Jakarta, Demokratis
Pekerja Migran Indonesia dari Malaysia memiliki angka kepulangan tertinggi selama tahun 2020, demikian disampaikan Sekretaris Utama Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Tatang Budie Utama Razak dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Selasa (16/3/2021).
Kata Tatang, jika menyangkut kepulangan pekerja migran Indonesia (PMI) dari Januari-Desember 2020, ada lima negara yang memiliki angka tertinggi kepulangan.
Data ini diperoleh dari sistem kepulangan online dan sistem yang terkoneksi dengan Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian (Simkim).
“Dari lima negara tertinggi, yang paling besar dari Malaysia,” kata Tatang dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Selasa (16/3/2021).
Dari sistem kepulangan online, tertinggi adalah Malaysia sebanyak 14.943, diikuti AS (9.771), Arab Saudi (5.023), Uni Emirat Arab (2.865), dan Brunei Darussalam (2.739).
Sementara data Simkim, tertinggi dari Malaysia (15.075), Hong Kong (12.033), Taiwan (10.164), Singapura (4.697), dan Arab Saudi (1.351).
Kalau dari Malaysia, sebagian besar adalah tenaga kerja yang dikategorikan sebagai pekerja rumah tangga dan perkebunan. Yang dari Amerika Serikat paling banyak pekerja kapal pesiar. Arab Saudi mayoritas pekerja rumah tangga setara dengan UEA dan Brunei.
Dalam sistem data yang dimiliki pihaknya, Tatang mengatakan jumlah PMI yang bekerja di luar negeri berjumlah sekitar 2 jutaan orang. Sebagian besar dari mereka bekerja di sektor rumah tangga, perkebunan, dan sebagian anak buah kapal. Semua pekerjaan ini termasuk dalam kategori high risk dan informal.
Bekerja sama dengan Kementerian Tenaga Kerja, Tatang mengatakan pihaknya terus berusaha melakukan perubahan fundamental tata kelola PMI. Solusinya adalah mencegah dini munculnya kasus-kasus seperti kekerasan di belakang hari, dengan penyiapan penempatan PMI.
Imbasnya, jumlah pekerja dari Indonesia yang lebih terampil jadi meningkat. Data menunjukkan jika di tahun 2017, sebanyak 262.899 PMI ditempatkan, di mana pekerja sektor informal yang high risk hanya lebih tinggi 9,6% dibanding pekerja sektor formal.
Lalu angka perbedaan itu semakin menurun di tahun 2018 di mana dari 283.640 PMI ditempatkan, pekerja informal hanya lebih tinggi 5,77% dibanding pekerja formal.
Di 2019, gap semakin mengecil di mana pekerja informal hanya lebih tinggi 3,10% dibanding pekerja sektor formal, dengan total penempatan 276.553 PMI.
Di tahun 2020, akibat pandemi, total penempatan 112.972, dengan mayoritas adalah pekerja informal yang angkanya lebih tinggi 34,93%.
Sepuluh provinsi asal pengirim PMI yang terbesar 2018-2020 adalah Jawa Timur (176.904); diikuti Jawa Tengah (148.452); Jawa Barat (138.552); NTB (71.444); Lampung (49.542); Sumut (46.695); Bali (8400); Banten (5.633); Sumsel (4.058); dan NTT (3.669).
Dari data-data itu, Tatang mengatakan pihaknya berusaha melakukan perbaikan di mana para PMI diarahkan masuk ke negara yang perlindungan pekerja serta gajinya lebih baik. Misal di Korea Selatan, gaji awal pekerja manufaktur asal Indonesia adalah Rp 21 juta per bulan dan bisa meningkat sesuai jam kerja. Dari Korea Selatan saja, remittance yang didapat Rp 1,4 triliun per bulan.
Namun, diakui Tatang bahwa situasi pandemi Covid-19 memberi tantangan baru, khususnya menyangkut penanganan di dalam negeri. Kemnaker misalnya sudah membuka pengiriman PMI ke beberapa negara. Namun negara yang dituju ternyata masih menutup pintu perbatasannya untuk orang asing.
Ada juga kasus seperti di Korea Selatan, di mana 3.400 PMI ditolak karena kasus Covid-19 harian di Indonesia dinilai masih tinggi. Sehingga PMI dianggap sangat berisiko. Padahal, para PMI ini sudah memiliki kontrak kerja, sudah dilatih sesuai dengan lokasi penempatan. Bahkan ada yang visa kerjanya masih aktif, namun akhirnya expired karena waktu tunggunya habis.
Sebaliknya, Korea Selatan membuka pintunya untuk pekerja migran asal Kamboja, Karena negeri itu dinilai lebih baik menangani pandemi Covid-19 di negaranya.
“Ini jadi kendala dan persoalan,” pungkas Tatang. (Dem/Red)