Subang, Demokratis
Masalah korupsi masih menjadi isu hangat untuk dibicarakan, dibahas dan diskusikan. Tak sedikit elemen masyarakat yang merasa jengah dan muak dengan perilaku koruptif, sehingga ingin segera diterapkannya pasal hukuman mati bagi pelakunya. Seperti di negeri Beruang Merah (baca : China).
Ironis memang, tindak pidana korupsi (Tipikor) ini tidaklah sama dengan tindak pidana lainnya. Tipikor merupakan sebuah kejahatan sangat luar biasa (extra ordinary crime). Disebut begitu lantaran dampaknya dapat menimbulkan disparitas ekonomi bahkan krisis ekonomi secara nasional, gagalnya pembangunan nasional, kerugian keuangan negara/daerah/desa sehingga dapat menimbulkan kesengsaraan masyarakat luas.
Jika ada yang mengatakan bila penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sudah menjalar hingga ke tingkat pedesaan, fenomena itu memang telah lama berlangsung, hanya saja ada yang mencuat dan tidak mencuat ke permukaan.
Dugaan perbuatan KKN itu kini tengah melanda di tubuh Pemerintah Desa Pasirmuncang, Kecamatan Cikaum, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, terkait adanya dugaan penyelewengan penggunaan Dana Desa (DD) dan Bantuan Keuangan Provinsi Jawa Barat (Banprov) yang dijadikan ajang korupsi, sehingga berpotensi merugikan keuangan negara/desa mencapai puluhan juta bahkan hingga ratusan juta rupiah.
Dari berbagai sumber dan hasil investigasi yang dihimpun awak media menyebutkan, berawal dari tudingan Pjs Kades Pasirmuncang yang mengangkangi regulasi pengelolaan keuangan desa.
Kades selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa (PKPKD) ditengarai tidak berpedoman pada Perbup Subang Nomor 44/2019, seperti Pelaksana Pengelolaan Keuangan Desa (PPKD) tidak berjalan dan berfungsi sebagaimana mestinya (Jo Pasal 61 dan 62) dan keadaan jumlah uang tunai di brankas (Bendahara Desa) maksimal sebesar Rp 5 juta (Jo Pasal 52 ayat (2)) tidak dilaksanakan.
Hal ini menyebabkan keuangan desa sulit dikontrol, sehingga berpotensi terjadi penyelewengan.
Begitu pula buku-buku administrasi desa tidak dikerjakan sesuai ketentuan, seperti Buku Kas Umum (BKU), Buku Kas Pembantu (BKP) dan Buku Bank Desa. Hal ini dianggap mengangkangi Permendagri Nomor 47 Tahun 2016 tentang Administrasi Pemerintahan Desa.
“Padahal buku-buku itu sebagai sarana evaluasi, monitoring dan pengendalian transaksi keuangan desa,” ujar sumber.
Hal ini menunjukkan pengelolaan keuangan desa semerawut dan menjadi indikator bila buruknya tata kelola keuangan desa tak terbantahkan.
Adapun modus operandi penjarahan anggaran desa (baca : kegiatan fisik) dengan cara mengurangi volume fisik, pengadaan material tidak sesuai spek teknis dan RAB, mark–up upah tenaga kerja (HOK). Selain itu adanya joki pembuatan SPJ dan atau SPJ fiktif, dengan itu pihak-pihak yang terlibat membuat administrasi bodong (Aspal-Red) dianggap telah melakukan kebohongan publik, sehingga terancam dipidana.
Sebagai testimoni adanya dugaan penyelewengan keuangan desa diantaranya bersumber dari: (1). Anggaran DD TA 2019 ; Pembangunan jalan rigid tersebar di enam dusun dari RAB 662 m3 direalisasi 533 m3, K=250 jika selisih 129 m3 maka ada dana puluhan bahkan ratusan juta menguap; DD TA 2020; pembelian mobil siaga pagu Rp 180 jutaan, dipertanyakan cash back dan hasil penjualan mobil siaga lama Rp 9,5 jutaan. (2). Anggaran Banprov TA 2019; Rehab kantor desa dari pagu anggaran Rp 100 jutaan diborongkan; TA 2020 = pagu anggaran Rp 100 jutaan, semula hasil Musrenbang dialokasikan membangun jalan di Blok Bedeng–Cipedes, kemudian tanpa musyawarah dialihkan untuk rehab kantor desa tanpa melibatkan TPK, realisasinya kisaran 80-70% saja dari pagu anggaran; Program Sapa Warga dialokasikan 6 RW (pembelian pulsa), pagu Rp 300 ribu/RW untuk selama 6 bulan, hanya direalisasi 1 bulan sebesar Rp 50 ribu/RW. TA 2020 pagu Rp 600 ribu/RW untuk selama 12 bulan, tapi tidak direalisasi sama sekali. BOP Kader Posyandu kendati direalisasi tapi tidak via transfer, masing-masing Rp 1.750 ribu/Posyandu.
Pjs Kades Pasirmuncang A Ruswanta saat dihubungi di ruang aula kantor desa (26/8) tidak seluruhnya membantah atas tudingan itu, seperti pengambilan uang di bank diakuinya tidak berdasarkan Rencana Penggunaan Dana (RPD). Ia beralasan jika sering mengambil uang ke bank riskan, lagian jaraknya cukup jauh. ”Semula prosedur itu diterapkan, tapi satu dan lain hal sehingga tuk sementara SOP tersebut dibaikan,” tandasnya.
Ihwal uang pulsa (Sapa Warga) diakuinya TA 2020 telah direalisasi 6 bulan. Uang cash back pembelian mobil siaga dibelanjakan cat dan alat bangunan lainnya untuk memenuhi kekurangan rehab kantor desa. Dana BOP Posyandu diakuinya penyalurannya tidak via transfer rekening bank. Padahal aturannya harus ditransfer. “Yang terpenting dananya tersalurkan, bukti kwitansi dibuat. Aturan itu dibuat oleh manusia. Jadi yang penting kenyataannya,” tuturnya.
“Sementara pos-pos lain sudah direalisasikan sesuai peruntukannya seperti terurai dalam Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDes),” ujar Kades seperti tanpa beban.
“Entah apa maksud statemen sang Kades itu, terkesan mengabaikan aturan itu dianggap lumrah. Aneh Kades yang satu ini,” ujar sumber.
Terkait pengalihan/perubahan rencana pembangunan yang tetapkan melalui Musrenbangdes tidak semudah membalikan telapak tangan, lanjut sumber, ada dua alasan yang harus dipenuhi, pertama karena terjadi peristiwa khusus, seperti bencana alam, krisis politik, krisis ekonomi dan/atau kerusuhan sosial yang berkepanjangan; atau kedua lantaran adanya perubahan mendasar atas kebijakan pemerintah atasnya, kemudian dimusyawarahkan kembali baru ditetapkan/Perubahan Perdes {PP 43/2014, Jo Pasal 120, ayat (1) dan (2)}.
“Tindakan merubah perencanaan pembangunan yang tidak sesuai aturan dianggap mencederai demokrasi lantaran tidak melalui kesepakatan,” ujarnya.
Untuk mendukung pernyataan Pjs Kades, awak media minta penjelasan/tanggapan via WhatsApp nomor 081312735XXX dikirim Minggu (30/8), namun yang bersangkutan tidak berkenan menjawab, hanya dibaca saja.
Aktivis Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi –RI (GNPK-RI) Kabupaten Subang melalui Kepala Devisi Pengaduan Masyarakat Yudi Prayoga Tisnaya saat dimintai tanggapan di kantornya, Sekretariat BTN Puskopad Sukajaya Blok A81 Kelurahan Cigadung (31/8), mencermati adanya dugaan korupsi di tubuh Pemdes Pasirmuncang, GNPK-RI Subang mendesak aprat pengawas seperti IRDA dan Aparat Penegak Hukum (APH) bergerak cepat untuk menyelediki kasus pelanggaran hukum ini.
“Jerat oknum pelakunya hingga bisa diseret ke meja hijau. Tidak usah menunggu laporan pengaduan, karena kasus ini merupakan peristiwa pidana,” tegas Yudi.
Pihaknya berjanji akan menelusuri dan menghubungi pihak terkait dalam penghimpunan data dan akan membawa kasus ini ke ranah hukum, bila nanti sudah mendapatai fakta yuridisnya secara lengkap. (Abh/Esuh)