Adakah kita bisa menjawab pertanyaan dengan jujur atas pertanyaan, benarkah hari lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945? Mengapa tidak 29 Mei 1945 atau 31 Mei 1945 atau 18 Agustus 1945? Pertanyaan berikutnya yang tersisa, benarkah Pancasila itu rumusan dan atau gagasan atau ide tunggal Soekarno? Sudah benarkah bahwa pidato Soekarno di depan sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 bisa dijadikan argumentasi intelektual akademik yang tak terbantahkan untuk mengatakan dan mengambil kesimpulan atas sejarah hari lahirnya Pancasila?
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dibentuk oleh Jepang pada 29 April 1945 dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dibentuk 7 Agustus 1945. BPUPKI dan PPKI inilah yang kemudian menggodok lima sila (dasar) pemikiran sebagai dasar negara dan falsafah (idiologi) negara di kemudian hari setelah kemerdekaan itu dinyatakan dan atau diproklamasikan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945, pukul 10.00 WIB oleh Soekarno – Hatta atas nama bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang berjajar pulau-pulau.
Catatan Sejarah Pancasila
Dalam catatan sejarah, istilah Pancasila dipakai untuk pertama kalinya sekitar abad 14 pada zaman Kerajaan Majapahit. Jadi Pancasila sudah ada sejak zaman Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya pada 1293. Raden Wijaya bergelar Kertarajasa Jayawardhana.
Empu Prapanca (Dhang Acarya Nadendra) dalam kitabnya: “Negarakertagama” mengenai “Yatnangegwani Pancasyla Kertasangkarabhisekakakakrama” (Raja menjalankan khidmat kelima pantangan (Pancasila) itu dalam berbagai tradisi upacara ibadah dan dalam berbagai penobatan.
Kata Pancasila jika ditilik dari etimologis, berasal dari serapan Bahasa Sansekerta. Sansekerta (Hindu India) banyak mempengaruhi kebudayaan Jawa, terutama pada zaman Majapahit dan menyebar ke wilayah kekuasaan Majapahit di nusantara. Geopolitik dan budaya politik sangat mempengaruhi hidup matinya perkembangan bahasa-kosa kata. Begitu juga pengaruh kosa kata Arab setelah masuknya Islam ke nusantara mempengaruhi perkembangan kosa kata serapan dalam dominasi budaya politik dalam hal kebudayaan dan peradaban.
Pancasila terdiri dari kata “Panca” dan “Sila (Syla)”. Panca berarti “lima” dan sila berarti “dasar”. Mohammad Yamin menstabilo, dalam bahasa Sansekerta “pancasila” memiliki dua arti secara leksikal, yaitu, “panca” artinya “lima” dan syila vocal I pendek artinya “batu sendi”, “alas”, atau “dasar.”
Rumusan Dasar Negara
Rumusan dan atau gasasan Pancasila sebagai dasar negara dikemukakan oleh Mohammad Yamin, Soepomo dan Soekarno. Rumusan dari ketiga tokoh tersebut kemudian diajukan dan dibahas dalam sidang BPUPKI. Orang-orang yang ada dalam BPUPKI, bukanlah sembarang orang. Ke 62 orang yang berada dalam BPUPKI adalah tokoh-tokoh inteletual pada masa itu sudah tidak disangsikan lagi, semua nalar, logika dan akal warasnya untuk kepentingan negara semata, bagaimana Indonesia merdeka dan berdaulat yang bisa melindungi segenap tumpah darah.
Untuk itu, agar kita tidak membelokan sejarah hari lahirnya Pancasila, mari kita cermati pikiran-pikiran otentik dari ketiga tokoh tersebut, sehingga kita bisa mengambil kesimpulan yang benar seperti apa rumusan Pancasila tersebut yang disepakati untuk menjadi dasar atau idiologi negara.
Rumusan Mr. Mohammad Yamin mengenai lima hal sebagai dasar negara pada konsep pikiran awalnya adalah:
- Peri kebangsaan
- Peri kemanusiaan
- Peri ketuhanan
- Peri kerakyatan
- Kesejahteraan rakyat.
Kelima sila tersebut pertama diajukan secara lisan pada tanggal 29 Mei 1945, yang kemudian oleh Mohammad Yamin disempurnakan secara tertulis mengenai lima dasar tersebut disampaikan ke BPUPKI secara lengkap menjadi sebagai:
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Kebangsaan Persatuan Indonesia
- Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan DR. Soepomo dengan pikiran-pikiran otentiknya mengenai lima dasar yang disampaikan dalam sidang BPUPKI pada 31 Mei 1945, mengusulkan dasar negara sebagai berikut:
- Persatuan
- Kekeluargaan
- Keseimbangan lahir dan batin
- Musyawarah
- Keadilan sosial
Rumusan Ir. Soekarno dengan pikiran-pikiran otentiknya mengenai dasar negara yang dipidatokan pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945 adalah sebagai berikut:
- Kebangsaan Indonesia
- Internasionalisme atau perikemanusiaan
- Mufakat atau demokrasi
- Kesejahteraan sosial
- Ketuhanan Yang Maha Esa
Kemudian Soekarno mengusulkan tiga nama Ekasila, Trisila, dan Pancasila. Pikiran otentik pertama dengan lima dasarnya kemudian diperas menjadi Ekasila dan atau Trisila.
Akhirnya disepakati dan atau dipilih nama dasar negara yang dipakai adalah Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara dan sekaligus sebagai idiologi negara; NKRI (Negara Kesatuan RepubliK Indonesia).
Pancasila sebagai dasar negara diresmikan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia diproklamasikan dan dikumandangkan ke seluruh dunia. Lima sila dari Pancasila tersebut keabsahannya dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 (yang dianggap sah) pada alinea ke-IV.
Maka Pancasila yang sah terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 seperti yang tertuang pada aline ke-IV yang diresmikan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Tata urutan sila-sila dalam Pancasila yang sah adalah sebagai berikut:
- Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Persatuan Indonesia.
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari rumusan dasar negara dari pikiran-pikiran otentik ke-3 tokoh tersebut, jika kita mempunyai kejujuran dan obyektivitas dalam melakukan pembacaan kritis terhadap filosofi, teks, konteks dan kontennya secara keseluruhan dalam sila-silanya, maka harus jujur kita katakan, bahwa yang mendekati sempurna dalam tata urutan sila-silanya dan kata-kata dalam sila-silanya dalam Pancasila yang dianggap sah seperti yang termuat pada alinea ke-4 dalam pembukaan UUD 1945 adalah rumusan pikiran-pikiran otentik dari Mohammad Yamin. Soepomo dan Soekarno, baik secara teks(tual) maupun tata urutan dari lima sila tersebut harus kita katakana jauh dari mendekati sempurna yang disebut dengan Pancasila.
Mohammad Yamin dari susunan sila-silanya juga mendekati sempurna sesuai teks Pancasila yang berada dalam UUD 1945. Mohammad Yamin, pada sila ke-2 dijadikan sila ke-3, yaitu, (Rasa) kemanusiaan yang adil dan beradab, sedangkan sususan sila dalam Pansacila yang dianggap sah pada sila ke-2 adalah. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kata atau frasa “Rasa” dalam sila ke-2 Pancasila ditiadakan. Kita bisa memahami hal itu, karena, Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah satu kesatuan rasa yang harus dimiliki setiap orang sehingga melahirkan empati jika melihat kemanusiaan yang hilang, ketidakberadaban dan dalam ketidakadilan. Emapati sendiri merupakan rasa kemanusiaan yang lahir dari manusia yang beradab, manusia yang memiliki keberadaban.
Mohmamad Yamin pada sila ke-2 adalah (Kebangsaan) Persatuan Indonesia, sedangkan Persatuan Indonesia menjadi sila ke-3 pada teks Pancasila yang sah. Frasa “Kebangsaan” dari Mohammad Yamin ditiadakan. Hal ini pun kita bisa memahaminya, karena Persatuan Indonesia itu merupakan wilayah kebangsaan dan atau sebuah premis dari nasionalisme. Peniadaan kata “rasa” dan “kebangsaan” tidak menguarangi atau tidak mengganggu substantif filosofisnya.
Kata “rasa” dan “kebangsaan” hanya sebagai sampiran yang dianggap pemborosan kata semata, tetapi tidak mengurangi maknanya jika itu ditiadakan. Memadatkan kata supaya lebih ber-nas., tetapi tidak mengganggu pemaknaannya.
Pada sila ke-4, Mohammad Yamin menggunakan kata “hikmah” sedangkan dalam teks Pancasila yang ada dalam UUD 1945 dengan kata “hikmat.” Adakah makna yang berbeda atau paling tidak secara filosofis bertabrakan?
Jika kita melihat KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata “hikmah” adalah: 1. kebijaksanaan (dari Allah SWT). 2. sakti; keskatian. 3. makna yang terkandung di balik suatu peristiwa; manfaat. Sedangkan kata “hikmat” adalah: kebijakan, kearifan, atau kesaktian (kekuatan gaib). DR. Jeni Wulandari dalam forum diskusi yang digelar di Universitas Mulawarman Kaltim (Sabtu, 28/3/2015) dengan tema: Arti Kata ‘Hikmah’ yang terkandung dalam Sila Ke-4 menjelaskan, perbedaan dari hikmah dan hikmat yaitu hikmat adalah kondisi jiwa sedangkan hikmah merupakan akibat dari tindakan hikmat tersebut.
Dijadikan Hari Lahir
Sidang BPUPKI yang pertama dilaksanakan pada 29 Mei 1945. BPUPKI mengadakan persidangan dari tanggal 29 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945. Maka yang harus dijadikan sejarah hari lahirnya Pancasila seharusnya adalah pada tanggal 29 Mei 1945. Apa argumentasi pokonya?
Ketiga tokoh pemikir dalam rumusan untuk dasar negara, ketiganya sama-sama melahirkan lima dasar untuk dasar negara dan atau sebagai idiologi negara, yang disampaikan dalam pidatonya di depan BPUPKI untuk rumusan dasar negara tersebut, karena harus rumusan dasar negara dulu yang harus diklirkan, nama atau istilah dari kelima sila tersebut bisa kemudian.
Soepomo dan Soekarno sebagai orang Jawa pastilah paham dan lekat dengan akar budayanya, di mana pengaruh kebudayaan Hindu India sangat lekat dan akrab di tanah Jawa, sehingga pastilah paham bahwa bahasa Sansekerta yang akarnya dari Hindu India sangat mempengaruhi produk kebudayaan nusantara, khususnya Jawa, dimana Majapahit dan kekuasaannya juga menyebar ke nusantara. Mak, tidak mungkin untuk menyebut istilah lima sila menggunakan kosa kata Arab, Yunani, Arab, Ingris, Jerman, Jepang, Belanda, Perancis, China atau Rusia.
Begitu juga dengan Mohammad Yamin, sekalipun kelahiran Sawahlunto, Sumatra Barat, pastilah paham dengan pengaruh kebudayaan dalam geopolitik dan budaya politik, dimana Sansekerta hidup dalam produk kebudayaan nusantara, karena Mohammad Yamin adalah juga seorang satrawan, budayawan, intelektual akademik, negarawan dan ahli hukum yang tentu Bahasa Sansekerta dan pengaruh kosa katanya bukan barang asing di telinganya dan atau dibacaan-bacaan intelektualnya dalam kebudayaan.
Mohammad Yamin sebagai sastrawan dan budayawan, pastilah pernah membaca atau bersentuhan dengan karya Empu Prapanca dan pastilah sangat paham dengan Majapahit. Pengaruh Sansekerta dalam geopolitik dan budaya politik, di kita masih sangat kuat hingga saat ini. Contoh konkretnya, Jokwi dengan Nawacita-nya, bukankah kata Nawa-cita itu dari Sansekerta? Sansekerta masih tetap hidup dalam kebudayaan kita, penggunaan kosa kata yang berasal dari Sansekerta masih akrab di telinga kita, misalnya, Lokataru, Kalpataru, Graha Budaya, Adhiyaksa, Bhayangkara dan seterusnya.
Logika dan akal waras kita tentu akan mengatakan, pastilah rumusan lima dasar negara tersebut akan menggunakan pilihan bahasa dan atau kosa kata yang tepat, yang pilihannya tentu akan jatuh pada penggunaan kosa kata Sansekerta, yaitu “lima” akan dialihbahahasakan ke Sansekerta dengan berpadanan kata “panca” dan kata “dasar” dengan padanan kata “syila”, karena susah untuk diucapkan maka menjadi “sila”. Untuk itu, secara logika dan akal waras dengan argumentasi yang berbasih kebudayaan dan politik kebudayaan, maka kelima dasar itu menjadi kata atau istilah “Pancasila” dari khazanah kosa kata Sansekerta.
Pertanyaan yang tersisa adalah mengapa Soekarno tidak mengatakan dengan jujur kata Pancasila itu dipakai untuk rumusan lima dasar negara tersebut, yang katanya, atas saran ahli bahasa, maka dipakailah kata “Pancasila”.
Pertanyaannya adalah siapa ahli bahasa yang telah menyarankan kepada Soekarno penggunaan istilah Pancasila tersebut? Bukankah ahli bahasa tersebut harus kita akui dalam sejarah dan atau harus kita catat dalam sejarah sebagai tokoh bangsa atas jasanya yang sangat luar biasa itu, karena Pancasila merupakan dasar negara dan idiologi negara yang hingga kini Pancasila menjadi pilihan “harga mati buat NKRI”.
Ada apa Soekarno menyembunyikan catatan sejarah atas tokoh ahli bahasa tersebut yang telah berjasa besar untuk negeri ini? Pertanyaan tersebut tidak akan bisa terjawab selama bangsa dan negara ini ada, selama negeri ini ada, sehingga sejarah bisa menjadi alat kepentingan politik kekuasaan, karena ada penggelapan catatan dalam catatan sejarah yang mensejarah tersebut, yang setiap saat bisa dijadikan alat politik kekuasaan.
Logika dan akal waras pastilah tidak bisa membantah bahwa ahli bahasa itu pastilah telah memnaca dan atau telah bersentuhan literasi dengan Empu Prapanca yang menulis kitab Negarakertagama mengenai “Yatnangegwani Pancasyla Kertasangkarabhisekakakakrama” dimana kata Pancasila itu ada di dalamnya, sehingga ahli bahasa itu kemudian memutar kembali pita ingatannya pada zaman kerajaan Majapahit untuk menegaskan kembali bahwa kata Pancasila mengandung spirit teologis.
Tradisi dan Budaya Pemberian Nama
Dalam kebudayaan nusantara, ada tradisi dan budaya yang hingga kini masih terpelihara dengan baik, terutama di pelosok pedesaan, bahkan tidak jarang kita temui di masyarakat (urban) kota yang dibilang modern. Tradisi dan budaya itu namanya “Coplok Udel Bubur Merah Bubur Putih” dan tradisi dan budaya yang namanya “Marhabanan Copok Udel”.
Kedua tradisi dan budaya tersebut sesungguhnya tidak berbeda. Yang membedakan hanyalah pelaksanaannya saja. Kedua tradisi dan budaya tersebut hidup terpelihara hingga sekarang adalah untuk hal ikhwal syukuran atau selamatan atas kelahiran bayi dan pemberian nama bayi.
Pada tradisi dan budaya “Coplok Udel Bubur Merah Bubur Putih”. Bubur merah bubur putih dibagikan ke tetangga, sanak saudara dan teman kerabat dekat sebagai memberitahukan bahwa anak yang lahir telah disematkan atau telah diresmikan pemberian namanya. Jadi dalam bubur merah bubur putih yang diantarkan atau dibagikan tersebut tertulis nama lengkap dan tanggal kelahiran bayinya.
Tradisi dan budaya Coplok Udel Bubur Merah Bubur Putih dilaksanakan hajatnya setelah tali puasar bayi itu sudah lepas (copot) dari udelnya, biasanya, rata-rata tali puser itu coplok atau lepas dari udel (puser) bayi memakan waktu seminggu, ada juga baru lima hari sudah coplok, dan kadang ada yang sampai 10 harian baru coplok.
Pada tardisi dan buadaya “Marhabanan Coplok Udel” dilaksanakan hajatnya sama setelah tali puser bayi coplok. Yang membedakan, pemberian nama bayi dan peresmiannya dilakukan bersamaan dengan acara menggelar marhabanan yang dihadiri tetangga, sanak saudara atau teman kerabat terdekat yang diundang dan atau datang tanpa diundang secara formal.
Pelaksanaannya, sang bayi dibawa oleh bapaknya atau yang mewakili orang tuanya dengan membawa bayi di atas nampan atau tempat yang bisa dipapah dengan kedua tangan. Kemudian bayi tersebut dibawa keliling sambil marhabanan untuk diperlihatkan bayinya, lengkap tertulis nama dan tanggal kelahiran bayinya.
Pada dua taradisi dan budaya pemberian nama bayi itu dilakukan setelah bayi lahir, atau sebagai pengumuman pemberian nama kepada tetangga sekitar, atau jika boleh kita disebut publik. Bahkan terkadang nama bayi baru didapat menjelang tali pusar bayi lepas atau kadang setelah tali puser bayi copot baru menemukan nama yang disepakati oleh bapak-ibunya.
Pada saat bayi lahir, kedua orang tuanya belum punya kepastian nama yang mau disematkan kepada bayinya sebagai identitas untuk kepentingan adminstrasi negara atau kependudukan seperti untuk Akta Kenal Lahir, Ijazah, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK).
Dalam konteks administrasi ketatanegaraan, nama harus sesuai dengan hari dan tanggal kelahiran sang anak. Jika hanya ada namanya saja, tanggal kelahirannya tidak ada, maka adminstrasi negara atau catatan kependudukan tidak bisa mengakuinya. Jadi nama dan atau pemberian nama harus merujuk pada kebenaran sejarah hari lahirnya. Jadi tanggal kelahiran dijadikan penanda atas sejarah pemberian nama, karena nama haruslah didahului dari tanggal kelahirannya.
Dalam konteks lima dasar (sila) yang akan dipakai untuk dasar negara dan atau sebagai idiologi negara, maka harus merujuk atau harus berpijak pada kelahiran pemikiran lima sila itu, yang kemudian disebut dengan Pancasila. Argumentasinya, pertama adalah rumusan lima sila yang paling otentik dan atau paling mendekati sempurna dengan lima sila yang tertuang dalam alinea ke-IV UUD 1945 dari ke-3 tokoh bangsa tersebut, baik dalam susunan atau urut-urutan silanya maupun kata per kata dalam teks, yang pertama adalah Mohammad Yamin, yang kedua adalah Soekarno dan yang ketiga adalah Soepomo, karena tidak mencantumkan sila “Ketuhanan”. Soepomo, Ketuhanan hanya dimaknai dalam implementasi prilaku yang dicerminkan dalam kelima silanya.
Kedua adalah pikiran-pikiran otentik dalam lima sila tersebut dari ke-3 tokoh bangsa itu, kapan pikiran-pikiran otentik tersebut disampaikan dalam sidang BPUPKI? Ternyata, Mohammad Yamin pada 29 Mei 1945, Soepomo pada 31 Mei 1945 dan Soekarno pada 1 Juni 1945.
Ketiga adalah pikiran-pikiran otentik Soekarno atas lima sila tersebut kemudian dibatalkannya sendiri oleh Soekarno dengan pikiran barunya yang dikatakan dengan Ekasila atau Trisila, yang dengan sendirinya bukan lagi namanya Pancasila. Mohammad Yamin dan Soepomo tetap konsisten dengan pikiran-pikiran otentiknya.
Keempat adalah pikiran-pikiran rumusan lima sila yang disampaikan Mohammad Yamin pada 29 Mei 1945 mengapa tidak disebut sebagai Pidato? Begitu juga dengan Soepomo pada 31 Mei 1945 tidak dikatakan sebagai pidato? Tetapi, giliran Soekarno yang menyampaikan pikiran-pikirannya pada 1 Juni disebut sebagai pidato yang kemudian dijadikan dasar sebagai sejarah hari lahirnya Pancasila.
Kelima adalah jika Soekarno pada saat itu sebagai juru bicara ke-3 konseptor lima sila tersebut, secara etik, maka pada tanggal 1 Juni 1945 yang dipidatokan tersebut merupakan representasi dari ke-3 tokoh bangsa tersebut yang di dalamnya ada dirinya sendiri. Jadi pada pidato Soekarno 1 Juni 1935 tersebut bukanlah berdiri sendiri atau Soekarno ansich, dan tidak bisa diklaim tunggal sebagai Soekarno. Artinya, Mohammad Yamin dan Soepomo sangat menghargai dan menghormati Soekarno untuk ditokohkan dalam penyampaian rumusan di BPUPKI dan atau PPKI
Rumusan lima sila Mohammad Yamin, Soepomo dan Soekarno semuanya disampaikan pada sidang BPUPKI yang dimulai dari tanggal 29 Mei 1945 sampai 1 Juni 1945, dimana BPUPKI di dalamnya ada 62 tokoh intelektual, yaitu: 1. Tan Eng Hoa (Perwakilan dari Jepang). 2. Itibangase Yosio (Perwakilan dari Jepang). 3. Matuura Mitukiyo (Perwakilan dari Jepang). 4. Itagaki Masumitu (Perwakilan dari Jepang). 5. Masuda Toyohiko (Perwakilan dari Jepang). 6. Takonami Tokuzi (Perwakilan dari Jepang). 7. Ide Teitiro (perwakilan dari Jepang). 8. Masuda Toyohiko (Perwakilan dari Jepang). 9. Miyano Soozoo (Perwakilan dari Jepang). 10. Abikoesno Tjokrosoejoso. 11. KH. Ahmad Sanusi. 12. Prof. Dr. R. Asikin W. K. 13. M. Aris. 14. Abdul Kadir. 15. Dr. R. Boentaran M.. 16. B.P.H Bintoro.17. Ki Hajar Dewantara. 18. A.M Dasaad. 19. Prof. Dr. P.A.H Djajadiningrat. 20. Drs. Moh. Hatta. 21. Ki Bagoes Hadikoesomo. 22. Mr. Moh. Yamin. 23. Mr. R. Hindromartono. 24. R.A.A Soemitro Kolopaking Poerbojonegoro. 25. Mr. A. A Maramis. 26. Mr. J. Latuharhary. 27. Mr. Dr. Koessoemah Atmadja. 28. K.H Masjkoer. 29. Moenandar. 30. A. K. Moezakir. 31. R. Otto Iskandar. 32. Parade Harahap. 33. K.H.M . Mansoer. 34. R. M . Margono Djojohadikosoema. 35. B.P.H Poeroebojo. 36. R. Abdoelrahim Paratalikrama. 37. R. Roelan Wongsokoesomo. 38. R. Agoes Salim. 39. Dr. Samsi. 40. Mr. R. M Sartono. 41. Mr. R . Samsoedin. 42. Mr. R. Sastromoeljono. 43. Mr. R. Singgih. 44. Ir. Soekarno. 45. R. Soedirman. 46. R. Soekarjo Wirjopranoto. 47. Dr. Soekirman. 48. A. Baswedan. 49. Mr. Ahmad Soebardjo. 50. Prof. Mr. Dr. Soepomo. 51. Ir. R.M.P. Soerahman. 52. M. Sutardjo K. 53. R.M.T.A Soeryo. 54. Mr. Soesanto. 55. Mr. Soewandi. 56. Drs. K.R.M.A Sosrodiningrat. 57. K.H.A Wachid Hasjim. 58. K.R.M.T.H Woerjaningrat. 59. R.A.A Wiranatakoesoma. 60. Mr. K.R.M.T Wongsonagoro. 61. Ny. Mr. Maria Ulfa Santoso. 62. Ny. R.S.S. Soenarjo Mangoenpoespito, dan 62. Ny. R.S.S Soenarjo Mangoenpoespito.
Pada 22 Juni 1945 Tim Sembilan menghasilkan Jakarta Charter, merumuskan dasar negara Pancasila, dan ditetapkan pada 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara dalam pembukaan UUD 1945. Kabinet 4 Kaki jatuh bangun pada masa demokrasi parlementer Soekarno, dan rapat Badan Konstituante belum sepakat mengenai dasar Negara.
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dalam dekrit tersebut “Piagam Jakarta” dimasukkan sebagai konsideran. Setelah dikeluarkannya dekrit, Soekarno kemudian rangkap jabatan sebagai Presiden dan Perdana Menteri.
Dari kelima alasan itu sebagai argumentasi pokok untuk menjawab atas pertanyaan, yang mana sejarah hari lahirnya Pancasila yang benar? Maka, harus kita katakana, seharusnya yang benar sejarah hari lahirnya Pancasila itu bukan pada 1 Juni 1945 yang didasarkan pada pidato Soekarno yang disampaikan pada sidang BPUPKI. Melainkan, seharusnya sejarah hari lahirnya Pancasila pada 29 Me1 1945, atau pada tanggal 18 Agustus 1945 jika kita merujuk pada tradisi dan budaya pemberian nama kelahiran bayi dalam tradisi dan budaya “Copok Udel bubur Merah Bubur Putih” dan “Marhabanan Coplok Udel”.
Oleh sebab itu, menjadi sangat absurd jika pidato Soekarno 1 Juni 1945 dijadikan argumentasi tunggal sebagai sebuah kesimpulan dalam melakukan pembenaran atas fakta, realitas dan catatan sejarah yang mensejarah untuk melakukan bantahan atas keniscayaan sejarah bahwa sesungguhnya yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya dalam catatan sejarah adalah 29 Me i 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila, atau 18 Agustus 1945.
Fakta dan sejarah kekuasaan politik rezim Mega-Jokowi yang menjadi keniscayaan yang tak bisa terbantahkan adalah bahwa kekuasaan dipakai untuk alat melegitimasi dan reduksi sejarah dan kebenaran sejarah, sehingga terjadi pembelokan sejarah terhadap hari lahirnya Pancasila.
Rumusan, gagasan, idea atau pikiran-pikiran mengenai Pancasila dipaksakan sebagai pemikiran tunggal Soekarno, untuk dijadikan Sopekarnoisme, termasuk kata Pancasila. Padahal, pikiran-pikiran tentang lima sila yang dikemukakan Soekarno dalam pidato (politik) di BPUPKI pada 1 Juni 1945 telah digugurkan atau dibatalkannya sendiri, kemudian diganti dengan Ekasila atau Trisila.
Pikiran-pikiran Soekarno dengan Ekasila atau Trisilanya kemudian dicoba dirancang bangun untuk melakukan penguatan pikiran-pikiran Soekarnoisme untuk dasar negara dan idiologi negara oleh rezim Mega-Jokowi dengan membangun penguatan baru yang tersembunyi di balik RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila), yang sesungguhnya hanya ingin membangkitkan kembali Ekasila atau Trisila, yang secara masif ditolak oleh mayoritas masyarakat bangsa dan NKRI yang diaktualisasikan dengan respon gelombang demontrasi diberbagai daerah dan menelan korban.
Ekasila dan atau Trisila, jika kita mau jujur membedahnya adalah bukan pikiran-pikiran otentik Soekarno, melainkan tafsir ulang atas idiologi Karl Marx atas komunisnya. Trisila dan atau Ekasila yang membatalkan istilah atau kata Pancasila itu sendiri, merupakan turunan dari pikiran-pikiran Karl Marx dalam Manifesto Komunisnya yang diperjelas dalam kitab sucinya “Das Kapital” yang kemudian pikiran-pikiran utopis Karl Marx didaur ulang oleh Soekarno untuk tujuan politik kekuasaan dan kekuasaan politiknya.
Soekarno jika kita mau menelusuri jejak pikiran-pikirannya dan hasrat politiknya adalah demennya (cintanya) pada idiologi “Kiri”, sehingga sesungguhnya Soekarno juga tidak sepakat dan atau tidak cocok hasrat ideologinya dengan Pancasila dan Demokrasi. Kiri dalam pengertian ini boleh ditafsirkan sosialis atau komunis, bukan kiri dalam mengertian filsafat; yang berarti berpikir kritis.
Kecintaannya pada ideologi Kiri bisa kita telaah dan atau bisa kita bedah dalam pikiran-pikirannya sebagai fakta yang tak bisa kita terbantahkan, antara lain, Trisila dan atau Ekasila, dan berarti bukan Pancasila. Pada 17 Agustus 1959, pidato resmi Soekarno berjudul: “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang popular disebut sebagai “Manifesto Politik RI’ (Manipol). Manipol dikukuhkan dengan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang intisari Manipol, adalah: (1) UUD 1945, (2) Sosialisme Indonesia, (3) Demokrasi Terpimpin, (4) Ekonomi Terpimpin, dan (5) Kepripadian Indonesia, disingkat Usdek. Soekarno mengatakan, (memuji-muji PKI setinggi langit), bahwa tanpa kaum komunis, resvolusi Indonesia TAK AKAN BISA SELESAI! (Iwan Simatupang, Surat-surat Politik, 1964-1966), dan seterusnya bisa kita baca kembali bagaimana alasan Soekarno pada 8 Mei 1964 melarang dan atau membubarkan Manifes Kebudayaan (Manikebu), karena dianggap tidak sejalan dengan Manipol Usdek dan Lekra. Kita juga bisa kembali menemuukan catatan sejarah kelam atas kebudayaan; konfrontasi Lekra terhadap Manifes Kebudayaan. Soekarno dengan Indonesia Poros Peking (Komunis), yang pada akhirnya mempercepat kejatuhan kekuasaannya.
Soekarno dalam pikiran-pikiran otentiknya dipenuhi dengan jargon, slogan dan retorika, karena hasrat untuk terus berkuasa, sehingga harus memproklamirkan dirinya sebagai Presiden seumur hidup. Demi politik mersusuarnya untuk hasrat berkuasa: “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, dan beri aku 10 pemuda niscaya akan menguncangkan dunia. Denotatif tersembunyi dalam konotatif, dan yang konotatif bersembunyi di balik denotatif, itulah slogan, jargon dan retorika dalam kekuasaan hasrat hendak berkuasa, yang fenomenanya kini untuk dibangkitkan kembali sebagai idiologi politik Soekarnoisme.
Sejarah memang akan selalu dimenangkan oleh politik kekuasaan, tetapi kebenaran sejarah yang mensejarah bukan ditentukan oleh kekuasaan rezim yang berkuasa, karena bangsa yang beradab adalah bangsa yang mengakui kebenaran dan kejujuran sejarahnya. Bangsa yang besar dan beradab adalah bangsa yang menghargai kebenaran dan kejujuran sejarahnya. Bangsa yang beradab bukan bangsa yang piawai mempolitisasi sejarah atas kebenaran dan kejujuran sejarahnya. Bangsa yang besar dan beradab bukan bangsa yang kampiun memainkan jargon, slogan dan retorika, menjungkirbalikkan sejarah. ***
Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com