Jakarta, Demokratis
Kebijakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang membatasi pertemuan antara pengacara dan kliennya, tersangka atau terdakwa di dalam tahanan mendapatkan kritik.
Salah satu pengacara senior Maqdir Ismail dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat, menilai kebijakan pembatasan itu tidak berpihak pada kepentingan perlindungan hak asasi tersangka atau terdakwa.
Bahkan, ada beberapa advokat yang tidak mendapatkan akses untuk bertemu dengan klien secara fisik, kecuali pada saat pemeriksaan sebagai tersangka dalam penyidikan atau pemeriksaan terdakwa dalam proses persidangan.
Meskipun KPK masih memperkenankan kuasa hukum melakukan pertemuan secara virtual dengan kliennya, menurut dia, tetap menjadi kendala karena dibatasi oleh waktu.
Maqdir pun memaklumi pembatasan pertemuan fisik kuasa hukum dengan kliennya merupakan upaya KPK dalam memutus mata rantai COVID-19.
Akan tetapi, faktanya tidak sedikit petugas KPK yang terinfeksi virus tersebut dan kemungkinan besar menulari tahanan yang ada di dalam.
“Saya baru mendapat kabar dari pihak rutan bahwa salah seorang klien kami dibawa ke Wisma Atlet karena dari hasil tes positif COVID-19,” tuturnya.
Menurut Maqdir, kebijakan ini membuat penasihat hukum tidak bisa melaksanakan kewajiban untuk mendampingi klien secara maksimal dalam melakukan pembelaan. Sehingga ia pun menyarankan agar kebijakan itu perlu diatur ulang.
“Semua tersangka yang berada dalam tahanan boleh dikunjungi oleh pensihat hukum, tentu dengan menggunakan protokol kesehatan, termasuk di antaranya menyertakan hasil tes swab PCR atau tes antigen,” ucapnya.
Menurut Maqdir, perintah penahanan harus dikembalikan pada makna yang terkandung dalam Pasal 21 Ayat (1) KUHAP karena tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan perbuatan pidana berdasarkan bukti yang cukup dan ada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti yang bisa ditahan.
“Di luar itu tidak boleh. Artinya, harus ada pembatasan pelaksanaan kewenangan penahanan,” katanya.
Dengan dipraktekkannya ketentuan Pasal 21 Ayat (1) KUHAP itu, kata dia, segala bentuk penahanan sebelum ada proses persidangan tidak perlu dilakukan.
“Ini akan berdampak berkurangnya tahanan dalam rumah tahanan negara yang sekarang sangat melebihi kapasitas dan daya tampung rumah tahanan negara,” kata Maqdir. (Red/Dem)