Rabu, Oktober 2, 2024

Batal Demontrasi, ARI Pilih Audiensi Dengan Dirut PDAM, Apa Kata PKSPD?

Indramayu, Demokratis

Tidak ada alasan yang jelas terkait pembatalan demo yang digelar Aliansi Rakyat Indramayu (ARI) Jawa Barat, Rabu (26/10/2022). ARI malah memilih beraudiensi dengan Dirut Perumdam Tirta Dharma Ayu (TDA) di Aula Kantor Perumdam TDA dengan materi audiensi “Cipta Kondisi Managemen Perumdam TDA Demi Hasrat Kekuasaan”.

Namun dalam audiensi ternyata tidak muncul pembahasan “demi hasrat kekuasaan” yang dipertanyakan ARI sebagai tema pokok. Massa aksi yang mau berdemo pun sebenarnya hanya beberapa orang saja, tidak sampai 100 orang seperti dalam surat pemberitahuan ARI yang dilayangkan ke Polres Indramayu.

Diketahui, perwakilan massa aksi yang beraudensi: 1. Kordinator Umum ARI, Masdi Ketua Pelangi, 2. Kordinator lapangan 1 Chepy Key, 3. Kordinator lapangan 2 Urip Triandri WWN atau media Suara Aktual, 4. Suarno dari Desa Krimun Losarang, 5. Maulana Dwi K dari Indramayu Kota, 6. Cecep Indra dari Kecamatan Kertasemaya, 7. Diman Sulaeman dari Desa Tenajar Lor Kertasemaya, 8. Saodah dari Tenajar Lor Kertasemaya, 9. Agus S dari Kecamatan Balongan.

Dari pihak Perumdam TDA terdiri dari: 1. DR. DR.Ir. Adi Setiawan, S.H., M.H., M.T., M.M., ME, 2. Kasat Intelkam Polres Indramayu, AKP. Yuda Mengantara, 3. KBO Intelkam Polres Indramayu, Agus Suwartonk, SH, 4. Unit Intelkodim 0616 Indramayu, Serka Casmadi, 5. Anggota Sat Intelkam Polres Indramayu, 6.Karyawan-ti Perumdam TDA.

Dalam audensi yang dipertanyakan malah: 1. Masalah gambar foto Bupati di ruang rapat, agar diganti dengan gambar foto Kuasa Pemilik Modal (KPM), maksudnya bukan foto Bupati, tapi foto sebagai KPM, 2. Mengenai kekosongan beberapa pimpinan di Perumdam TDA, diminta segera dilakukan pengisian jabatan untuk Direktur Umum (Dirum) dan Direktur Teknik (Dirtek) yang baru, 3. Segera lakukan pengisian jabatan untuk Dewan Pengawas (Dewas), dan pembentukan Forum Pelanggan Perumdam (FPP) TDA, 4. Terkait dengan pengaduan kerusakan, agar dibuatkan kotak pengaduan dan saran agar pelayanan Perumdam TDA lebih maksimal, 5. Segera lakukan penertiban jaringan Perumdam TDA di wilayah pabrik kerupuk Desa Kenanga agar tidak tercemari lingkungan.

Audensi berakhir sekitar pukul 13:30 Wib. Selama berlangsung audiensi, situasi dalam keadaan aman, kondusif dan terkendali. Lantas foto bersama dengan Dirut, seia sekata sembari mengepalkan tangan.

Sementara penjelasan Dirut saat itu juga ringan-ringan saja, yakni: 1. Dengan dilaksanakannya audiensi dengan pihak ARI, terkait dengan informasi dan pengaduan, sekiranya untuk membangun komunikasi antara ARI dan Pemerintah Daerah (Pemda) khususnya Perumdam TDA. Dirut sepakat akan dibuatkan kotak saran, dan pembentukan (FPP) untuk menerima saran dan masukan serta keluhan dari pelanggan Perumdam TDA. Supaya bisa dilakukan secara persuasif dan tidak mengerahkan massa agar bisa dikomunikasikan terlebih dahulu, 2. Perumdam TDA Indramayu, sangat membutuhkan saran masukan dari masyarakat pelanggan, dan apabila ada kekurangan dalam pelayanan kami siap untuk bersikap profesional, dan kalau misalkan ada usulan-usulan program yang baik untuk Perumdam TDA, nanti mungkin bisa diusulkan ke kami untuk bersama-sama membangun Perumdam TDA Indramayu yang BERMARTABAT.

Demo yang batal kemudian berubah menjadi ajang audiensi itu mendapat tanggapan spontan Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) Indramayu, O’ushj dialambaqa, tentu dengan kritik yang menohok saat berkabar dengan Demokratis, Kamis (27/10/2022).

Menurutnya, demo yang dibatalkan oleh ARI sendiri dan memilih audensi itu merupakan langkah yang keblinger, dan akhirnya publik bisa melakukan pembacaan dengan gamblang, apa motif dan kepentingan yang sesungguhnya tersebut.

“Audiensi yang hanya bermain-main dengan kata-kata, dan demo yang tidak argumentatif tuntutannya berimbas lenyapnya kepercayaan publik, karena dengan mudah bisa dibaca apa maunya, diduga bukan urusan publik,” katanya.

Menurut O’o, jika maunya audensi, tak perlu menggertak-gertak dengan berdemo atau unras segala. Cukup kirim surat atau pakai kurir saja, pastilah Dirut yang suka pamer gelar seperti rentengan bledogan (mercon) itu, yang konon sebagai simbol profesionalisme, tentu dengan sangat senang hati dan akan sangat ramah menerimanya untuk beraudensi. “Ketimbang menggertak dengan demo dengan kekuatan massa 100 orang, padahal yang ikut demo cuma berapa gelintir saja,” tandasnya.

Dengan cara menggertak seperti itu, lanjutnya, tidak saja hilangnya kepercayaan publik, tetapi implikasinya ada cost yang tidak kecil untuk pengamanan dan seterusnya yang pada akhirnya menjadi beban neraca Perumdam TDA dan atau menjadi beban masyarakat juga sebagai pemegang saham Prumdam TDA sebagai Badan Udaha Milik Daerah (BUMD).

“Apalagi hal-hal yang kecil dan sepele itu, situasi dan kondisi dibuat sedemikian rupa untuk didramatisir sebagai proyek, yang imbasnya ada cost yang tidak sedikit keluar dari kas Prumdam TDA, dan kenaifan itu lantas dipertontonkan,” lanjutnya.

Menurutnya, jika membaca apa yang dipersoalkan ARI dalam audiensi dengan Dirut, memperlihatkan kolam kedunguan. “Pertanyaannya, apakah para demonstran yang beraudensi itu telah membaca PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD? Apakah mereka cukup dungu untuk mengerti dan paham dengan regulasi tersebut, ataukah bagaimana logika dan akal warasnya? Urusan kekosongan jabatan Dirum, Dirtek dan Dewas kok disoal ke Dirut. Hal itu menjadi kolam kedunguan yang sangat amat keterlaluan, karena hal tersebut bukan otoritas Dirut, melainkankan absolut otoritas Bupati sebagai KPM. Ini terlampau parah, jika PP itu dibaca pakai dengkul, sehingga dialamatkan ke Dirut, bukan ke Bupati,” tegasnya.

Ditambahkan, kolam kedunguan berikutnya adalah menyoal dan mengusulkan di ruangan Dirut, gambar Bupati diganti dengan gambar atau foto KPM, atau dipajang gambar Dirut dengan gambar KPM.

“Jika mereka mau keluar dari kolam kedunguan, tentu harus membaca dan mengerti tidak saja soal PP Nomor 54 Tahun 2017, tetapi menjadi bagian yang tak terpisahkan juga adalah UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, bahwa Bupati dan Wakil Bupati merupakan simbol Kepala Daerah, dan Bupati sebagai KPM kedudukannya dalam BUMD,” katanya lagi.

Kolam kedunguan ARI di sisi lainnya menurut juga tergambar untuk mengganti gambar Bupati diganti dengan  gambar KPM. Bukankah Bupati dan KPM itu personnya atau orang yang bersangkutannya itu adalah sama, yaitu, Hj. Nina Agustina, S.H., M.H., CRA? Logika dan akal waras mana untuk bisa memisahkan pribadi sosok satu orang dengan dua fungsi jabatan, dan oleh UU dikatakan, bahwa Bupati, otomatis adalah sebagai KPM dalam BUMD.

“Jika ngotot dengan kedunguannya, apa signifikan atau apa perlunya dalam ruang Dirut, harus dipasang gambar Dirut berdampingan dengan gambar KPM. Apa harus pakai baju berbeda agar bisa dibedakan antara Nina Agustina sebagai Bupati dengan Nina Agustina sebagai KPM. Adakah seragam yang bisa membedakan keduanya, jika UU tidak mengatur pembedanya. Jika seperti itu, kedunguan akut namanya, tidak ada kosa kata lain yang lebih tepat untuk kita pakai. Padahal dalam ARI, ada yang dosen, wartawan, intelektual dan seterusnya, kok memelihara kedunguan, yang benar saja?” tanyanya.

Sementara untuk jabatan jajaran Direksi Dirut, Dirum, Dirtek dan Dewas adalah kewenangan, menjadi otoritas absolut Bupati, dan mekanisme kontrolnya menjadi tanggung jawab DPRD, dan menyoal kekosongan jabatan Dirum, Dirtek dan Dewas, mustinya dilontarkan ke Bupati dan Dewan, bukan ke Dirut. Jika ARI tidak terkurung dalam kolam kedunguan.

“Mustinya sebagai tanggung jawab pelaksanaan UU untuk melakukan pengawasan, teguran dan peringatan atas Bupati yang Karwek (sesuka hatinya) atas kekosongan jabatan di PDTDA atau BUMD adalah tanggung jawab sepenuhnya DPRD. Problemnya adalah DPRD kini berada dalam cengkraman hegemoni kekuasaan Bupati, dengan perkataan lain, DPRD berada di dalam ketiak Bupati. Jadi tidak ada relasi dan korelasinya dengan otoritas Dirut dalam hal itu,” katanya.

ARI rupanya juga telah tidur pulas, bahwa PDTDA mengklaim sudah ada infrastruktur untuk pengaduan atau pos kotak saran, yaitu disebut dengan istilah Unit Reaksi Cepat (URC) PDTDA, sekalipun fakta dan realitas empiriknya bukan reaksi cepat karena jauh lebih lamban dari seekor penyu berjalan. Gugatan untuk segera dibentuk FPP, sebenarnya bukan barang baru, ARI bagaikan dalam film Pacar Ketinggalan Kereta, sejak Dirut sebelumnya juga sudah ada, dan akun beban (biaya) dalam operasional PDTDA dalam Neraca juga cukup besar luar biasa.

Dengan desakan dibentuknya FPP, mengafirmasi keniscayaan hanya sekedar ingin mendapatkan jatah kue PDTDA di jabatan atau kepengurusan FPP, jika pembacaan kita dari sudut psikologi motif.

Padahal, orang yang bisa duduk di FPP, tentu akan dicari orang-orang yang mentalitasnya bobrok, yaitu para pecundang, penghamba kekuasaan, dan para penjilat untuk sesuai dengan kemauan manajemen PDTDA, yaitu dengan manajemen sampahnya, seperti halnya dengan Dewas yang dipilih Bupati. Jadi yang berpikiran sampah, yang bisa berapologi sampah, yang bisa bermain-main dengan kesampahan, dan beralibi sampah, itu yang akan bisa memenuhi persyaratan untuk duduk di FPP.

Karena jika memilih orang-orang yang punya logika dan akal waras, tentu, manajemen sampah akan menjadi masalah dan akan. Menjadi problema dilematis bagi sang Dirut yang bergelar rentengan seperti Bledogan alias Petasan itu, yang menjadi kik balik atas klaim profesionalitas sebagai Dirut atau dalam manajemen tata kelola PDAM-TDA.

Kolam kedunguan juga dilontarkan Dirut yang dilansir oleh media, pada 26 Oktober 2022, yang mengatakan, bahwa PDAM-TDA butuh Rp100 miliar untuk target pemasangan jaringan baru sebanyak 10.000 jaringan, dan gratis bagi konsumen. Dana Rp 100 miliar itu bukan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), tetapi hutang atau pinjaman dari PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI), investor dari Jakarta.

Lantas di mana letak dalam kolam kedunguannya? Jika saja manajemen PDAM-TDA itu bukan manajemen sampah, pertanyaannya, kenapa Dirut tidak mempublikasikan analisis cash-flow-nya mengenai 100 miliar itu, jika dari hutang? Hutang itu apakah berbunga, dan berapa persen (%) bunganya per tahun? Dengan dana 100 miliar itu, berapa tahun break event point (BEP)-nya? Apa agunan PDAM-TDA untuk hutang tersebut? Apakah hutang 100 miliar dari PT. SMI itu memakai agunan dari harta kekayaan Dirut? Ataukah agunannya dari Gunung Kawi? Lantas bagaimana risk management-nya, dan seterusnya?

Kolam kedunguan Dirut itu juga dipamerkan bahwa hutang itu seolah-olah tidak ada kaitannya dengan APBD. Nah, di sini, letak kedunguan yang super keterlaluan. Jika PDAM-TDA tidak mampu untuk membayar hutang pokok cicilan dan bunga, bukankah APBD (duit masyarakat) yang harus menanggungnya? Jika PDAM-TDA merugi atau kolap, bukankah APBD yang harus menanggungnya?

Dirut pasti tidak akan bertanggung jawab, karena masa jabatannya terbatas, hanya 4 tahun dan maksimal 2 periode. Begitu juga Nina Agustina sebagai Bupati dan sebagai KPM terbatas, hanya 5 tahun, dan maksimal 2 periode, setelah itu hengkang begitu saja tanpa beban, tanpa merasa salah apalagi merasa berdosa jika BUMD rusak. Neracanya tetap disembunyikan, supaya rusak dan atau sakit atau tidaknya, tidak bisa diketahui publik sebagai pemegang saham yang secara konstitusional memiliki legal standing atas PDAM-TDA atau BUMD.

Jadi kolam kedunguan Dirut itu mengafirmasi keniscayaan akan kebenaran manajemen sampah, karena  tidak mau tahu dengan regulasi yang mengikat. PDAM-TDA atau BUMD, bukanlah badan usaha milik pribadi Dirut atau Bupati, tetapi milik masyarakat. Itu yang ingin dilenyapkan yang tercermin dalam argumentasi hutang 100 miliar tersebut. Itu soal dan problemnya, pungkas Dirut PKSPD Indramayu. (S Tarigan)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles