Jakarta, Demokratis
Salah satu Perseroan Terbatas, SMBP yang diduga merumahkan karyawannya dengan alasan sulitnya kondisi keuangan perusahaan, diadukan karyawannya ke Pusat Bantuan Hukum Lidik Krimsus RI seperti tertuang dalam form aduan nomor 340301.2020010 tanggal 27/08/2020.
PT SMBP disebut pengadu bergerak di bidang pembuatan hutan tanaman skema pinjaman itu dibiayai dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P2H), yang dalam pelaksanaannya PT SMBP bekerjasama dengan PT SSM dan yang mendapat pinjaman dari BLU adalah PT SSM.
Pengakuan adanya kesulitan kondisi keuangan perusahaan itu tertuang dalam dua surat berbeda pihak PT SMPB, yakni surat Nota Pemeriksaan bernomor SB.PH.008.II.20 dan surat kepada karyawan dengan Hal Pemberitahuan. Ditulis dalam surat pemberitahuan bahwa kesulitan keuangan yang dialami perusahaan adalah sebagai dampak dari pandemi Covid-19 yang membuat perusahaan berhenti beraktivitas sejak pertengahan Maret 2020 lalu.
“Keterlambatan pembayaran upah : Perusahaan terus berusaha untuk memenuhi kewajiban kepada karyawan, tetapi karena kondisi keuangan perusahaan saat sedang sulit, dikarenakan usaha kami untuk menjual bibit jati sebagai usaha pokok sedang mengalami kesulitan, tidak ada realisasi penjualan. Perusahaan akan membayar kewajiban kepada karyawan sesegera mungkin jika kondisi keuangan perusahaan sudah stabil,” demikian bunyi kutipan surat PH, Dirut PT SMBP yang ditujukan dengan hormat kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sedangkan pada surat pemberitahuan, disebutkan bahwa gaji karyawan yang dirumahkan akan dibayar 50 persen oleh perusahaan, “Status : Dirumahkan, Gaji selama dirumahkan : 50 % dari gaji pokok,” tulis Kabag Personalia PT SMBP. Meski demikian, karyawan yang mengadu, MK menyebut jika dirinya belum menerima gaji dengan besaran dimaksud sejak Januari 2020.
“Saya sudah ngga menerima gaji sejak Januari 2020, dan setiap saya hubungi pihak perusahaan, saya selalu dijanjikan kalau akan segera dibayarkan tetapi sampai saat ini belum juga dibayarkan,” kata Karyawan berinisial MK kepada wartawan, Jumat (28/8/2020) di bilangan Amplas Sleman.
Selain MK, pengadu lainnya SS, mengaku bahwa meski suaminya sudah meninggal dunia pada 15 Desember 2019 silam, namun kepada wartawan SS mengakui bahwa suaminya tidak diberikan fasilitas BPJS semasa hidupnya dari PT SMBP, juga tidak diberikan pesangon dan hak lainnya meski suami SS, YRW telah bekerja selama ± 20 tahun pada perusahaan. Kondisi tersebut sangat membebani SS hingga saat ini, sebab diakuinya bahwa selain harus membayar semua biaya perawatan suaminya, saat ini SS juga harus berjuang menyekolahkan anaknya tanpa ada pesangon sama sekali dari perusahaan.
Menanggapi hal tersebut, Sekjend PBH Lidik Krimsus RI, Elim Makalmai mengatakan bahwa pihaknya siap menindaklanjuti pengaduan yang masuk ke pihaknya. Dia menjelaskan bahwa berdasarkan aduan yang ada, kuat dugaan PT SMBP tidak memiliki manajemen perusahaan sesuai ketentuan Undang-undang Ketenagakerjaan.
“Ini sangat keterlaluan, sebab perusahaan ini telah merekrut dan memperkerjakan tenaga kerja tanpa memedomani ketentuan Undang-undang yang berlaku. Tidak ada pesangon yang dibayarkan kepada pekerja yang meninggal dunia. Itu baru salah satu yang kami ungkapkan. Yang pasti, kami mengkaji jauh kedalam permasalahan ini, bahwa kuat dugaan ada indikasi transaksional kolusi dalam hal pembiayaan pembuatan hutan yang dianggarkan dari APBN di Kementerian LHK melalui BLU P2H.”
“Kenapa perusahaan yang kuat dugaan memiliki manajemen perusahaan yang buruk, tetapi telah disetujui sebagai penerima pinjaman dana bergulir? Tentu ada pihak Kementerian LHK yang sebelumnya memverifikasi dokumen perusahaan. Makanya saya katakan bahwa patut diduga bahwa di situ ada indikasi transaksional kolusi,” tegasnya. (Albert S/Red)