Oleh Andri Wikono
Saya meyakini, bahwa kemanusiaan lebih diutamakan dari bendera, sekalipun itu bendera merah-putih yang saya cintai. Tapi kenyataanya, kita sering melihat keduanya bertukar posisi.
Pak Sukma, Pak Sawin, dan Pak Nanto: mereka adalah petani yang kukuh menolak pembangunan PLTU di Mekarsari, Indramayu, Jawa Barat. Kala itu, pada 4 Desember 2017, masyarakat Mekarsari mengajukan banding ke Pengadilan Bandung, dan hasilnya: menang. Warga pun bersuka cita dan dengan perasaan haru, mereka menegakkan tiang-tiang berbendera merah-putih di batas antara permukiman warga dan lokasi proyek.
Konon dua hari kemudian, tiang dan bendera tersebut lenyap. Yang didapati kemudian adalah tiang dengan bendera yang warnanya terbalik: putih-merah. Pada dini hari 24 Desember 2017, aparat menggeruduk dan menciduk Pak Sukma, Pak Sawin, dan Pak Nanto secara banal. Seiring berjalannya waktu, saya sudah menyaksikan Pak Sukma, Pak Sawin, dan Pak Nanto telah diplontos. Beberapakali saya mendapati foto mereka dengan pakaian narapidana. Beberapakali pula saya melihat foto bergambar ibu-ibu dan anak-anak kecil yang berwajah sedih dan rindu, bersanding dengan Pak Sukma, Pak Sawin, dan Pak Nanto.
Belum habis rasa heran saya soal kriminalisasi terhadap tiga petani asal Indramayu, muncul lagi satu peristiwa terkait bendera. Sebuah tiang melengkung-patah dengan bendera merah-putih menyentuh comberan, ditemukan di depan asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya. Ratusan massa segera mengepung asrama tersebut. Ormas FPI dan Pemuda Pancasila juga hadir di sana. Konon, nyanyian “bantai Papua” terdengar lantang dari depan asrama. Pada hari berikutnya, 17 Agustus 2019, warga, Ormas, beserta aparat kepolisian, TNI, dan Pol PP datang kembali ke depan asrama tersebut. Tembakan gas air mata dilancarkan ke asrama yang disinyalir mengandung senjata berbahaya berupa sikat gigi dan karung-karung indomie. Bagian bangunan asrama seperti pagar terali, kaca jendela, dan pintu, dirusak. Sampai-sampai, muncul umpatan “monyet” yang ditujukan kepada para mahasiswa Papua di asrama, dan karenanyalah memicu terjadinya lautan demonstrasi di Papua dan aksi solidaritas di beberapa kota di Indonesia.
Tapi kita tahu, bahwa keseokan harinya, 43 mahasiswa Papua yang sempat ditangkap itu dibebaskan oleh polisi. Pihak kepolisian merasa tidak memiliki bukti kuat atas kasus penghinaan terhadap lambang negara Indonesia. Ini yang disebut prinsip: sergap dulu, urusan salah dan benar, serahkan pada rumput yang bergoyang.
Bendera merah-putih adalah simbol negara yang memiliki bobot historis, budaya, dan pengetahuan yang besar terhadap Bangsa Indonesia. Ia adalah simbol persautan yang lahir dari cucuran keringat, air mata, dan darah. Ia adalah wujud pemersatu sekaligus pembangkit nasionalisme. Kita mafhum soal itu. Tapi mengapa nasionalisme kita sering tak jelas juntrungnya?
Tiga petani Indramayu dan mahasiswa Papua di asrama Surabaya, adalah dua contoh korban atas nama bendera merah putih, yang menderita oleh nasionalisme. Dua contoh ini memberitahu kita bahwa ada kemungkinan terjadinya eksploitasi terhadap manusia dan alam di tempat-tempat lain yang dilakukan atas dalih nasionalisme. Inilah nasionalisme tanpa kemanusiaan.
Nasionalisme tanpa kemanusiaan adalah nasionalisme yang berangkat dari superioritas dan libido kuasa. Ia bukan nasionalisme yang bertunas dari kemanusiaan; wujud solidaritas atas penderitaan yang sama, yang tumbu atas dasar sesuatu yang objektif dan kualitatif. Di titik ini, bendera dan simbol-simbol nasionalisme lainnya, adalah ejawanta dari sesuatu yang mendasarinya, yakni kemanusiaan. Merupakan hal muskil, bila nasionalisme tak berangkat dari humanisme.
Nasionalisme tanpa kemanusiaan adalah genosida. Itulah nasionalisme yang mengakibatkan jutaan orang Yahudi mati di tangan Nazi. Itulah nasionalasime yang melenyapkan 800 ribu suku Tutsi oleh pihak Hutu (di Rwanda). Itulah nasionalisme yang melayangkan nyawa dua juta orang di Kamboja dalam gengaman tangan rezim Khmer Merah pimpinan Pol Pot. Itulah nasionalisme yang membuat dua juta saudara-saudara kita mati dalam peristiwa G30S.
Lalu, mengapa orang berbuat buruk atas dasar nasionalisme?
Saya kira, itu terjadi karena mereka (pelaku) tidak “melihat” manusia (korban) di hadapannya sebagai manusia. Mereka hanya melihat abstraksi tentang manusia di hadapannya—sesuatu yang mana sebetulnya ia sedang melihat ke dalam kepalanya sendiri. Yang mereka lihat, sesungguhnya adalah bendera, warna kulit, agama, hasrat, bahasa, adat, kedudukan, maupun profesi; yang dilihat adalah peluang, kekuasaan, kepentingan, gagasan, dan hal-hal lain yang bersifat permukaan. Mereka belum melihat sesuatu yang dalam konsep wajah enigma Emmanuel Levinas disebut sebagai “wajah dari Yang-Lain” (the face of the other), suatu wajah yang “abadi”, yang “tak terjangkau”, yang hadir sebelum “fenomena”; wajah, yang jika dihampiri dalam keterbukaan diri seutuhnya, akan menghadirkan sensibilitas transenden pada seseorang, dan membuat seseorang itu bertanya pada orang di hadapannya, “Kok, di wajah sampean ada wajah saya ya?”
Namun sering kali, bagi mereka yang belum “melihat” seseorang di hadapannya sebagai manusia, akan melabeli seseorang itu dengan pelbagai macam nama atau istilah seperti kriminal, sparatis, tidak nasionalis, “anjing”, ataupun “monyet”. Pelabelan tersebut kerap bertujuan untuk memberikan kejelasan objek yang ingin dikuasai. Hanya dengan begitulah, anasir-anasir kemanusiaan mampu disisihkan, sehingga mereka (pelaku) tidak tercegah dan dengan leluasa menguasai objek (korban) sepenuhnya.
Label semacam itulah yang melahirkan kasus-kasus pembantaian massal secara tepat sasaran. Misal, label cockroaches (kecoa) bagi suku Tutsi dalam tragedi di Rwanda dan pigs (babi) bagi Yahudi dalam tragedi besar Holochaust. Di balik sebutan-sebutan itu, ada mayat bergelimpangan. Ada pula simtom kejahatan yang belum atau sengaja disembunyikan. Makian “monyet” bagi para mahasiswa Papua di Surabaya, salah satunya, bisa jadi merupakan sinyal bahwa ada sesuatu yang tak beres di Papua, yang artinya makian itu bukan semata-mata peristiwa rasisme tapi juga sesuatu yang memiliki akar panjang, yang besar dan kompleks.
Maka saya jadi waswas ketika mendengar teriakan jargon “NKRI harga mati” dari saudara-saudara saya. Saya hanya khawatir, nasionalisme saudara-saudara saya itu direduksi oleh kepentingan-kepentingan untuk membabat saudara-saudaranya yang lain, dipelintir untuk membungkam suara-suara kritis, dimanfaatkan untuk mengabaikan kebenaran-kebenaran ilmiah/objektif. Saya resah jika akan ada nasionalisme-nasionalisme tanpa manusia yang memperalat “NKRI harga mati” demi menihilkan kemanusiaan, dan menjadikan bendera nasional sebagai berhala modern. Saya takut, jargon yang konon mulanya berfungsi untuk menangkis konsep totalitarian, sebuah skema counter-ideology, malah berujung pada jenis totalitarian baru.
Saya berharap, bahwa “NKRI harga mati” tetap dipakai dengan syarat; hanya jika ditujukan pada perusak harkat martabat manusia: penindasan, pemiskinan, korupsi, pembodohan, kekejian, pembunuhan dan lain sebagainya. Masalahnya, apalagi di dunia yang kian pelik ini, kita makin sulit membedakan semua itu. Mana keamanan mana penindasan. Mana pemiskinan mana nasib miskin. Mana korupsi mana sumbangan. Mana pembodohan mana pendidikan. Mana kekejian mana heroisme. Mana pembunuhan mana jihadisme. Mana ketenangan mana kemencekaman. Mana kolonialisme dan mana nasionalisme.
Barangkali hanya perasaan empatik dan otak berilmu, yang dapat membedakan perbedaan itu. Dengan hati dan pikiran demikianlah nasionalisme tak kehilangan manusia. Pun,“NKRI harga mati” tetap perlu dan baik, tapi Saudara tahu, bahwa kini ada saja yang membuatnya buruk. Memang, ada makanan, pasti ada tai.
Penulis aktif di pegiat Senja Sastra (Sentra), Cirebon.