Sabtu, November 23, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

ASN Sebagai Mesin Politik Elektoral Bupati Nina 2 Periode

Oleh O’ushj.dialambaqa *)

Episode 1. Bupati dan Bupati Asbun telah kita perbincangkan. Berikutnya episode 2. ASN Sebagai Mesin Politik Elektoral Bupati Nina 2 Periode. Perbincangan kita tentu dalam konstruk politik Machiavellian, politik Orwellian, politik Post-Truth, dan politik Pork Barrel (politik Gentong Babi).

Nicolo Machiavelli, lahir di  Florence-Italia, 3/5/1469, meninggal di Florence, 21/6/1527. Di negeri adakadabra. Machiavelli disebut sebagai bapak yang  menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan-politik kekuasaan-kekuasaan politik.

Semua jalan boleh dilakukan, tidak ada yang haram, semua traffic light bisa ditabrak untuk mencapai tujuan berkuasa. Apapun tindakan untuk merebut atau mencapai kekuasaan, tidak ada yang salah. Salah dan benar adalah urusan moralitas yang harus dikesampingkan jika hendak mencapai tujuan berkuasa. Yang penting bagaimana cara untuk bisa mencapai tujuan tersebut tercapai, apapun caranya.

Sesungguhnya, Machiavelli tengah menyodorkan tesis dalam politik kekuasaan-kekuasaan politik, yang sekaligus menjadi anti tesis itu sendiri dalam tesisnya, menjadi paradoksal. Bisa kita baca dalam tulisannya yang berjudul: The Prince (1513), dan Discourses on the First Ten Books of Titus Livy yang terbit setelah kematiannya.

Tesis Machialli membicarakan (watak-karakter-tabi’at) orang baik dan orang jahat. Orang yang baik, bijak dan bajik, ternyata tidak bisa mencapai tujuan kekuasaan politik-politik kekuasaan, karena terhalang oleh traffic light; moralitas, etika, religiositas (agama dalam keberagamaan), konstitusi dan segala peraturan perundang-undangan, di mana negara harus hadir-negara harus menjadi oposisi terhadap pemerintah-penguasa.

Orang jahat, tamak, rakus dan tak punya nurani, ternyata bisa mencapai tujuan kekuasaan, dengan menghalalkan segala cara, tidak berlaku adanya traffic light. Tidak ada yang tidak boleh, tidak ada suatu tindakan yang diharamkan untuk mencapai tujuan berkuasa. Bila perlu harus melenyapkan para pesaing dan penghalang, perintang dan para kritikus, civil society intelektual akademik yang kritis, agar tidak menjadi duri dalam daging, tidak menjadi racun dalam jantung kekuasaan.

Yang menarik dari tesis yang paradoksal Machiavelli tersebut, di negeri adakadabra, menghalalkan segala cara untuk bisa mencapai tujuan, yang disebut Machiavellian(ism) menjadi soko guru. Machiavellianism bersemayan dalam pemimpin negeri ini. Presiden Joko Widodo melahirkan banyak varian-variannya di daerah, merupakan Machiavellienism yang tak bisa terbantahkan lagi dalam sejarah peradaban politik di negeri adakadabra ini.

Ada banyak fakta konkret, Machiavelianism sudah menjadi power syndrom bagi para calon pemimpin diberbagai level di negeri adakadabra ini, tanpa kecuali Bupati Nina dengan sangat terbuka dan terang-terangan melakukan Machiavellian. Siapa takut! Siapa berani! Lagi-lagi, hirarkis kelembagaan yang punya otoritas untuk melakukan teguran, peringatan dan pemberian sanksi, semuanya membisu dan mematung. Menjadi “lame duck”,  dan tampak kasat mata menjadi berlutut di hadapannya. Itu soalnya.

Machiavellian sebagai soko guru, menjadi sangat konkret dan ampuh untuk bisa mencapai tujuan, seperti yang telah dilakukan Presiden Jokowi dengan UU No. 7 Tahun 2017 jo UU No. 7 Tahun 2023 tentang Pemilu, Mahkamah Konstistusi (MK) menjadi Mahkamah Kekuaga (MK), melahirkan anak haram konstitusi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi Komisi  Pengamanan Usia (KPU), melahirkan anak haram demokrasi.

Mahkamah Agung (MA) menjadi Mahkamah Anakku (MA), malahirkan kloning DNA anak haram jadah demokrasi-konstitusi; Dinasti Jkw, Kaesang Pangarep bisa maju ke Pilgub. Para intelektual salon atau inteleketual vampire mengatakan, tidak ada masalah, itu hak konstitusional.

Akademisi kaleng pun serupa, melakukan pembenaran putusan MK, MA, KPU-PKPU. Terkecuali, mereka para intelektual  dan akademisi yang masih melek, sehingga mampu menembus kabut dan gelap langit yang menghalanginya untuk melakukan pembacaan di balik teks keputusan tersebut.

Machiavellianism juga dilakukan Bupati Hj. Nina Agustina Dai Bachtiar, S.H, M.H, C.R.A,  moral hasad dan hasrat untuk ingin berkuasa lagi,  2 periode kekuasaannya. Machiavellian dilakukan secara terstruktur, sistemik dan masif (tsm) untuk mencapai tujuan kekuasaan politik-politik kekausaan dalam Pilbup Nopember 2024.

Bupati Nina dengan politik Machiavelliannya, ASN (Aparatur Sipil Negara) menjadi mesin politik elektoral 2 periode. Politik Machiavellian dilakukan tidak lagi merayap dalam senyap, sangat terbuka, tanpa tedeng aling-aling, merayap dalam terang.  Tidak tahu malu, tidak tahu diri, dan tidak punya kemaluan lagi, sudah tidak beradab, tidak bermoral, dan sudah tak beretika lagi jika kita merujuk pada semiotika dan hermetika teologi.

Fakta konkretnya antara lain, kita berikan, agar tidak sesat dan atau tersesat dalam kedunguan atau keblingeran dalam memahami demokrasi, Pancasila, konstitusi, negara-bangsa (nation & state) yang berdasarkan rechstaat bukan machstaat.

Pada foto di muka, kebulatan tekad, deklarasi untuk mendukung Bupati Nina sangat gamblang dan tegas. Bupati bersama jajaran Kepala SKPD dengan sangat terbuka foto bersama di Pendopo (kantor Bupati) dengan menggelar spanduk dengan tulisan: ‘Bunga mawar  bunga melati. Harumnya semerbak mewangi. Kami PPPK Nakes dan teknis ada disini. Untuk mendukung Ibu Hj. NINA AGUSTINA Terpilih Kembali’.

Dalam foto bersama itu antara lain, Bupati Nina, Sekda Aep Surahman, Kadis Satpol PP Teguh Budiarso, Kepala Bappeda Litbang Iin Indrayati, dan lainnya. Fakta konkret tersebut tak bisa terbantahkan lagi bahwa ASN dijadikan mesin politik electoral 2 periode sebagai garda depan untuk laju pergerakan tsm dalam kepentingan elektoral Bupati Nina 2 periode.

Tarffic light yang menyala ‘merah’ sangat gamblang,  PKPU No. 15 Tahun 2023 tentang Kampanye, pasal 4, dengan tegas melarang melakukan kegiatan berpolitik elektoral-kampanye terhadap: Direksi, Komisaris, Dewan Pengawas, dan karyawan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, ASN, Anggota TNI dan Kepolisian RI, Kepala Desa, dan WNI yang tidak memiliki hak memilih. PKPU No. 15 Tahun 2023, memuat 11 item larangan berkegiatan politik-kampanye.

ASN sebagaimana dimaksudkan  dalam UU adalah ASN alias PNS (Pegawai Negeri Sipil). ASN-Polri dan ASN-TNI. Traffic light menyala merahnya jelas dan tegas, yaitu, UU No. 5 Tahun 20014 tentang ASN jo UU No. 20 Tahun 2023 tentang ASN  jo PP No. 94 Tahun 2021, pasal 5 huruf (n): ASN dilarang memberikan dukungan dan berkegiatan politi-kampanye.

UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, pasal 39: Prajurit dilarang terlibat dalam (1) kegiatan menjadi anggota parpol (2) kegiatan politik Praktis. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, pasal 28 ayat 1: Bersikap Netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik.

UU No. 6 Tahun 2014 jo UU NO. 6 Tahun 2024 jo UU No. 3 Tahun 2024 tentang Desa, pasal 29 huruf (g) dan pasal 48: perangkat desa dan  anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dilarang berkegiatan politik praktis,kampanye.

Apa yang dilakukan Bupati dengan para Kepala SKPD atau ASN lainnya dengan bunyi spanduk seperti tersebut di atas adalah merupakan sikap penguasa yang menantang di ruang publik, menantang UU dan atau konstitusi kita yang bicara sebagai negara demokrasi dan negara rechtaat, bukan  negara machstaat. Bupati Nina hadir sebagai penguasa yang otoritarian, bukan sebagai pemimpin yang paham demokrasi apalagi negarawan, jauh api dari panggang.

Bupati sebagai Machiavellian merasa aman dan nyaman, karena yang punya otoritas tidak bergeming, berpangku tangan; Presiden, Menteri Dalam Negeri, Menpan RB, Gakkumdu-Panwaslu, Bawaslu, Mabes Polri, Polda jabar dan KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara)  seperti bisa dikendalikan oleh Bupati, sehingga tetap aman dan nyaman, tidak berani memberikan sanksi pelanggaran Pilkada maupun konsitusi-UU, padahal ada tupoksi yang melekat secara institusional, tidak harus menunggu adanya laporan pengaduan publik.

Pertanyaannya, apakah mereka tidak tahu? Tentu tahu, karena publik sudah memberikan informasi yang lengkap, bahkan informasi lengkap itu secara formalistik (surat), perihal bagaimana ASN dijadikan sebagai mesin politik elektoral 2 periode, dan bagaimana fakta konkret di lapangan yang terjadi dan yang meng-ada atas Machiavellianism Bupati.

Dewan, lagi-lagi menjadi harimau-harimau sirkus, tidak menjadi watch-dogs. Informasi (Kamis, 1/8/2024) yang kita dapat, telah bersurat ke KASN. Presiden Jkw bisa dikendalikan Bupati, tanpa kecuali para menteri Kabinetnya. Tentu, karena Presiden Jkw dan Bupati mempunyai kepentingan kotor yang serupa dalam politik kekuasaan-kekuasaan politik, dan mempunyai moral hasad yang sejenis,  dalam varian DNA politik busuk.

Bahkan KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) menjadi “lame-duck” menghadapi Bupati Nina. Itu soalnya, dilematika dan problematika yang sangat amat fondamental dilematis. KASN, pernah memberikan teguran kepada Bupati Nina atas posisi jabatan-jabatan strategis yang di-Plt-kan tanpa kejelasan, melanggar UU-regulasi mengenai tata kelola pemerintahan dan ASN, tetapi, sama sekali tidak digubris, dianggap numpang lewat saja teguran ASN tersebut. Angin lalu. Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu.

Mengapa APH (Mabes Polri dan Polda Jabar) diberi informasi oleh publik yang mau peduli dengan demokrasi. Tak lain tak bukan, alasan konkretnya, tentu karena ASN dijadikan mesin politik elektoral Bupati Nina 2 periode dangan segala program dan kegiatan dadakannya, wara wiri dan seterusnya.

Fasilitas negara dipakainya, tentu, hal tersebut  telah menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaannya, sehingga terjadi penyalahgunaan anggaran-APBD yang mengatasnamakan program dan kegiatan kedinasan kebupatian.

Padahal, dibalik itu semua adalah kepentingan elektoral, karena dilakukan menjelang dirinya menjadi Cabup lagi. Masih bisa berapologi dan atau beralibi, jika hal tersebut dilakukan tahun-tahun sebelumnya. Bukan dilakukan diujung menjelang kontestasi politik, di mana dirinya dipastikan mencalonkan kembali sebagai Cabup.

Sehingga, teramat jelas dan gamblang jika kita ingin melakukan pembuktian dan pengujia atas kebenarannya, untuk membuktikan adanya penyalahgunaan kekuasaan dan APBD. Logika dan akal waras, pasti akan mengtatakan adanya kebenaran akan hal tersebut. Bukan untuk melakukan pembenaran-pembenaran manipulatif-yang tersamarkan, kamuflase.

Sekali lagi, kemelekkan kita diuji. UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, pasal 9 ayat (2) sangat tegas bunyinya. PP No. 94 Tahun 2021, pasal 5 huruf (n) ASN dilarang berkegiatan politik, dan PKPU No. 15 Tahun 2023 tentang Kampanye, pasal 4 juga tegas melarang ASN, karyawan BUMN/BUMD, TNI/Polri, Kepala Desa dan Perangkat Desa untuk turut serta dalam kegiatan politik. Fakta konkretnya, sangat tegas ditabrak Bupati. Benar-benar Machiavellian, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

ASN yang memegang jabatan menjadi boneka dan robot, penjilat dan pecundang bagi negara dalam kebusukan kekuasaan dan politik busuk rezim penguasa. ASN pada golongan 1 dan 2, bagaikan keledai-keledai atau kerbau dicokok hidungnya.  Yang punya jabatan, mereka sudah tidak tahu diri, tidak tahu malu dan tidak punya kemaluan lagi. Moral, etika dan religiositas sudah membusuk dalam mentalitas sebagai aparatus negara yang makan minum dan sakitnya harus ditanggung dan atau dibayar oleh rakyat.

Bahkan yang sangat fantastis, Dinas Satpol PP untuk mengamankan Machiavellian, membuat regulasi, untuk mengamankan kepentingan elektoral Bupati 2 periode dengan keblinger dalam kedunguan. Regulasi yang dibuatnya dengan argumen hukum yang berlandaskan Perda Reklame sebagai dasar pijak untuk bisa mecopot atau mencabut baliho-baliho atau sepanduk-spanduk yang dibuat oleh para kandidat Pilbup 2024, dengan  tetap mengamankan  baliho Bupati Nina 2 periode.

Bupati-petahana, sangat cemas dan ketakutan jika baliho selain dirinya tidak dirobek atau dilenyapkan, dirusak atau dicopot, karena akan mempengaruhi calon pemilih yang bisa mumupuskan harapannya untuk bisa berkuasa 2 periode.

Bisa menggusur perolehan suara Bupati Nina, sehingga Satpol PP menjadi garda depan untuk melindungi keamanan baliho Bupati Nina 2 periode yang dipajang dan berserakan disemua wilayah. Tentu, karena tsm, pastilah ada instruksi kakak pembina dan tim pengarah. Meski pada akhirnya Satpol PP kewalahan dan tak berdaya.

Baliho-baliho yang dipasang oleh kandidat lain, pada umumnya dirobek, dicabut, dirobohkan dan lain sebagainya oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab, dan bahkan Satpol PP pernah terlibat mecabut baliho dari kandidat lain dengan alasan melanggar Perda Reklame yang dipasang difasilitas publik. Sekali lagi, baliho Bupati Nina 2 periode tetap berdiri tegak.

Ada baliho dari  kandidat lain, dipasang untuk tidak bisa dijangkau tangan-tinggi dengan kerangka pipa besi dan ditanam permanen-betonan, karena ada fakta konkret diberbagai tempat yang umumnya sepi dari lalu lalang orang, akhirya dirobek, dicabut dan atau dirobohkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Lagi-lagi, tentu, ada beck-up dari kakak pembina dan tim pengarah politik Machiavellian.

Baliho dengan teks: Tolak 2 Periode #2024 Ganti Bupati Maning yang dipasang di samping Asrama Polisi Cimanuk- jln Petiuken Kepandaian-jalan, dirobek, padahal baru dipasang belum seumur jagung. Baliho yang dipasang di area wisata dayung Bojongsari dengan teks: Hajar Penguasa Ingkar Janji, mengalami nasib buruk yang serupa, dirobek.

Reaksi dan respon atas tindakan tidak beradab tersebut, akhirnya muncul satire medsos dengan #ASBUN (Asal Bukan Nina). Itulah dampak psikologi massa yang dibangun dengan sentimen atau kebencian, bukan dibangun dengan argument, logika dan akal waras yang dipandu oleh metodologi akademik dan dituntun etika dan moralitas publik-absolut.

Atas fakta konkret tersebut, Bupati dan kakak pembina serta tim pengarah, sedang membangun sentimen dan kebencian, bukan membangun demokrasi apalagi Pancasila. Padahal Bupati sendiri dalam setiap kesempatan di muka publik-rakyat. Seolah-olah paling Pancasilais, paling nasionalis, paling demokratis dan paling terhomat dan paling bermartabat.

Lihatlah bobot-bibi-bebet lan turunane (dan keturnanya-nasab sosialnya) seperti yang telah disampaikan pada acara Pembinaan Penataran Penguatan dan Peningkatan Pilar-Pilar Sosial Tahun 2024 yang dihadiri peserta dari elemen pemerintahan tingkat desa dan kecamatan. …

Satpol PP sebagai ASN ada dalam hirakis politik kekuasaan-kekuasaan politik Bupati. Sekali lagi,  UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN  jo UU No. 20 Tahun 2023 tentang ASN, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU No. 7 Tahun 2017 jo UU NO. 7 Tahun 2023, PKPU No. 15 Tahun 2023 tentang Kampanye dan regulasi lainnya dengan gamblang bicara larangan, mana yang boleh dan mana yang terlarang-dilarang, semua itu disampahkan oleh Bupati Nina dan Satpol PP, karena menjadi penganut Machiavellian.

Netralitas, moralitas, etika dan semua UU bahkan konstitusi, bagi Machiavellian harus di-tong-sampah-kan. Semua cara bisa dilakukan. Menghalakan segala cara untuk mencapai tujuan. Menjadi fakta konkret yang dilakukan oleh Bupati untuk lanjut 2 periode.

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)-PDAM (Perumda TDA), Bumi Wiralodra Indramayu (BWI) dijadikan mesin politik elektoral untuk kepentingan Bupati 2 periode, baik secara merayap dalam senyap maupun merayap dalam terang.

Hal tersebut bisa kita lihat fakta konkretnya, seperti yang telah dilakukan Dirut PDAM dengan balihonya dukung Bupati Nina 2 periode yang terpasang nyaris disemua desa. Bupati dengan kebijakannya yang ‘Karwek’ (sesukanya sendiri, seenak udelnya sendiri) telah mengangkat Dewas sekaligus menjadi Ptl. Dirut BWI. Dewas, Plt. Dirut BWI melakukan konsolidasi (20/6/2024) dengan ASN-Disdikbud. Tentu untuk kepentingan elektoral Bupati 2 periode.

Machiavelian lainnya dalam bentuk seperti yang diproduksi Laskar Cipta Wati degan teks: Bu Nina Kerja Nyata Kanggo Indramayu Maju. Lanjutkan  2 periode. Terindikasi kuat, Laskar Cipta Wati berada dalam lingkaran sumbu Disdikbud. Untungnya BPR KR kolep-bangkrut, sehingga tidak bisa dijadikan mesin politik electoral Bupati 2 periode. Jika tidak bangkrut, takdir sosialnya sama dengan PDAM, BWI dan ASN-Camat dan lainnya.

Machiavelian juga mencengkram di luar tembok pendopo yang berelasi kuasa dengan Bupati-Dinkes (Dinas Kesehatan), untuk kepentingan elektoral Bupati 2 periode. Apotek-apotek dipalak Rp 150.000,00/apotek untuk membuat spanduk bergambar Bupati Nina dengan teks: Tips Kesehatan.. Tentu, kepentingan elektoral Bupati 2 periode. Jika dimatematikan menjadi Rp 150.000,00 X jumlah apotek se-kabupaten = Rp?

Adakah benang merahnya dalam relasi kuasa? Owner apotek mengatakannya ada, maka dirinya tidak berdaya, tidak bisa menolak atas pemalakan dana tersebut. Alasannya cukup sederhana dan rasional.  Dalam sistem kekuasaan yang kotor, dihantui ketakutan akan kelangsungan usahanya atas izin dan perpanjangan izin operasionalnya, karena apotek untuk dua hal tersebut otoritasnya berada di bawah Dinkes. Dinkes menjadi tentakel kekuasaan Machiavellian Bupati Nina untuk 2 periode.

Pegawai Puskesmas dalam video yang beredar luas di medsos, perempuan berjilbab disalah satu Puskesmas, berperan dan berfungsi sebagai lembaga survey popularitas dan elektabilitas untuk kepentingan elektoral Bupati Nina 2 periode.

Message yang bisa kita simpulkan adalah Bupati Nina sebagai Dewi Penolong yang amat sangat memiliki empati, dan sekaligus  mewarning masayarakat yang berobat ke Puskesmas agar tidak lupa dan atau tidak melupakan nama bupatinya sampai pada hari pencoblosan nanti.

Tentu, yang diharapkan sampai pada hari pencoblosan Nopember 2024 nanti, masih bisa mengingat nama Bupati Nina Agustina yang maju lagi untuk lanjut 2 periode, dan mau mencoblosnya.

Apa yang dilakukan pegawai Puskesmas tersebut, amat sangat muskil dan naif atas inisiatifnya sendiri. Tentu, ada instruksi dari yang namanya kakak pembina dan tim pengarah yang tsm (terstruktur-sistemik-massif). Pegawai perempuan berjilbab tersebut bukanlah posisinya sebagai pengambil kebijakan. Jadi amat sangat muskil-tidak pantas jika hanya sekedar menyemir atau penjilat rela-tega hati melakukan idan atau harus berbohong dengan dibalut simbolitas kereligiusannya-berjilbab..

Politik Machiavellian, Politik Orwellian, Politik Post-Truth dan Politik Gentong Babi,  merayap dalam terang, dan mengobrak-ambrik makna religiositas agama dalam keberagamaan. Termasuk adalah baliho momen Idul Adha 1445 H yang dibuat Kuwu dengan dana desa (DD) menjadi tunggangan kepentingan elektoral Bupati 2 periode.

Artinya, tsm atas kemachiavellian tersebut di bawah koordinasi atau kendali Dinkes. Meski, Dinkes bisa saja membantah akan fakta konkret tersebut, termasuk soal semua apotek-apotek yang harus membuat baliho Bupati Nina dan dipasang di apotek-apotek. Tentu, amat mudah terbaca, untuk kepentingan elektoral Bupati Nina 2 periode.  Jika Dinkes membantah fakta konkret tersebut adalah suatu hal yang baisa.  karena soal bantah membantah dan atau mengelak, itu sudah menjadi tradisi dan budaya birokrasi yang busuk dan membusuk.

Akan tetapi,  realitas sebagai sebuah fakta konkret tidak bisa terbantahkan lagi. ASN, Desa dan RT/RW, TP PKK-Posyandu, dan semua yang berada dalam genggaman cengkraman kebijakan publik kekuasaan dijadikan mesin politik elektoral Bupati Nina 2 periode. Sungguh dahsyat, bukan? Apakah kita masih harus Waiting for Godot dan menunggu layar turun lakon Hamlet? Sejarah dan waktu yang akan bicara. ***

Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles