Keniscayaan Sejarah
Kata ekstra oarlementer menjadi kata yang amat menjijikan, dan dianggap sebagai sebuah momok yang lebih menakutkan daripada zombie atau vampire dalam sebuah film horror, karena kata ekstra parlementer bagi para pelaku sejarah kekuasaan, dimana kekuasaan dianggap sebagai barang pemuas, menjadi ancaman bagi ereksi libido kekuasaannya.
Sejarah kekuasaan kini tak bisa lagi mengelak dari fakta birokrasi yang korup. Kemerdekaan berpikir sebagai manusia merdeka dengan logika akal waras menjadi tawanan kekuasaan dalam lingkaran birokrasi, karena birokrasi seperti yang dijelaskan Harold Laski adalah suatu sistem kontrol pemerintahan yang sepenuhnya berada di tangan pejabat yang dengan kekuasaan mereka itu, kebebasan warga negara terancam (Martin Albrow: Birokrasi, 1989). Yang oleh Herman Finer ditegaskan bahwa birokrasi berarti pemerintahan yang dijalankan oleh para pejabat (Ibid: 88).
Perjalanan fakta sejarah di dunia, yang kemudian menjadi sejarah fakta di negeri ini, ekstra parlementer menjadi keniscayaan atau sebuah keharusan sejarah, manakala pilar-pilar demokrasi telah ambruk atau tidak berjalan sebagaimana mustinya yang menjadi harapan ideal publik, baik yang terjadi pada eksekutif maupun legislatif serta yudikatif. Fakta sejarah itu seperti jatuhnya kekuasaan pemerintahan Soekarno, lengsernya kekuasaan pemerintahan Soeharto, dimana keduanya mengubur ruang demokrasi dan menjadikan politik sebagai panglima, sehingga kekuasaan menjadi otoritarian yang menggenangkan darah dalam sejarah.
Ekstra parlementer meng-ada bukan tanpa argumentasi logika dan akal waras atau karena keseksi-seksian semata atau kekiri-kirian maupun kekanan-kananan, melainkan ekstra parlementer menga-ada karena unsur-unsur objektif terpenuhi, seperti ketidakmenentuan atau adanya ketercerabutan dimana negara tidak bisa lagi melindungi segenap tumpah darah, baik ekonomi, politik, hukum, pendidikan, sosial dan lainnya dalam persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perjalanan sejarah melayarkan pemerintahan dalam ketidakmentuan, yang melahirkan tingkat kepecayaan publik jatuh ke titik nadir. Yang paling rendah, sehingga kemudian untuk menyelamatkan kehancuran bangsa dan negara, ekstra parlementer menjadi keharusan sejarah, dimana peran dan fungsi legislatif sebagai salah satu pilar demokrasi sebagai kunci utama menjadi tak berdaya bahkan melakukan persekonglan dan atau melakukan pelacuran politik dengan eksekutif sebagai rezim penguasa, dan bahkan keberadaan legislatif dan yudikatif tidak berperan dan tidak berfungsi lagi. Tak lebih dari sekedar patung monumental waktu dalam peradaban yang terbakar.
Ektra parlementer tidak bisa didefinisikan sebagai kebebasan berbicara atau hanya kebebasan menulis untuk menyatakan pikiran dan pendapat terhadap situasi dan kondisi sosial politik yang carut marut dan otoritarian, tetapi merupakan suatu kesadaran kolektif dalam membaca dan menyimpulkan kondisi sosial politik yang ada, yang kata Jurgen Habermas (1989), “tentunya siapapun bisa mengatakan, ‘Kebebasan berbicara atau menulis bisa saja diambil dari kita oleh sebuah kekuasaan yang superior, namun itu tidak berlaku pada kebebasan kita untuk berfikir.’ Namun seberapa banyakkah atau seberapa benarkah kita sanggup berfikir, selain kita berfikir bersama-sama dengan orang lain, karena dengan merekalah kita jadi mampu berkomunikasi secara mutual”.
Kesadaran kolektif tanpa dibarengi dengan intelektual kolektif hanya akan melahirkan resiko sosial yang besar dan pada akhirnya menjadi sebuah kegamangan masa datang, sehingga kehadiran kesadaran kolektif tidak akan menghadirkan pencerahan (peningkatan kualitas, seperti halnya persoalan demokrasi di negeri ini) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kritik dimaknai sebagai rasa kebencian dan membuat kegaduhan (provokasi) sosial yang bisa menjadi ancaman (kenyamanan) kekuasaan penguasa. Kritik dimaknai sebagai penyebaran permusuhan sosial yang mampu memicu kemarahan sosial.
Sejarah juga melayarkan fakta, bahwa di sisi lain, merupakan pengancaman terhadap otonomi intelektual, sehingga untuk membangun intelektual kolektif dihadapkan pada tantangan yang serius yang berhadap-hadapan dengan tirani kekuasaan yang dikawal ketat oleh para penghamba kekuasaan, buzzer dan premanisme. Di depan mata kita terlihat dengan kasat mata, misalnya dalam keadilan sosial dalam hukum, padahal, “Negara berpandangan dalam melindungi segenap tumpah darah secara kontitusional adalah bahwa hukum keputusannya haruslah berketuhan, karena Tuhan tak pernah berbohong atau berdusta. Hukum haruslah melahirkan kemanusiaan yang beradab, bukan berasas hasrat kekuasaan.
Hukum haruslah tidak melahirkan keakraban antarwarga negara-pinjam istilah Rocky Gerung, dan tidak melahirkan ketidakterbelahan warga bangsa, agar dendam dan kebencian tidak bersayam dalam jiwa dan pandangannya, karena menyingkirkan kemanusiaan, keberadaban dan keadilan sebagaimana mustinya.
Hukum haruslah melahirkan kesamaan martabat untuk tidak melukai keakraban antarwarga bangsa. Hukum haruslah melahirkan keadilan sosial bagi segenap tumpah darah. Hukum dan kepastian hukum haruslah tidak melahirkan kecemburuan sosial dan dam kesumat, karena logika dan akal waras bisa merasionalisasikan keputusan dari produk kepastian hukum yang digelar di meja hijau, bukan di papan rolet perjudian.
Ketidaksetiaan pemerintah terhadap negara itu, terbaca dari banyak hal, terutama dalam kasus korupsi. Yang terbaca secara semiotik adalah pemerintah hanya menargetkan yang paling minimal dari kewajibannya terhadap tugas dan amanat negara dalam nenuntaskan setiap perkara korupsi yang mata rantai dan benang merahnya bergulung-gulung denier, bukan kemaksimalannya yang dilakukan. Sangat berbeda jauh bagaikan langit dengan bumi dalam deru gelombang dan ombak yang menderas jika dibandingkan dengan orang-orang atau kelompok yang dianggap radikal atau penganut radikalisme yang kita pahamai sekarang dalam politik kekuasaan.
Padahal, para koruptor kelas hiu atau paus juga harusnya dikatakan dan diklasifikasikan sebagai orang per orang atau golongan radikal dan atau penganut paham radikalisme ekonomi dan atau radakalisme politik ekonomi dan atau ekonomi politik yang disebut oligar ekonomi-politik, dan harus dimaknai sebagai teroris negara yang mengacaukan kehidupan ekonomi negara yang mengakibatkan kekacauan keselamatan kehidupan negara. Golongan atau kelompok ini pun bekerja secara sistematik, terstruktur dan masif sama dan sebangun halnya dengan politik kekuasaan memahami orang per orang dan atau kelompok yang dianggap radikal atau penganut paham radikalisme atas paham agama.
Kedua radikalisme tersebut bedanya adalah pada radikalisme yang akibat penyuntikan doktrin atas nama agama dan atau kecemburuan ketidakadilan sosial atas nama kemanusiaan dan kebenaran adalah membuat prilaku jalan pintas menuju surga bagi penganutnya, karena tidak ada satu pun orang yang ingin masuk neraka, kemudian distigmatisasi sebagai teroris. Sebab akibat sampai pada jalan pintas tersebut indikator dan varibelnya sesungguhnya cukup banyak, salah satunya adalah akibat jihad kecemburuan sosial dalam banyak hal dalam artian yang sangat luas dan menempati ruang berbagai perspektif.
Sedangkan pada radikalisme ekonomi, salah satu indikator dan variabelnya adalah jalan pintas menuju kehidupan cepat kaya-raya dengan melakukan pembabadan terhadap semua aturan, moralitas dan etics, karena tidak ada orang yang ingin hidup miskin atau menderita, dengan perkataan lain adalah menghalalkan segala cara, tetapi kekuasaan tidak menstigmatisasi dengan teroris.
Yang distigmatisasi sebagai teroris, hingga sampai lubang semut pun akan bisa tercium, terlacak dan ditangkap atau ditembak mati. Tindakan pemerintah sangat trengginas, cepat tanggap darurat. Sebaliknya, radikalisme ekonomi politik dan atau politik ekonomi (para koruptor) tidak distigmatisasi teroris, sehingga tindakan pemerintah memilih berpangku tangan, menunggu laporan masyarakat, bahkan jika mereka sembunyi pun tidak tercium apalagi terlacak apalagi jika kabur ke luar negeri yang tidak mempunyai perjanjian ekstradisi. Pemerintah menyerah dan pasrah. Mati penciuman dan mati pula indra perasanya bagaikan terpapar corona.” (O’ushj.dialambaqa: Perburuan Hak Tagih Negara Atas Amblasnya BLBI, April 2021).
Belum lagi faktor internalisasi datang dari kalangan intelektual itu sendiri, dimana para intelektual yang berada di Menara Gading akademik atau ilmiah menjeburkan diri ke dalam perprostitusian intelektual atau pelacuran akademik. Pada sisi lainnya, adanya faktor eksternalisasi yang merupakan ancaman bagi otonomi intelektual yang datang dari birokrasi (pemerintahan) kekuasaan dan atau rezim status quo dengan iming-iming atau godaan status sosial dan jabatan untuk menghirup kenikmatan.
Oleh karena itu, “saya berharap para penulis, seniman, filsuf dan ilmuwan dapat membuat suara mereka terdengar langsung di semua area kehidupan dengan memanfaatkan semua kompetensi yang mereka miliki. Kebutaan intelektual terhadap kekuatan-kekuatan sosial yang mengatur arena intelektual, dan karena itu praktik mereka, adalah apa yang menjelaskan bahwa secara kolektif dan seringkali di bawah suasana radikal, para intelegensia hampir selalu menyokong kekuasaan kelompok dominan (Pierre Bourdieu: The Role Intellectuals Today). Yang kemudian oleh Bourdieu, intelektual kolektif menjadi persoalan penting, karena merupakan sebuah gerakan untuk melawan sebuah dominasi.
Dominasi tirani akan membungkam semua aspek dalam kehidupan, terutama adalah aspek berpikir dengan logika dan akal waras. Perampokkan logika dan akal waras yang dilakukan oleh dominasi tirani sampai kepada bagaimana agar logika dan akal waras tidak lagi berfungsi. Padahal kata Desctares dikatakan, ‘aku berfikir maka aku ada.”
Descrates menjelaskan kepada kita semua, bahwa dominasi tirani tidak akan mampu memadamkan kenisscayaan ekstra parlementer untuk menjemput harapan baru, karena kebisuan yang tertawan haruslah disuarakan kembali dalam ruang yang terbuka di jalan-jalan untuk melindungi segenap tumpah darah. Ekstra parlemter kemudian lahir sebagai bentuk perwujudan untuk bisa menjawab pertanyaan, dimanakah negara? Karena sebab, semua instrumen dan peralatan demokrasi yang dimiliki dan yang tersedia telah tidak berfungsi lagi. Kanal-kanal pikiran telah tersumbat manpat oleh tirani. Negara makin menjauh, pikiran-pikiran dan suara-suara yang diteriakkan membentur tembok benteng tirani, dimana sumbu-sumbu kekuasaan menyala membrangus logika dan akal waras yang menyuarakan pikiran-pikiran yang merdeka, yang tidak tertawan dan terampok dalam kepentingan pragmatis.
Dalam hal ini kekuasaan menghancurkan tatanan demokrasi, wakil-wakil rakyat yang berada dalam gedung parlemen tidak berdaya dan bobrok. Ektra parlementer menjadi keniscayaan waktu dan menjadi keharusan sejarah, jika kita menjadi bagian integral dari bangsa dan negara di republik negeri ini, terkecuali jika kita adalah bagian dari para pelupa ingatan dan para penghamba kekuasaan, dan kita adalah bagian dari orang-orang keblinger yang berada di negeri para bar bar. Ekstra parlementer adalah sebuah dunia menuju kebangkitan harapan baru yang telah dimusnakan oleh kekuasaan yang otoritarian untuk menyalakan kembali dari keredupan logika dan akal waras. ***
Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.