(Apa yang diucapkan akan lenyap, apa yang dituliskan akan abadi) Pepatah Latin
Meskipun pepatah kuno Latin ini tidak lagi berlaku penuh, karena ucapan terekam dan menjadi abadi juga sama dengan abadinya tulisan, namun tradisi menulis tidak hilang urgensinya. Tulisan mengawal perjalanan sejarah. Tulisan berfungsi untuk ekspresi diri bangsa, tulisan berguna untuk integrasi bangsa, tulisan juga berguna untuk pembangunan karakter budaya bangsa.
Jadi ucapan dengan alat rekam tidak menghapus esensi tulisan. Keduanya baik ucapan dan tulisan seiring membuat sesuatu menjadi abadi. Menjadi urgen di langit zaman.
Terkait pada tradisi menulis pada judul tulisan ini, saya merasa tersentak oleh ucapan Prof Rokhmin Dahuri seorang intelektual asal Institut Pertanian Bogor (IPB) kini guru besar, kepada saya agar terus menulis. Ucapan itu diucapkan saat bertemu di kantornya di Kementerian Kelautan ketika saya menyerahkan buku saya setebal 300 halaman berjudul Essay Politik dan Moral Bangsa berasal dari kumpulan artikel saya di pelbagai surat kabar dan media online rentang waktu tiga tahun ini.
Pak Rokhmin, panggilan akrabnya mengingat sudah lama saya kenal, beliau menjatikan dirinya dalam istilah Urang Semando. Ia beristeri asal Minang. Sementara ia sendiri berasal dari Cirebon. Amat jelas ia concern pada gagasan kelautannya. Profesor yang satu ini amat giat dan terus menulis ilmunya tentang gagasan kelautan dan perikanan.
Tak salah kalau Harian Merdeka Agustus tahun lalu untuk mewancarainya panjang lebar tentang keinginannya untuk tetap menulis. “Ya, saya akan terus melanjutkan tradisi saya untuk menulis,” katanya.
Gagasan besar yang ingin dibangunkan bagi bangsa Indonesia nampaknya urgen dan sangat relevan, bangsa harus kembali ke budaya dasarnya kelautan dan tanah. Tanah sudah dieksplorasi berupa industri pabrik, gedung pencakar langit. Sementara laut dengan potensi ikan, mineral dasar laut, jalur transportasi belum tergarap sebagaimana mestinya. Itulah gagasan besarnya yang dimanifesatasi lewat tulisan.
Sekali lagi, tulisan penting untuk pembangunan gagasan yang bermakna. Dalam hal itu setidaknya ada dua hal yang perlu yaitu pembangunan berbasis ekonomi dan gagasan berbasis agama dan kebudayaan.
Pertama, gagasan pembangunan ekonomi. Menginat tanpa ekonomi berkemajuan kita tidak punya masa depan. Ini harus diwujudkan investasi, pembangunan pasar dan tenaga kerja.
Kedua, gagasan pembangunan moral berbasis agama kebudayaan, dan ilmu. Tanpa gagasan yang berbasis moral kita tidak sukses membangun masa depan. Ini memerlukan gagasan yang terkawal dengan baik.
Tentu saja ini semua mengacu pada konstitusi dan kebijakan pemerintah. Namun demikian, kita harus mengawal gagasan tersebut. Caranya dengan menulis gagasan untuk memperkaya dan mengawal pembangunan masa depan bangsa.
Banyak gagasan ditulis para intelektual kita. Sebutlah Bung Hatta dengan buku Demokrasi Kita, kemudian Buya Hamka meninggalkan karya Tafsir Al Azhar tentang urusan moral agama, Kasman Singodimejo dengan buku Hidup itu Berjuang, Hamengkubuwono ke IX Tahta Untuk Rakyat, Mohtar Lubis dengan karya Manusia Indonesia.
Akhirnya, marilah kita lestarikan tradisi menulis yang terarah pada gagasan besar untuk masa depan Indonesia berkemajuan. Tulisan menjadi karya yang tertorehkan dalam sejarah berkekalan di langit zaman. Semoga!
Jakarta, 6 September 2020
*) Masud HMN adalah Dosen Pascasarjana Univesitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta