarti tidak akan merubah kondisi yang ada bahkan bisa jadi jauh lebih parah dari yang ada.

Begitu juga dengan halnya APBD yang merupakan potret dari sebuah kebijakan publik, civil society kritis atau oposan intelektual akademik dengan sangat mudah bisa melakukan pembacaan arah ke mana Indramayu akan dibawa. Pembacaan tersebut bisa dimulai dari arah program dan kegiatan dan perangkaannya sejak perencanaan itu dibuat, yang kemudian bisa dilakukan analisis intelektual akademik untuk memberikan kesimpulan, termasuk hingga tahapan akhir pelaksanaan penggunaan anggaran dan LKPJ (Laporan Keterangan Pertanggungjawaban) Bupati atas APBD tersebut.

Analisis potensi korupsi juga bisa dilakukan mulai dari analisis terhadap kebijakan, perencanaan program dan kegiatan dan perangkaannya dalam APBD sebagai pencerminan kebijakan publik, apakah untuk kepentingan publik, kebijakan pro rakyat, masyarakat, atau sebaliknya? Artinya, kita bisa melakukan pembacaan melalui seberapa besarkah belanja publik dalam APBD dan kebijakan strategis yang bagaimanakah yang diambil dan didefinisikan sebagai kebijakan strategis. Itu bisa kita lihat dalam skala prioritas dalam pemerintahan Nina-Lucky dalam lima tahun jabatannya nanti, mulai APBD 2022, karena APBD 2021 telah dibahas dan disahkan dewan.

Pekerjaan rumah yang harus dikerjakan Nina-Lucky setelah dilantik adalah bagaimana merevisi dan menyempurnakan RPJMD teknokratik yang telah dibuat (belum dibahas di dewan, nunggu bupati baru) secara substansial ada banyak kerancuan dan kekacaubalauan, seperti pada persoalan akar masalah, pokok masalah dan solusinya, yang mengatakan bahwa “metodenya tidak tepat” dan SDM.

Bagaimana mungkin metodologi akademik (ilmiah) yang disalahkan dengan menggunakan kata metodenya tidak tepat? Jika metodenya tidak tepat, tentu menggunakan metode lainnya, jika teori itu tidak bisa untuk menyelesaikan akar masalah dan pokok masalah, pakai teori lainnya, bukan menyalahkan metode akademik atau teori tanpa argumentasi yang bisa dirujuk dengan logika dan akal waras.

Untuk itu, jika bupati baru, Nina-Lucky dalam pengambilan kebijakannya tidak mau peduli dengan suara civil society atau aposan intelektual akademik, yang kemudian lebih mendengarkan suara-suara oposan politik, niscaya Indramayu tetap berkubang dalam lumpur yang sama, yang berpotensi menggali lebih dalam perkorupsian dengan kebijakan yang sporadis dalam banyak hal yang menentukan kepentingan hajat hidup masyarakat banyak, yang berpotensi juga tersandung atau terjerat korupsi seperti Bupati sebelumnya. Jika bermuara menjadi krisis legitimasi, maka pemerintahannya akan menghadapi masalah tersendiri, seperti apa yang dikatakan Joseph Healh (dari Universite de Montreal), Konsep Krisis dalam Jurgen Haburmas (1975) mengatakan, krisis itu kemungkinan besar akan mengakibatkan hilangnya legitimasi lembaga pemerintahan.

Kita tunggu, akankah Indramayu berganti rupa yang elok dan rupawan ataukah hanya akan melahirkan hamlet, burtus-brutus atau sangkuni-sangkuni genetika baru dari DNA yang lain? ***

*) Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles