Banyak ekses dari pandemi yang menimpa bangsa kita. Soal pendiddikan sekolah, soal hubungan kedermawanan sosial, tenaga kerja, dan masalah ekonomi. Inilah ujian yang harus kita hadapi.
Tidak ada jalan lain kecuali kesedaran atau kekompakan. Apapun usaha dan doa kebersamaan harus kita lakukan. Agar kita selamat dari ujian dan cobaan ini. Yaitu berusaha dan berdoa.
Agama kita mengajarkan tentang kedermawanan sebagai sikap adalah pilar keiklasan, kebersamaan dan keadilan terdapat dalam Al Akraf ayat 26.
“Katakanlah hai Muhammad Tuhan meyuruh berbuat adil dengan sepenuh hati setiap kali sholat dan beribadahlah dengan mengikhlaskan amal-amalmu hanya kepada-Nya sebagai mana Ia telah menjadikan kamu pada mulanya dan akan kembali kepada-Nya.”
Ayat ini sejalan dengan arti pesan kedermawanan yakni keikhlasan, sesungguh hati amal sesuai dengan perintah-Nya. Tiada karena yang nawaitu lain tersembunyi. Sebagai contoh ada kerja sesuatu karena pencitraan ingin dipuji dan sebagainya.
Esensi kedermawanan itu adalah memberi dengan hati yang bersih membantu sesama, individu ataupun kelompok. Karena itu sikap memberi kepada sesama seperti demikianlah harus dikembangkan.
Perilaku sikap mau membantu antar sesama nampaknya belum terlaksana dengan baik dalam masyarakat kita. Sebuah data sederhana ditampilkan oleh harian Kompas mengutip Jala Kerja bahwa membantu sesama masih belum seperti yang diharapkan. Yang terjadi bukan membantu sesama yang berlaku, tetapi saling mengeksploitasi antar sesama yang terjadi.
Apalagi masa ekonomi sulit karena pandemi Covid-19, kekerasan pada pekerja, paksaan, tidak dibayar gaji dan PHK. Terdapat kenaikan paksaan pekerja 467 kasus di Jakarta tahun 2020, meningkat menjadi 897 kasus dalam tahun 2021.
Kita melihat inti pati keadilan sesama itu, terpokus keadilan ekonomi. Singkat kata semakin seret ekonomi semakin tinggi eksploitasi dan ketidakadilan. Jadi pokok perkaranya adalah ketidakadilan ekonomi. Sebuah ironi dari bangsa ini, yang disimbolkan suka bekerjasama dan tolong menolong.
Founding Father kita Mohamad Hatta sangat menekankan praktek kita menyebut keadilan ekonomi kita sebagai ekonomi kekeluargaan yang tiada eksploitasi di dalamnya temasuk pengelolaan sumber daya alam dan tata ruang bumi dan yang ada di atas dan di dalamnya.
Hal yang sama digagas oleh Presiden Soekarno dengan menyodorkan inti konsepnya sebagai berikut.
“Sesunguhnya keadilan sosial yang di dalamnya tiada eksploitasi manusia oleh Negara, tiada kapitalisme, tiada kekerasan, tiada perbudakan menyengsarakan karena beban yang berat,” demikian kata Soekarno.
Menempatkan menjadi realitas, itulah yang menjadi beban berat. Sementara implikasinya sudah merembet ke mana-mana. Rusak kegotong royongan prinsip kekeluargaan.
Soekarno memandang gotong royong soko guru yang dapat membangun rasa senasib sepenanggungan. Bangsa yang besar harus bertumpu prinsip ini. Tanpa rasa senasib sepenenggungan bangsa akan kerdil. Apa lagi menghadapi masa berat pandemi seperti sekarang ini.
Akhirnya, kita harus menyadari pandemi adalah ujian, yang kita terima dengan ikhtiar bersama. Dengan tolong menolong, menebar kedermawanan. Seberapapun yang mampu kita berikan. Selalu berdoa kepada Allah agar kita dilindungi dan selamat dari bahaya pandemi. Semoga!
Jakarta, 29 Juni 2021
*) Penulis adalah Doktor Dosen Pascasarjana Universitas Muhamammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta