Menselaraskan hubungan antara kerja bermitra bersama pemerintah atau shadiqul hukumah dengan kerja pengkhidmatan pada umat atau khadimul ummah bukanlah kerja kecil. Lagi pula unik dengan keterlibatan aneka pihak. Tepatlah untuk dikatakan sebuah kerja besar.
Hubungan dua bentuk kerja tersebut setelah dibahas lalu menjadi rokemendasi rapat kerja Komisi Ukhuwah Islamiyah (KUI) Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertengahan November 2020 lalu. Raker diadakan dua hari di Park Hotel Jakarta. Saya hadir sebagai anggota dengan semua anggota KUI.
Acara tersebut mendapat pengarahan dari unsur Ketua Harian MUI tentang apa dan kepastian peran independen MUI kedepan. Karena ketika itu waktu menjelang Munas MUI. Lagi hangatnya polemik radikalisme politik hukum berat sebelah soal Habib Rizieq serta ditembaknya enam pemuda dari Front Pembela Islam (FPI).
Di situlah ada pendapat kuat agar MUI berupaya untuk mempertegas landasan dan fungsi yang dirujuk oleh umat untuk tercapainya izzul islam wal muslimin. Landasannya yaitu berkaitan pelayanan umat, kerukunan intern umat Islam, dan kerukunan antar umat beragama dan kerjasama dengan pemerintah.
Kita perlu mencari bagaimana posisi Majelis Ulama Indonesia urgent saat ini. Ada dua hal: Pertama, untuk bekerjasama dengan semua pihak dan faktor kedua hubungannya dengan pengkhidmatan kepada umat atau khadimul ummah. Ini sesuatu yang penting dan mendesak. Karena dengan bekerja sama berkhidmat dapat maksimal dilaksanakan.
Intinya dua faktor harus berjalan berkelindan dan terukur. Khadimul ummah tidak mungkin dilaksanakan terpisah dari shadiqul hukumah atau kerjasama dengan pemerintah. Sementara tanpa shadiqul hukumah itu sulit untuk merealisasikan program.
Maka hal itu kemudian bisa menjadi sebagai kunci untuk menjelaskan setting apa fungsi MUI yang sesungguhnya. Baik dalam konteks shadiqul hukumah dan atau konteks khadimul ummah. Tak ada shadiqul hukumah kalau lepas dari khadimul ummah. Apa artinya kerjasama jika tidak untuk kepentingan dan bermanfaat pada umat. Juga apa manfaatnya mengabdi umat tapi ulama bertikai dan konflik dengan pemerintah.
Konteks ini, menarik dan relevan dengan ajaran Islam. Yaitu khairunnas tanfauun nass yang terbaik itu adalah yang memberi sebesar manfaat untuk yang lain.
Ajaran lain tentang itsar yaitu mampu mengendalikan ego sektoral atau dalam istilah popular mau menang dan hebat sendiri. Tidak melihat kelebihan orang lain atau kelompok yang bukan kelompoknya. Yaitu takjub binafsik.
Inilah kemudian meniadakan kepentingan orang lain lalu hanya mengutamakan kepentingan diri sendiri. Ringkasnya ada kontra konsep itsar beorientasi manfaat untuk masyarakat dan konsep takjub binafsik yang berorientasi individual.
Poin di atas membawa pokok perkara menjadi apakah dengan shadiqul hukumah dan khadimul ummah dapat mengatasi atau menguramgi persoalan. Jawabnya dapat asalkan diberi landasan dan matlamat yang jelas. Hal itu dapat dibentangkan sebagai berikut:
Pertama, asas kejujuran. Jujur pada diri sendiri dan orang lain. Itulah faktor membentuk ukhuwah yang kuat. Asas ini melahirkan kesatuan.
Kedua, azas mendahulukan kepentingan pihak lain. Dengan merujuk isi dalam bukunya Sanirul Mukminin yang dikarang oleh Muhammad Hajar. Ia mengatakan hanya dengan asas itu manusia  memperoleh kualitas tinggi.
Ketiga, sikap menggandakan kebaikan. Menggandakan kebaikan dunia dan kemakmuran bertambah baik. Banyak fakta yang menjelaskan hal itu. Bahkan Abraham Lincoln Presiden Amerika pernah menyatakan bahwa dunia bukanlah rusak oleh orang jahat saja tapi terlebih lagi karena banyaknya orang baik yang berdiam diri dengan tidak bebuat baik.
Simpulan dari tiga asas ini yakni kejujuran, mendahulukan kepentingan bersama ketimbang diri sendiri serta menggandakan perbuatan kebaikan dapat menjawab fenomena terlaksannya itsar di dunia kini.
Dengan demikian, bekerja selaras melaksanakan shadiqul hukumah dan khadimul ummah yang dipikul Majelis Ulama Indonesia sebagai amanah insya Allah akan berhasil. Keberhasilan atau sukses tentu menjadi harapan. Dan kita semua berdoa semoga tercapai.
Jakarta, 28 Desember 2020