Jakarta, Demokratis
Perhimpunan untuk Pendidikan Guru (P2G) memberi nilai merah untuk sembilan kebijakan pendidikan dan program kerja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim selama 2020. Warna merah menjadi nilai dominan dari 15 kebijakan dan program yang diukur P2G.
“Dari 15 kebijakan yang kami nilai, rincian skor penilaiannya yaitu 9 nilai merah, D dan E. Satu nilai C, satu nilai B, dan empat nilai A,” kata Koordinator P2G dalam keterangannya, Senin, 28 Desember 2020.
Jika mengambil rata-rata, maka nilai Nadiem adalah C atau jika dalam angka nilai Nadiem ialah 75,2. Adapun 9 nilai merah dalam rapor Nadiem di antaranya rencana Nadiem untuk menerapkan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Januari 2021.
“Nilai 68 kategori Predikat D alias nilai merah untuk rencana Kemendikbud dalam PTM Januari 2021 nanti. Mengingat kondisi terakhir, kasus covid-19 makin tinggi, ditambah libur siswa pasca UAS, Natal, dan Tahun Baru,” ungkapnya.
Selanjutnya nilai merah dengan skor 70 juga diberikan pada program Merdeka Belajar. Nilai D itu diberikan karena P2G menilai Kemendikbud tidak memiliki naskah akademik sebagai dasar filosofis kebijakan.
Sementara itu, pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) juga diberikan nilai buruk. Bahkan untuk PJJ P2G memberi nilai E dengan skor 58.
Program Organisasi Penggerak juga mendapat catatan serupa. Nilai 69 atau predikat D disematkan untuk program yang akhirnya ditunda dari tahun 2020 menjadi 2021 ini.
Meski mendapat sambutan baik, nyatanya program bantuan kuota internat oleh Kemendikbud juga mendapat nilai merah dengan skor 79 atau predikat D. Pasalnya terdapat persoalan penyaluran kuota yang tidak tepat sasaran dan terbuang sia-sia.
Nilai merah berikutnya diberikan pada program profil Pelajar Pancasila, rencana perubahan kurikulum 2021 dan bentuk komunikasi Kemendikbud dengan pemangku kepentingan. Tiga program itu mendapat nilai 70 atau predikat D.
Terakhir, pihaknya memberikan nilai 60 dengan predikat D kepada rencana Asesmen Nasional (AN) sebagai pengganti Ujian Nasional (UN). Alasannya, belum ada naskah akademik dan kejelasan hukum atas kebijakan yang rencananya bakal dijalankan Maret 2021 itu.
Asesmen ini juga terkesan tergesa-gesa dan dipaksakan, di tengah kondisi pandemi warga pendidikan masih berkutat dengan PJJ. Pembelajaran selama pandemi hampir sembilan bulan sangat tidak efektif dan tidak optimal untuk penyelenggaran AN.
“Lantas tiba-tiba siswa mesti mengikuti AN, ini sungguh tidak berkeadilan,” pungkas Satriwan. (Red/Dem)