Rabu, Desember 11, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

PKSPD Bicara Terkait Belum Disahkannya APBD Indramayu Tahun 2023

Indramayu, Demokratis

Dari belum disahkannya Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, atau gagal palu diketuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada Rapat paripurna, 30 November 2022 lalu, meski paripurna itu digelar hingga pukul 21:30 WIB. Tertundanya ketuk palu dewan tersebut, menjadi opini liar publik di Indramayu, dengan berbagai dugaan spekulatif pun bermunculan.

Menurut Ketua Fraksi Merah Putih (MP) DPRD, H Ruswa MPd.I, hal itu terjadi karena belum mendapatkan rancangan secara detail terkait postur rancangan APBD 2023. Jadi rancangan APBD 2023 tidak dapat disahkan karena pembahasannya juga belum selesai. Keterangan dari Ketua Fraksi Partai Golkar H. Muhaemin mengatakan, bahwa APBD 2023 sebenarnya bisa disahkan, jika melihat dari tahapan-tahapan pembahasan rancangan APBD 2023 yang telah dilakukan sebelumnya.

Diketahui bahwa rapat pembahasan terakhir dilakukan pada 25 November 2022, atau lima hari sebelum batas akhir pengesahan rancangan APBD 2023. Namun, waktu lima hari dan atau 3 hari kerja itu, tidak dapat dimaksimalkan oleh tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) untuk melakukan penyelarasan Perangkaan dengan Dewan. Dari kronologi itu, alasan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Indramayu, Drs. Rinto Waluyo MPd mengatakan, eksekutif telah meminta waktu untuk penyelarasan pembahasannya perangkaannya. Setelah penyelarasan selesai, maka Bupati siap untuk hadir, menandatangani persetujuan rancangan APBD tahun 2023.

Dari kronik kerja politik tersebut, publik dengan liar menduga bahwa Dewan terkesan telah berposisi memaksakan agenda syahwat politik sempitnya, dengan “tawar menawar” atas penyelarasan pos anggaran untuk Dana Pokir atau Aspirasi dan Dana Awal untuk merealisasikan ambisi Pemekaran Indramayu Barat.

Dugaan publik itu, sesuai dengan tampilan Kelompok Ketua Dewan yang sekian pekan lalu, terpublikasi membentuk panitia dan mendeklarasikan politiknya untuk Pemekaran Kabupaten Indramayu menjadi Dua wilayah yakni Indramayu kota (Imkot) dan Indramayu Barat (Imbar). Klausul itu diduga penyebab eksekutif belum mampu memberi perangkaan yang ideal terhadap pos anggaran pada Rancangan APBD tahun 2023. Sehingga palu dewan masih menggantung di atas awan, karena kesempitan dan keamatiran syahwat politik pemekaran.

Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) Indramayu O’ushj Dialambaqa, bicara gagalnya APBD 2023 diketuk palu Dewan. Diuraikan bahwa bila, “APBD 2023 gagal diketuk palu oleh DPRD dalam rapat paripurna Dewan pada, 30 November 2022 lalu, sekalipun paripurna digelar sampai pukul 24:00 WIB. Dan jika argumentasi keputusan dewan gagalnya diketuk palu sebagai simbol pengesahan, karena Bupati tidak hadir adalah sudah benar. Sebab itu perintah Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 yang mengatur,” dukung O’o biasa disapa.

Selanjutnya dikatakan, “Tragisnya, keputusan dewan yang sudah benar itu, kemudian dicabik cabik oleh legislatornya sendiri. Bahkan oleh Ketua Fraksinya, ini dagelan dan yang terlihat sangat tidak lucu, bahkan memalukan. Sebab, satu legislator dalam rapat paripurna itu mengatakan, beri kesempatan fraksi fraksi untuk, memberikan. Pandangannya atas ketidakhadiran bupati. Kok kengawuran itu tetap dipelihara, lantas ada pihak yang mengatakan, yaitulah dinamika politik. Makin dableg dan makin jadi ngawur. Bukankah satu keharusan, untuk semua legislator dan fraksi harus tunduk pada ketentuan dan UU. Dinamika politik yang ngawur kok dipertontonkan ke publik,” ujar O’o.

Kemudian, “bahkan yang amat memilukan adalah alasan dari dua fraksi yang dipertontonkan melalui berbagai media yaitu,H. Ruswa, selaku Ketua fraksi MP yang mengatakan tidak tahu secara detail rancangan dan postur APBD nya. Itu orang ngomong lagi ngigau apa lagi ngelindur. Jika publik yang ngomong seperti itu mungkin logikanya benar adanya. Sebab dari mulai RAPBD hingga menjadi APBD, publik tidak bisa mengaksesnya. RAPBD, APBD, RKA dan lainnya tidak bisa diakses. Apakah sudah gila-gilaan dalam merumuskan kebijakan publik yang tertuang dalam APBD. Seperti dalam perubahan APBD 2022, kok ada hibah senilai Rp 2.063 miliar lebih yang nempel di Dinas Satpol-PP di split untuk Polres. Itu tidak saja ngawur dan keblinger, bahkan jelas telah menabrak regulasi, dan prilaku jeruk makan jeruk jadinya”.

Pertanyaanya, “bukankah draf RAPBD 2023 berikut Nota Pengantarannya dan penjelasannya sudah diserahkan ke Dewan untuk dibahas?. Apakah Ruswa sebagai Ketua Fraksi MP tdk membacanya atau mau terima bersih saja, karena mekanisme lanjutannya masuk Badan Musyawarah (Bamus) dan dibahas di Badan Anggaran (Banggar), lantas ada mekanisme penyampaian pandangan (pendapat) dari fraksi fraksi yang kemudian ada jawaban Bupati (Eksekutif) atas pandangan fraksi fraksi. Atau memang tidak paham dengan yang namanya postur APBD, dan APBD kita, yang molak malik setiap tahunnya.Atau pura pura dungu,dalam logika dan akal warasnya. Jika seperti itu jadinya, sungguh menyedihkan,” keluh O’o.

“Artinya, ketika mau diketuk palu  RAPBD itu sudah clear dibahas, sudah sepakat dan seterusnya, tinggal secara simbolik diketuk palu oleh Dewan, yang oleh UU harus dihadiri Bupati sebaggai simbolik  bahwa APBD itu telah disetujui bersama. Itu soalnya. Kengawuran itu juga dipertontonkan Ketua Fraksi Golkar (FG) Muhaimin, dengan alasan dalam waktu sisa lima hari (3 hari kerja) tidak dimaksimalkan oleh TAPD untuk melakukan penyelarasan dengan Dewan.

Sementara Bupati menganggap sudah cukup hal hal yang menyangkut RAPBD untuk menjadi ABPD 2023 disahkan.” ujarnya.

Kemudian “terkait soal penyelarasan. Jika sudah di meja paripurna untuk diketuk palu dan disahkan, berarti sudah melewati proses penyelarasan atau singkronisasi. Jika belum, mengapa dibawa ke meja paripurna untuk diketuk palu. Bukankah itu  namanya ngawur, Jadi tidak ada alasan yang bisa diterima akal waras, jika apologi dan alibinya seperti itu. Lalu apa konsekuensinya bila APBD 2023 gagal disahkan.pada UU Nomor 23 Tahun 2023 mengatur ketentuan sanksinya, yaitu hak keuangan Bupati dan Dewan tidak diberikan selama 6 bulan, dan berarti gaji dan tunjangan, yang dimasudkan pada pasal 312 ayat (2). Jadi sanksinya konkret betul, dan bukan pasal karet jika Bupati di media mengatakan akan konsultasi dengan  Gubernur dan Mendagri, itu bisa saja, yang konon sanksi UU itu bisa tidak diberlalukan, demi Bupati.

Bila Mendagri itu kemudian mengambil kebijakan, sanksi itu dibatalkanj, maka ini bukan negara lagi dan atau pemerintahan, sebab UU kok hanya tajam buat rakyat jelata. Coba kita bikin komparasi intelektual akademik dengan metodologi akademik.bahwa buruh yang perpenghasilan Rp 100.000 perhari, lalu anggota Dewan tunjangannya saja sebesar Rp60-80 juta perbulan, maka matematikanya mengatakan, itu sama dengan 3 tahun lebih si buruh bekerja 7 hari dalam seminggu. Lalu bila sanksi tidak dibayar haknya atas gaji dan tunjangan selama 6 bulan, itu artinya,sungguh jauhi disvaritasnya atau kesenjangan sosialnya. Karena anggota Dewan masih tetap bisa makan enak. Padahal, nyaris anggota Dewan tidak punya tanggung jawab sosial dan moral clariti, sebab eksistensi Dewan dalam politik kekuasaan sektarian tak lebih dari lembaga tukang stempel semata. Sikap Bupati tidak hadir di paripurna, itu menunjukan fakta dan realitas bahwa Dewan berada di cengkraman hegemoni kekuasaan bupati, dan Dewan sebagai subordinasi Bupati, kata ekstrim dan tidak beradab harus di sematkan dalam sosiologi politik dan kekuasaan, yakni fungsi Dewan di anggap tidak berguna di mata Bupati. Tinggal persoalannya bila Dewan merasa marwahnya direndahkan, sebab bupati berulang mangkir dalam parpurna, dan itu pelanggaran UU disamping kebijakannya nyaris semua menabrak regulasi. Maka seharusnya segera tempuh mekanisme konstitusional melalui hak Interpelasi lantas Angket, dan bila hak angket bisa membuktikan atas pelanggaran peraturan perundang-undangannya, tinggal lakukan Pemakzulan. Bukan dengan mempertontonkan dinamika politik ngawur. Jadi yang dikatakan Ruswa MPd.I  F.MP dan Muhaimin F.G adalah seperti ulah anak-anak bermain melempar batu.

Konsekuensi berikutnya, jika memakai APBD 2022 ada banyak hal yg beresiko tinggi, seperti dana hibah ke Polres senilai Rp 2 miliar lebih, serta suntikan dana ke PDAM-TDA senilai Rp 4,5 miliar dan ke BPR KR Rp 10 miliar masih berlaku, dan pos pos anggaran lainnya seperti anggaran belanja modal.bila tidak segera dilakukan perubahan APBD 2022 nya,maka akan menumpuk anggaran. Padahal proyek belanja modal itu sdh dipakai. Resikonya berbagai pos anggaran itu harus tidak diserap atau tidak terserap, jika tidak segera dilakukan perubahan APBD dalam tempo yg sesingkatnya, tentu APBD-P itu dg materi nomenklatur dan anggaran APBD 2023 yang gagal diketuk palu. Sekarang dengan regulasi baru Mendagri, bahwa APBD bisa kapan saja dilakukan perubahan, bergantung pada kondisi daerah dan kemauan eksekutif dan legislatifnya. Semula perubahan APBD hanya sekali dlm setahun, kecuali masa pandemi dengan istilah refocusing anggaran.Sekarang kapan sj bisa dilakukan, bukan harga mati, tetapi jika tidak teliti atau perubahan itu hanya berorientasi kepentingan politik semata, maka rakyat dan daerah yang menderita. Terebih mentalitas birokrasi dan birokratnya yang lazim menganggap, “dari APBD saya harus dapat apa”. Itu buruknya. Pertanyaannya, jika Dewan membantah itu semua, maka Dewan harus  bisa membuktikan ke publik atas bantahannya itu semua, bukan sekedar bermain dengan lidah yang memang tak bertulang, dalam berapologi. (S Tarigan)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles