Kampung Naga adalah satu dari sekian kampung adat Sunda yang masih setia menjaga tradisi nenek moyang.
Kampung Naga diisi oleh masyarakatnya yang hingga kini tetap konsisten dengan pola hidup Sunda Buhun (tradisional).
Kampung Naga secara administrasi terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Lokasinya hanya berjarak 500 meter dari jalan raya utama Garut – Tasikmalaya.
Kata Naga berasal dari asal kata ‘Nagawir’ yang dalam bahasa Sunda artinya tebing terjal, yang secara tidak langsung memberi pemahaman tentang ruang hidup mereka.
Lokasinya berada di Hulu Sungai Ciwulan dan diapit perbukitan dataran tinggi dengan kemiringan 45 derajat yang membujur dari timur ke barat.
Untuk sampai ke lokasi perkampungan, pengunjung harus menuruni 400 anak tangga dari batu yang dilapisi semen selebar dua meter.
Kampung Naga terdiri dari 103 rumah penduduk yang jumlahnya tidak boleh bertambah atau pun dikurangi.
Rumah-rumah di sana berbaris rapi dan sejajar dari timur hingga barat mengikuti arah matahari.
Bagi warga Naga, hidup selaras dengan alam adalah sebuah keniscayaan. Termasuk menjaga amanat kesetiaan pada adat tradisi leluhur atau karuhun.
Terdapat hutan keramat yang disebut Leweung Biuk dengan luas hanya sekitar 1,5 hektar. Hutan tersebut dijaga turun temurun sesuai ajaran nenek moyang.
Tidak sembarang orang yang boleh masuk hutan tersebut. Warga Naga percaya bahwa hidup mereka tak akan selamat jika hutan itu tidak dirawat.
Di pinggiran kampung yang dilingkupi kolam ikan terdapat sebuah masjid, satu balai kampung, dan satu bangunan utama yang disebut Bumi Ageung. Ketiga bangunan itu menjadi pusat formasi rumah-rumah di sana.
Tempat tersebut biasanya akan ramai pada saat ritual yang digelar pada bulan-bulan sakral. Ketika itu, warga Naga wajib memakai pakaian adat dan mandi di sungai.
Bumi ageung tidak boleh dijadikan objek foto, karena bangunan berukuran sekitar 3 × 6 meter, beratap ijuk, dan berdinding anyaman bambu itu merupakan bangunan sakral.
Pagar bambu yang memagarinya adalah penanda bahwa bangunan itu keramat.
Konon, Bumi Ageung adalah tempat penyimpanan senjata pusaka Kampung Naga berupa tombak dan keris. Setiap hari bangunan ini ditunggui seorang wanita yang sudah tak haid lagi.
Di tepi kolam-kolam ikan terdapat saung lisung, atau tempat menumbuk padi warga setempat.
Warga Naga tidak tertarik sama sekali dengan peradaban modern.
“Kesederhanaan membawa kesenangan dalam hidup, kenapa harus berlebihan?” kata Punduh atau Penjaga Naga di sana bernama Ma’un.
Pandangan itu terpatri dalam falsafah hidup adat Naga, yang tertera dalam tutur sebagai berikut: Teu saba, teu soba. Teu banda, teu boga. Teu weduk, teu bedas. Teu gagah, teu pinter.
Artinya adalah: Jika mau hidup bahagia warga Naga harus menjauhi kehidupan harta, tidak merasa lebih tinggi dari yang lain, dan hidup secukupnya secara bersahaja.
Gaya hidup yang tak saling-bersaing memang langsung terlihat secara fisik.
Rumah panggung yang dibangun mengikuti kontur tanah dan disangga kerangka utama dari tiang-tiang kayu.
Satu hal menarik dari warga Naga, yaitu pengetahuan akan mitigasi kebencanaan sudah ada sejak kampung mereka berdiri. (*)