Jakarta, Demokratis
Fery Mursydan Baldan mantan Ketua Komisi II DPR yang membidani beberapa UU Pilkada mengatakan, harus ada solusi baru penundaan Pilkada langsung di daerah zona merah Covid-19 untuk mencegah terjadinya klaster baru pada Pilkada langsung tanggal 9 Desember 2020 mendatang.
“Apalagi jika ada zona merah yang belum tertangani dengan baik, yang seharusnya sudah bisa ditekan agar tak jadi pandemi pada tanggal 9 Desember di hari pemilihan. Jika tidak Pilkada langsung malah tidak sejalan dengan tujuan untuk mensejahterakan rakyat”.
Hal ini dikatakan Fery saat berada di gedung DPR Jakarta, Senin (23/11/2020).
Awalnya Pilkada digelar pada bulan September, tapi kemudian oleh pemerintah dan DPR ditunda pada bulan Desember setelah terjadinya pandemi Covid-19.
Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid mengungkapkan, dua calon bupati dari PKB meninggal sebelum dan saat kampanye Pilkada di masa Covid-19.
“Harus ada langkah pencegahan dengan bertambahnya warga yang positif Covid-19 hingga hari H pemilihan. Solusinya tenaga kesehatan agar berkerja maksimal untuk mencegah tambahan pandemi baru saat pencoblosan dengan menerapkan protokol kesehatan,” katanya.
Bedanya dirinya optimis Pilkada tetap bisa dilaksanakan pada 9 Desember setelah belajar dari Pilpres Amerika Serikat yang berlangsung 3 November 2020 lalu yang diselenggarakan di tengah pandemi Covid-19 namun bisa digelar dengan lancar.
“Apabila perlu nanti petugas pemungutan suaranya yang langsung mendatangi pemilih dari rumah ke rumah untuk menghindari klaster baru,” imbuhnya.
“KPU, Bawaslu dan Satgas Covid-19 tidak bisa menunda Pilkada langsung, kecuali membubarkan kampanye yang menimbulkan kerumunan yang akan rawan bakal terjadinya penularan Covid-19,” tambahnya.
Nurul Amalia peneliti Perludem mengatakan kepala daerah petahana diuntungkan dengan kampanye di sosial media karena pembatasan bertemu langsung dan hanya bisa dihadari 50 orang saja.
“Di sisi lain, kurangnya akses informasi pemilih terkait proses pemilihan dan kontestan yang bersaing juga ikut menentukan,” paparnya.
Dikatakan, Perludem dengan beberapa lembaga masyarakat sipil lainnya melakukan survei terhadap 9.000 kaum muda di seluruh Indonesia dengan pertanyaan, apakah kamu tahu siapa calon-calon kepala daerah di daerahmu.
“Hasilnya 43% atau 3.000 responden itu menyatakan belum tahu siapa calon yang ada di daerahnya, lalu 10% menyatakan tidak yakin tahu,” ujarnya.
Dengan kata lain, tambahnya, sebetulnya masih banyak pemilih muda yang tidak tahu siapa calon-calon kepala daerah di daerah mereka.
“Penyebabnya bisa jadi, entah apakah responden kaum muda yang apatis terhadap politik di daerahnya atau mungkin dia yang tidak terakses informasi akan siapa saja calon-calon yang ada di daerahnya,” tegasnya.
Saat diwawancara dengan pertanyaan yang kedua, apakah kamu mengetahui rekam jejak dari tiap calon kepala daerah di daerahmu.
Jawab responden, ujar Amalia, ternyata 61% atau 5.000 responden itu menyatakan tidak mengetahui rekam jejak para calon kepala daerahnya.
“Jadi, sebetulnya kampanye yang sudah kita lakukan di masa pandemi ini di mata kaum muda kita itu masih belum efektif hasilnya bahwa kaum muda ternyata lebih banyak yang tidak mengetahui rekam jejak calon kepala daerah bahkan juga tidak tahu, apa, siapa saja nama-nama pasangan calonnya,” ungkapnya.
Kemudian lalu di point pertanyaan yang terakhir adalah didapati masih ada keragu-raguan di masyarakat untuk bisa berpartisipasi pada pemungutan suara.
Dari survei Perludem saat menanyakan partisipasi kaum muda di masa pandemi. Apakah kaum muda sebetulnya antusias atau tidak sih menyambut Pilkada.
Yang mengejutkan, kata Amalia, ternyata jawabannya 52% atau 4.000 responden mengaku biasa saja menyambut Pilkada serentak 2020, dan 14% atau 1.000 responden menyatakan tidak antusias.
Lantas kenapa kaum muda tidak antusias, tanya Amalia. “Jawabannya sebanyak 42% mengatakan karena terlalu berisiko masih pandemi Covid-19. Jadi, sebetulnya di masyarakat kita masih ada keragu-raguan,” ujarnya. (Erwin Kurai Bogori)