(Bagian-I)
Penerimaan murid baru di dunia pendidikan tahun ini memang sudah lewat. Namun dari situ jelas-jelas meninggalkan sekelumit catatan buram seputar buruknya manajemen pendidikan yang terjadi di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat.
Tahun ajaran baru, boleh jadi merupakan pengulangan praktek-praktek penyimpangan yang terjadi dari tahun ke tahun. Sepertinya sudah menjadi kelaziman, bila musim Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) dulu istilahnya Penerimaan Siswa Baru (PSB) tahun ajaran 2020/2021 ditengarai dijadikan ajang bisnis bagi pihak-pihak tertentu guna mengambil keuntungan dari kepanikan orangtua murid yang hendak menyekolahkan putra-putrinya.
Dengan balutan koperasi atau memanfaatkan pihak distributor dijuallah aneka kebutuhan siswa nyaris di semua jenjang mulai tingkat dasar hingga menengah atas seperti baju seragam sekolah, baju muslim, baju olahraga, baju batik, baju pramuka, sepatu, topi, dasi, atribut dan buku Lembar Kerja Siswa (LKS) dengan harga cukup fantastis. Hal ini membuat para orangtua murid terbebani, pasalnya harus merogoh koceknya dalam-dalam hingga jutaan rupiah, demi kelangsungan pendidikan anak-anaknya.
Tak hanya itu carut marut dunia pendidikan di Subang disebut-sebut dalam pelaksanaan proyek fisik rehab/RKB SD dan SMP bersumber DAK tahun ini mendapat kucuran dana pusat (APBN) puluhan miliar rupiah, juga tak luput dijadikan ajang meraup keuntungan bagi oknum Dikbud yang disinyalir berkongkalingkong dengan suplayer bermodus mark down harga (baca : sejak perencanaan biaya, menurunkan harga jual di bawah harga pasar sebagai reduksi harga ritel awal atau menurunkan margin) terkait pengkondisian pengadaan baja ringan dan meubeler. Dari praktek culas ini oknum tersebut mendapat fee hingga ratusan juta rupiah yang mengelontor dari suplayer.
Langkah berani yang dilakukan oknum itu disebut–sebut lantaran di-backup oleh oknum pentolan sejumlah Ormas dan Orprof tertentu yang cukup berpengaruh di kota nenas ini sebagai watchdog dengan mendapat imbalan sebagian fee dari oknum Dikbud itu.
Selain itu, belakangan yang masih ramai menjadi perbincangan publik adanya dugaan Pungli biaya pengayaan UNBK dan perpisahan mencapai ratusan juta rupiah dimana kegiatannya tidak dilaksanakan. Sementara para orangtua/wali murid masih mempertanyakan, lantaran pihak sekolah tidak memberikan pertanggung jawaban pasti.
Di negeri Paman Sam (Amerika Serikat-Red) khususnya, bila tahun ajaran baru, calon siswa yang mendaftar ke sekolah, pertama kali ditanya seputar domisili, RT/RW berapa, alamat di mana, di jalan apa?
Proses ini dimaksudkan ketika kelak diterima menjadi siswa resmi, sebagai data penentu rute antar jemput bus sekolah yang bakal dioperasikan pihak sekolah. Selepas pukul 12.00 waktu setempat, para siswa diberi makan dan jajanan kecil.
Sejumlah faktor suksesnya penyelenggaraan pendidikan di negeri Paman Sam itu, konon selain manajemen pendidikannya cukup baik, komitmen moral para penyelenggaranya cukup kuat. Mereka selalu concern ketika menerapkan kebijakan, sehingga program wajib belajar pendidikan dasar (Wajardikdas) 12 tahun terbilang sukses.
Begitu sekelumit gambaran penyelenggaraan Wajardikdas 12 tahun (hingga jenjang SLTA-Red) di negeri itu yang semuanya serba gratis.
Tidak seperti di negeri kita, baru omong soal PPDB sudah belepotan, apalagi bicara soal kualitas. Untuk bersaing dengan negara-negara ASEAN saja urutannya masih jeblok.
Buruknya pengelolaan pendidikan ditengarai moral para penyelenggaranya yang sudah rapuh, sehingga boleh jadi lembaga satu-satunya pencetak orang pintar seperti Prof BJ Habibi (mantan Presiden RI ke-3) diserupakan bak ‘pasar swalayan’ yang mengacu pada kebijakan untung rugi dan menggunakan sistem ‘sempoa’.
Sekolah yang dipahami sebagai lembaga nirlaba, tampaknya saat ini telah benar-benar berubah menjadi instansi bisnis yang menggiurkan. Dengan dalih dan berbekal aturan yang dipelintir saenake wudel dewek (Jawa-sekehendak hati) dan mengatasnamakan lembaga pendidikan, oknum yang bernaung di bawah intansi berselogan pahlawan tanpa tanda jasa diduga sengaja memanfaatkan momen PPDB ini untuk meraup keuntungan pribadi atau kelompoknya.
Beberapa penyimpangan itulah yang kemudian membuat keprihatinan mendalam bagi aktivis pemerhati pendidikan dan orangtua/wali murid, padahal tak kurang Kemendikbud telah menerbitkan sejumlah peraturan tentang larangan bagi pendidik dan tenaga kependidikan menjual buku dan pakaian seragam, tapi nampaknya regulasi itu diacuhkan.
Hal itu seperti tertuang pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, dimana di Pasal 181 disebutkan ‘Pendidik dan tenaga kependidikan baik perorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar dan pakaian seragam di tingkat satuan pendidikan’.
Jika memang ingin menggunakan buku LKS, maka harus dibuat sendiri oleh guru bidang studi bersangkutan atau melalui musyawarah guru mata pelajaran terkait. Dana dalam aturannya dana BOS dapat dimanfaatkan untuk pembuatan buku LKS guna menunjang aktivitas belajar siswa, sehingga siswa sama sekali tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun untuk mendapatkan buku LKS.
Seharusnya latihan-latihan itu dibuat sendiri oleh guru sebab dalam kurikulum baru, tidak ada lagi buku LKS. Kalau ada, itu sebuah kesalahan dan harus dihentikan. Penggunaan buku LKS tentu akan mengubah filosofi cara belajar siswa aktif menjadi pasif, sehingga sistem pembelajaran yang seharusnya mengutamakan diskusi antar guru dan teman di kelas tidak berjalan dengan baik.
Siapakah yang menikmati keuntungan uang haram dari penjualan secara ilegal ini?
Di satu pihak ada siswa dan orangtua/wali peserta didik yang dijadikan ‘sapi perahan’. Pihak ini berada di posisi lemah, meski mereka menyadari telah ditipu dan diperas, tapi tak kuasa menolak. Orangtua/wali murid peserta didik rata-rata hanya pasrah, mereka takut jika hal ini ditentang akan berakibat buruk baga anak-anak mereka yang sedang sekolah. Pasrah tapi tak rela.
Modus yang berlangsung setiap bulan pertama awal semester ini telah sangat akrab bagi siswa dan orangtuanya. Biasanya setiap awal semester seluruh wali kelas mewanti-wanti kepada para siswa agar masing-masing memberitahu orangtuanya untuk menyiapkan uang untuk pembelian buku LKS dari Penerbit tertentu yang telah disediakan pihak sekolah.
Di pihak lainnya ada sekumpulan ‘predator’ yang memanfaatkan momentum PPDB ini untuk mencari mangsanya. Siapa saja mereka ini? Ada pihak distributor yang bersimbiosis mutualisme dengan kepala sekolah dan oknum guru lainnya. Distributor sebagai kaki tangan penerbit dengan piawai mendekati kepala sekolah, menawarkan sejumlah fee dan potongan rabat atau yang sering dilakukan adalah dengan menentukan harga modal. Kepala sekolah dengan segala wewenangnya melakukan kalkulasi dan melihat ada sejumlah keuntungan dari modus ini, maka dengan senang hati menjadikan sekolahnya disulap menjadi “toko bukunya” para distributor.
Sungguh ironis memang, kaum intelektual yang kerap mendapat sebutan ‘pahlawan tanpa jasa’ itu harus rela menggadaikan harga dirinya dan mengorbankan hati nuraninya hanya demi ‘seonggok fulus’.
Pentingkah Buku LKS itu?
Buku LKS begitu tren, khususnya di banyak negeri di Kota Subang. Penggunaan LKS di beberapa sekolah baik di tingkat dasar atau tingkat menengah sejak sadasa warsa lalu sepertinya telah menjadi keharusan. Entahlah permulaan pemakaian LKS itu apakah dimulai dari inisiatif guru atau mungkin pihak sekolah (baca: kepala sekolah), sehingga hampir setiap awal tahun ajaran atau semester putra-putri kita ‘diwajibkan’ membeli LKS sebagai bahan latihan penunjang siswa.
LKS terkesan diwajibkan untuk semua siswa, karena diproyeksikan bahwa mereka harus menggunakannya ketika mereka masuk kelas. Penggunaan LKS sepertinya melebihi penggunaan buku pegangan itu sendiri. Sehingga bila ada cerita bila buku pegangan itu malah jarang digunakan itu adalah hal wajar. Selain membuat soal itu sulit, kemungkinannya juga guru-guru kita malas membuat soal atau bahkan tidak bisa membuat soal, sehingga keberadaan LKS sungguh sangat membantu.
Beberapa Fakta Keberadaan buku LKS, antara lain :
Pertama; LKS itu harus dibeli oleh siswa. Siswa tidak akan diberikan LKS jika tidak membayar dengan jumlah tertentu. Ini semua adalah pungutan pertama yang dikenakan kepada siswa–siswa kita. Bukan kita menolak secara frontal, tapi guru tentunya punya kewajiban untuk membuat soal-soal yang dapat digunakan sebagai bahan evaluasi terhadap siswa. Seharusnya guru lebih bisa berkreasi untuk membuat soal-soal yang lebih menyasar.
Kedua; LKS itu dibuat oleh pihak ketiga. Pihak ketiga itu biasanya adalah pihak swasta yang ingin mengeruk keuntungan dari penggunaan LKS itu sendiri.
Ketiga; LKS sering menyajikan soal-soal yang salah. Entah salah ketik atau mungkin sering menggunakan kata-kata yang sudah tidak relevan dengan mata ajar atau bahkan kontra produktif dengan karakter-karakter yang harus tetap dibangun pada diri siswa itu sendiri. Hal ini banyak ditemukan semisal, banyak contoh-contoh soal yang berorientasi kepada karakter negatif. Sehingga siswa lebih dekat dengan term-term kata yang bernilai negatif. Misalnya saja, pendek, bodoh, bego, jahat dan sebagainya. Mungkin analisa ini keliru, tetapi besar kemungkinan kata-kata buruk yang sering digunakan siswa dalam berkomentar tentang suatu hal atau ketika berkomunikasi dengan temannya terbentuk secara otomatis dari kosa kata yang tidak berimbang seperti yang digunakan dalam buku.
Keempat; Keberadaan LKS di satu sisi dapat membantu guru dalam penyajian bahan latihan ke siswa, namun di sisi lain justru akan mereduksi fungsi guru, sehingga guru akan cenderung malas membuat soal karena ketergantungan pada keberadaan LKS itu sendiri.
Kelima; Sekolah dijadikan ladang bisnis oleh pihak ketiga. Secara tidak langsung akan terjadi kongkalingkong, sehingga dapat menebar benih-benih korupsi di dunia pendidikan, karena bagi penerbit yang lebih besar memberi fee dipastikan akan lebih laku dagangannya.
Keenam; LKS sering disediakan kunci jawaban. Seperti diketahui bahwa guru cenderung mengandalakan kunci jawaban ketika mengoreksi hasil kerja siswa. Di sini kerap muncul komplain dari orangtua dan siswa. Menurut mereka tugas-tugas yang kerjakan oleh siswa sudah benar, sementara oleh guru dipersalahkan. Sepertinya guru lebih mempercayai kunci jawaban dari pada kerja siswanya.
Ketujuh; LKS dan Buku Ajar. Mana yang seharusnya dipilih. Tidak sedikit dengan keberadaan LKS, guru cenderung labih suka menggunakan LKS ketimbang buku ajar. Siswa cukup diberi LKS dan sibuk mengerjakan soal sendiri.
Menyoroti kebijakan pemerintah tentang ketentuan sekolah yang menyelenggarakan Pendidikan Gratis Terbatas, penulis menilai bahwa itu kebijakan ambivalen (setengah hati-Red), lantaran oleh pihak sekolah masih bisa disiasati di tingkat implementasi dengan tujuan komersial dan fenomena ini cukup merisaukan orangtua murid.
Atas mencuatnya fenomena seperti di paparan di atas, Bupati Subang diminta memberikan sanksi terhadap mereka (para kepala sekolah) yang dinilai tidak mematuhi larangan berbagai perangkat peraturan yang spesifik mengatur tentang jenis-jenis larangan pungutan yang telah diterbitkan pemerintah.
Selain itu Bupati Subang untuk bisa menebitkan Surat Edaran (SE) secara kontinyu setiap awal tahun ajaran baru sebagai pengingat ke semua jenjang pendidikan, mulai tingkat dasar hingga menegah yang isinya melarang melakukan pungutan atau penjualan seragam dan buku sekolah serta memastikan penggunaan dana BOS agar benar-benar digunakan untuk siswa yang tidak mampu tetap bisa sekolah.
Mahalnya biaya pendidikan seperti halnya terjadi di Subang ini, dikeluhkan banyak pihak dan merisaukan para orangtua siswa yang hendak menyekolahkan anaknya.
Bagi orangtua tak berpunya, jelas biaya PPDB menjadi batu sandungan untuk mewujudkan impiannya punya anak pintar seperti Prof BJ Habibi (Mantan Presiden RI Ke-3).
Tetapi tidak bagi orangtua murid yang mampu (kaya), lantaran mereka mampu membayar berapapun nilainya. (Bersambung)
Penulis adalah wartawan Demokratis Biro Kabupaten Subang.