Dengan adanya baju-baju seragam dalam legislatif, mencerminkan potret dirinya partai politik masing-masing yang bernama fraksi. Dimana fraksi merupakan buah hati yang lahir dari vagina proses pembelajaran dan pemahaman yang dikotomis dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Fraksi sesungguhnya tidak berelasi dengan kepentingan publik (rakyat), karena fraksi adalah kaki tangannya parpol. Parpol merupakan ruhnya fraksi yang berada dalam rumah rakyat. Fraksi di rumah rakyat bagaimanapun relasi dan tautannya adalah dengan Parpol, tetapi atas nama kepentingan kuasa pemerintah kemudian harus mengatasnamakan rakyat kepada negara. Benteng tirani kemudian mulai dibangun oleh kekuasaan mengatasnamakan penyelenggara pemerintahan.
Realitas sebagai sejarah yang mensejarah itu, keberadaannya tidak bisa terbantahkan, karena fakta tersebut bukanlah sebuah cerita (fiksi) dalam film, dimana pada film itu dinyatakan bahwa peristiwa, tempat kejadian, nama dan tokoh-tokoh dalam (adegan) cerita film tersebut hanyalah fiksi belaka, tidak ada kaitannya dengan siapapun atau dengan kelompok atau golongan apapun dalam cerita film itu.
Dalam memperjuangkan cita-cita politiknya, tak terbantahkan dalam implementasinya, seperti, fraksi anu menolak kebijakan pemerintah sebagai representasi negara menengenai anu. Fraksi anu mendukung penuh kebijakan negara mengenai anu. Fraksi anu menerima kebijakan negara mengenai anu tetapi dengan syarat anu-anu, dan sebagainya. Kemudian, Parpol (fraksi-fraksi) anu membentuk koalisi. Fraksi anu menjadi oposisi pemerintah. Bahkan kemudian bisa sampai tidak ada oposisi politik dalam pemerintahan. Yang ada oposisi politik dengan negara. Artinya, kepentingan negara bersebarangan dengan kepentingan Parpol dan pemerintah. Ketika bersebarangan kepentingan itulah, negara merepresentasikannya dalam wajah dan potret ekstra parlementer atau parlemen jalanan untuk menyuarakan kepentingan negara dalam melindungi segenap tumpah darah.
Proses pembelajaran dan pemahaman mengenai pemerintah ternyata dimaknai bukan sebagai negara, melainkan dipahami sebagai Parpol yang tengah berkuasa. Sehingga, negara tidak lagi melindungi segenap tumpah darah. Relasi yang dibangun adalah relasi kuasa yang kemudian harus membangun benteng-benteng tirani yang kokoh yang mampu meredam gelombang dan ombak yang menderu  menyuarakan pikiran-pikiran, kebenaran dan keadilan sosial.
Bahkan jika benteng-benteng tirani tak mampu menghadang gelombang pikiran yang berakar dari logika dan akal waras, suara-suara yang menderu yang disuarakan dalam banyak medel seperti kritik, harus dilawan dengan teror, ancaman, intimidasi dan jika dipandang perlu harus dilakukan dengan tindakan premanisme sebelum kekuasaan itu terancam atau jatuh. Mengaktifkan sedemikian rupa sensorik dan motiorik para penghamba kekuasaan untuk menjaga benteng-benteng tirani supaya menghasilkan kepekaan atau mempunyai daya sensitifisme dalam merespon berbagai fenomena dan gejolak sosial untuk mengamankan kepentingan kuasa atau kekuasaan.
Dengan demikian, Parpol telah gagal dalam melakukan pendidikan politik. Parpol tidak bisa (lagi) diharapkan menjaga kelangsungan hidup negara, dimana wajah legislatif adalah merupakan cerminan dari Parpol dan merupakan wajah dari keberadaan Parpol, sehingga di gedung parlemen yang riuh rendah itu, yang sesungguhnya adalah pertentangan atau polemik kepartaian yang dimanipulatif sebagai kepentingan publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengenai kebijakan (yang mengatasnamakan) negara.
Melihat keniscayaan seperti itu, maka kita pun harus segera melompat menuju keniscayaan lain  yang baru untuk menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana Negara berkewajiban melindungi segenap tumpah darah yang seharusnya bertumpu pada keberadaan pilar-pilar penyangga Negara itu sendiri yang bernama Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif dalam pemahaman trias politica (demokrasi) yang benar.
Tetapi, akankah dalam ruang kosong itu keniscayaan akan melompat jauh meniadakan atau menghilangkan apa yang kita lihat dan pahami sekarang? Tentu, kita tidak mampu untuk bisa membayangkannya. Maka, jika kemudian para politisi dan atau orang-orang partai menjadi tanpa beban atau tanpa merasa bersalah bahkan tak mau peduli terhadap pertanyaan, dimanakah  negara? Kemanakah negara? Mengapa negara tidak bisa melindungi segenap tumpah darah?
Tentu, karena negara berada dalam ketidakmenentuan yang disebab-akibatkan negara selalu dalam percekcokan (kepentingan) Parpol. Dalam hal ini, menjadi kefasikan Parpol. Fakta itu menunjukkan Parpol gagal melakukan pendidikan politik untuk melahirkan moralitas dan mentalitas individu-individu yang berada dalam pilar demokrasi di gedung parlemen. Gedung parlemen bukan lagi tempat para watchdog berkumpul untuk menggonggongi kekuasaan yang cenderung selalu berkuasa, korup dan otoritarian.