Bukan tanpa alasan jika partai-partai yang ada mulai menyingsingkan lengan baju untuk berbenah diri. Sebab, ada banyak partai baru yang lahir untuk ikut berkompetisi pada tahun 2024 nanti. Memikul dana partai, alat kelengkapan sarana dan prasarana. Jika tidak siap bisa terjadi partai lama akan melorot pendukungnya dan partai baru naik menggeser posisi mereka di tengah masyarakat.
Tentu saja lebih terarah pada partai yang masih belum stabil, bukan pada partai besar yang telah stabil. Mengingat berbeda dengan partai yang stabil sudah memiliki loyalis yang tidak mudah beralih merubah pilihannya. Termasuk modal pembiayaan yang telah diperoleh untuk pembiyaan operasional partai. Tinggal lagi bagaimana mereka lebih baik dari masa sebelumnya. Seperti penggalangan dana, atau sumber yang dapat mengalirkan dana yang baru. Juga usaha melakukan lobi tokoh.
Tantangan partai besar yang sudah stabil persoalannya adalah pada menjaga sukses yang telah didapat serta upaya tetap berkuasa. Sebab menang saja tidak cukup. Tapi tidak bisa berkuasa apa artinya. Jadi sekali lagi harus menang dan sebisanya menang mayoritas agar berkuasa.
Bagaimana menang tidak mayoritas, sama nasibnya dengan partai kecil. Sama tidak dapat berkuasa. Sebagai contoh ambilah kemenangan dari PDI Perjuangan pada pemilihan umum tahun 1999. Logikanya langsung jadi presiden adalah Megawati Soekarnoputeri Ketua Umum PDIP. Lantaran menang, tapi tidak mayoritas mutlak. Namun tidak terjadi yang dipilih jadi presiden malah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Sebuah ironi memang. Partai PDI Perjuangan menang tapi tak dapat jadi presiden hanya wakil presiden. Soalnya menang tidak mayoritas. Untunglah belakangan Megawati Soekarnoputeri jadi presiden juga menjabat sisa waktu presiden Gus Dur. Yaitu setelah Abdurrahman Wahid diturunkan karena ada kasus Bulog Gate dan karena mengeluarkan dekrit pembubaran perlemen.
Dari titik tolak ini, persoalan atau tantangan partai besar adalah untuk menang mayoritas mutlak dan tantangan partai kecil bertahan dan merapat pada kekuasaan. Maka dapatlah dipahami tiap partai itu harus berkerja ekstra keras. Tanpa itu partai akan biasa-biasa saja tanpa agregat, atau malahan gagal.
Pengalaman partai politik, terutama masa reformasi adalah hubungan partai dan presiden. Tiap partai menargetkan orangnya menjadi presiden. Presiden berbasis kemenangan mayoritas mutlak. Maka partai dan rakyat pemilih calon harus menyatu.
Selama 23 tahun ada lima presiden. Dari jumlah itu hanya dua orang yang hanya menjabat presiden penuh yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi).
Sementara yang lain presiden sisa jabatan presiden sebelumnya. BJ Habibie presiden penggantikan presiden Soeharto. Gus Dur presiden setengah periode karena kasus. Megawati jadi presiden dari periode pangganti sisa jabatan presiden Gus Dur.
Alangkah beratnya untuk meraih kursi presiden. Tidak hanya di calon partai tapi calon itu haruslah dipilih rakyat langsung. Karena bagaimanapun dalam hal ini SBY dan Jokowi presiden luar biasa. Keduanya presiden menjabat penuh dua periode. Sementara yang tiga lainnya BJ Habibie, Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri cuma presiden setengah periode.
Dalam pandangan penulis, usaha partai mencapai kursi presiden memang sangat berat. Tidak cukup besarnya dukungan pemilih legislatif untuk DPR, tetapi juga dukungan pemilih pada calon presiden yang diusung partai. Partai menang dan calon yang diusung harus menang juga.
Yang demikian hanya bisa jika diberlakukan yang terbaik untuk rakyat terbaik untuk partai. Karena itu perlu saling merapat dan bekerjasama. Semoga.
Jakarta, 31 Agustus 2021
*) DR Masud HMN adalah Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta. e-mail: masud.riau@gmail.com