Walau Pemerintah telah mengalokasikan pembiayaan sekolah melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Operasional Pendidikan dan Kartu Indonesia Pintar, masih saja ada pungutan-pungutan yang dibebankan kepada siswa dan orangtua/wali. Alokasi APBD setiap daerah yang dikucurkan untuk sektor pendidikan juga tidak mampu menghapus pungutan yang dilegalkan atas nama Komite Sekolah ini. Bahkan sekelas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, tidak menciutkam nyali satuan pendidikan untuk tetap melakukan kutipan-kutipan.
Kegiatan lulus-lulusan menjadi salah satu momentum yang dimanfaatkan satuan pendidikan dalam menjalankan aksi tidak terpuji tersebut. Untuk mendapatkan selembar tanda bukti kelulusan, orangtua siswa harus merogoh kocek puluhan hingga seratusan ribu rupiah. Akibatnya istilah “tebus” SKHU (Surat Keterangan Hasil Ujian) jadi tranding saat momen kelulusan.
Mengelabui agar terkesan tidak Pungli (pungutan liar), satuan pendidikan menggelar musyawarah kelulusan bersama Komite Sekolah dan orangtua siswa. Pada saat musyawarah, skenario untuk memuluskan biaya tebus SKHU dilakukan. Komite Sekolah dan beberapa orang tua siswa dijadikan wayang, agar aksi pungutan liar itu berjalan mulus dan mendapat persetujuan dari seluruh peserta rapat. Modus uang terima kasih dikumandangkan.
Akibat telah di-setting sedemikian rupa, dengan berat hati, orangtua siswa terpaksa menyetujui. Keberanian interupsi yang tidak ada, membuat peserta musyawarah hanya diam seribu bahasa. Top markotop, pemufakatan jahat yang biasanya disutradarai pimpinan satuan pendidikan ini berjalan sukses.
Merasa bak pahlawan, Komite Sekolah membusungkan dada. Di sisi lain, pimpinan satuan pendidikan senyum sumringah menonton aksi Komite Sekolah, yang sudah berkenan menjadi pelakon utama dalam menabrak aturan yang telah ditentukan. Minimnya SDM dan rasa ketakutan diduga menjadi faktor utama penyebab lembaga yang dulunya bernama Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3) ini mudah untuk dikendalikan. Alhasil, Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar, terabaikan.
Hal ini diperparah dengan kurangnya pemahaman tentang Peraturan Mendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Padahal, Pasal 10 ayat (2) Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 telah mengamanatkan batas-batas penggalangan dana yang boleh dilakukan Komite Sekolah. Penggalangan dana berbentuk bantuan atau sumbangan yang dimaksud adalah pemberian berupa uang/barang/jasa oleh pemangku kepentingan satuan pendidikan di luar peserta didik atau orangtua/wali.
Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 juga secara jelas membedakan pungutan bersifat wajib dan mengikat, serta sumbangan bersifat sukarela dan tidak mengikat. Pungutan diperbolehkan asal memenuhi ketentuan pada Pasal 8. Sementara pada Pasal 11 menegaskan, pungutan tidak boleh dilakukan kepada peserta didik atau orangtua/wali dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar peserta didik, dan kelulusan peserta didik.
Dari uraian di atas, pungutan biaya SKHU dengan modus uang terima kasih jelas bertentangan dengan Pasal 11 Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012. Dalih uang tanda tangan, biaya penulisan ijazah, photo copy, dan lain sebagainya, hanyalah alasan klise untuk meraup keuntungan pada kegiatan tahunan itu. Meski telah didahului dengan kesepakatan para pemangku kepentingan, kutipan tersebut tidak memiliki dasar hukum alias Pungli.
Jika dicermati, dari 13 komponen yang dibiayai oleh dana BOS, salah satunya adalah kegiatan ulangan dan ujian. Artinya, biaya yang ditimbulkan oleh kegiatan ini dianggarkan dari BOS. Dengan demikian, satuan pendidikan tidak lagi berhak memberlakukan tarif untuk mengambil SKHU maupun ijazah. Pungutan yang dilakukan dengan dalih uang pendaftaran, uang bangku sekolah, uang bangunan, uang buku ajar, uang LKS, uang ekstrakurikuler, uang perpustakaan, serta uang kelulusan, merupakan tindakan melawan hukum.
Tindakan melawan hukum bagi pelaku Pungli dijerat dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Pidana Korupsi, khususnya Pasal 12 E dengan ancaman hukuman penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun. Pelaku Pungli juga bisa dijerat dengan Pasal 368 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal sembilan bulan. Pelaku Pungli berstatus PNS dengan dijerat dengan Pasal 423 KUHP dengan ancaman maksimal enam tahun penjara. ***