Membaca Surat Pengunduran Diri Febri Diansyah Jubir KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) era Komisioner Agus Raharjo dkk dan jabatan barunya Kabiro Humas KPK (SPD-FD) berikut penjelasannya yang dilansir detik.com dan media lainnya, bagi kita (saya, yang hingga kini sudah 15 tahunan lebih sebagai pekerja sosial penggiat antikorupsi di kota kecil Indramayu) seperti terhentak badai, air mata tak terbendung, berderai-derai sampai surat Febri Diansyah itu tuntas dibaca dan dipahami.
Kita (saya) tidak dapat membayangkannya, bagaimana Febri Diansyah selama 11 bulan sejak RUU KPK (UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK) itu disahkan di Senayan dan disetujui Pemerintah menjadi sebuah UU. Tentu, betapa menyakitkan, tersiksa (terintimidasi) nuraninya, terampok integritasnya dan terpenjara intelektual akademiknya, sehingga dalam seminggu melakukan perenungan dirinya dan mendialogkan dengan keluarga dan istri tercinta yang telah andil besar dalam kehidupan pribadi Febri Diansyah, lantas mengambil sebuah keputusan untuk mundur dari (pegawai) KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Pengunduran diri itu tentu sangat yang amat pahit bagi dirinya, keluarganya dan bagi sahabat-sahabatnya di penggiat antikorupsi, dan tentu sangat mencekam bagi publik penggiat antikorupsi di negeri ini yang berjalan di lorong-lorong kegelapan, ketidakadilan dan di reruntuhan hukum. Kita sebagai penggiat antikorupsi seperti kehilangan asa menuju harapan, bahwa di sana masih ada seberkas cahaya yang kita nanti, tetapi sekaligus juga kita membantahnya akan sebuah harapan itu, sebuah kenaifan dan menjadi hal yang ilusif.
Sebagian dari kita, tentu akan mengatakannya, betapa bodohnya Febri Diansyah keluar dari KPK, padahal posisi jabatannya cukup tinggi, gaji dan fasilitasnya lebih dari cukup, dan tidak gampang bisa menjadi pegawai KPK. Pertanyaan tersebut menggambarkan pandangan pada standar umumnya masyarakat yang tidak mau peduli dengan kemartabatan nurani, yang tak peduli betapa berharganya logika dan akal waras, betapa tingginya nilai integritas dan intelektualitas akademik dan betapa tak ternilainya moralitas. Karena, persoalannya, adalah cara pandang status sosial dan argumentasi meterialistik yang dikedepankan tersebut sebagai fakta sosialnya memang seperti itu. Tetapi, bagi Febri Diansyah tidak seperti itu memahami persoalannya. Bagi kita, pilihan Febri Diansyah mengundurkan diri adalah sebuah pilihan yang menjadi sangat terhormat, dan menjadi catatan sejarah yang langka di tengah kondisi dan situasi sosial politik pembebekan dan penghambaan pada kekuasaan.
Tidak semua orang, dalam hal ini Febri Diansyah, jabatan dan gaji besar itu menjadi segala-galanya. Hanya sedikit orang saja yang masih setia untuk merawat logika dan akal warasnya untuk tidak ingin kemerdekaan berpikirnya terbelenggu dan tertawaan, idealismenya terpenjara, karena moralitasnya harus tetap bicara, apalagi nawaitu masuk ke KPK adalah karena kegelisahannya melihat realitas bangsa dan negara yang terus digerokoti oleh penyakit yang sudah kronis menimpa negeri ini, yaitu korupsi, dan korupsi harus dijadikan musuh bersama kita.
Hal ini bisa kita baca dan kita bisa pahami, karena secara gamblang mengatakan, Pilihan menjadi Pegawai KPK sejak awal berangkat dari kesadaran tentang pentingnya upaya pemberantasan korupsi dilakukan secara lebih serius. Bagi Saya, selama menjadi Pegawai KPK bukan hanya soal status atau posisi jabatan namun lebih dari itu, ini adalah bagian dari ikhtiar yang utama untuk berkontribusi dalam pemberantasan korupsi. KPK adalah contoh sekaligus harapan bagi banyak pihak. Untuk dapat bekerja dengan baik, independensi merupakan keniscayaan (SPD-FD: Alinea 2, Jkt, 18/9/2020).
Nawaitu dan langkah keberangkatannya begitu konkret atas kegelisahan melihat permasalahan perkorupsian di negeri ini yang membakar idealism dan moralitasnya mengapa pilihannya ke gelanggang KPK, kerena KPK-lah harapan bagi banyak pihak. Ketika harapan banyak pihak itu pupus dalam UU KPK baru dan tercengkram juga dalam genggaman Komisioner yang baru, maka tidak ada pilihan lain baginya, kecuali mengundurkan diri, melepaskan status sosial ke-KPK-annya dengan senyum. Tetapi, senyumannya bisa dimaknai dan amat benderang bagi kita terbaca apa yang terjadi dan berjalan di dalam KPK sekarang ini. Sirnanya, pupusnya harapan bagi banyak pihak yang merindukan pemberantasan korupsi yang sudah berurat-berakar di negeri ini. Dengan demikian, potensinya di masa datang, pohon korupsi semakin rimbun, lebat dan akarnya menjalar di mana-mana yang kemudian menjadi panorama sehari-hari di negeri.
Apakah kegelisahan tersebut terus terpelihara oleh Febri Diansyah? Ternyata terpeliharanya kegelisahan tersebut menjadi keniscayaan. Febri Diansyah merupakan salah satu dari 37 orang yang masih terpelihara kegelisahannya melihat bangsa dan negara ini, sehingga demi kegelisahan tersebut harus meninggalkan institusi yang menjadi penantian dan harapan publik luas yang tidak menginginkan negeri hancur, terkapar kemiskinan, karena korupsi yang merajalela. KPK adalah institusi yang dielu-elukan untuk menjadi hero dalam pemberantasan korupsi, karena institusi Kejaksaan dan Kepolisian bagaikan fatamorgana. Pengharapan itu semua menjadi harapan yang teramat naïf. Febri Diansyah menjadi tak berdaya, ada tapi meniada.
Dengan bahasa dan diksi yang amat santun mengatakannya, “Namun kondisi politik dan hukum telah berubah bagi KPK. Setelah menjalani situasi baru tersebut selama sekitar sebelas bulan, saya memutuskan jalan ini, memilih untuk mengajukan pengunduran diri dari institusi yang sangat saya cintai, KPK (SPD-FD: Alinea 3, Jkt, 18/9/2020). Melalui surat ini saya juga ingin sampaikan terimakasih pada Pimpinan KPK, atasan langsung saya, Sekjen KPK dan kolega lain di KPK dengan segala proses pembelajaran, perbedaan pendapat dan kerja bersama yang pernah dilakukan sebelumnya. Semoga insan KPK dapat terus loyal pada nilai dan berjuang bersama untuk mencapai cita-cita membersihkan Indonesia dari Korupsi. Kalaupun terdapat perbedaan pendapat atau ketersinggungan, Saya mohon maaf. Semua itu tidak pernah saya tempatkan sebagai persoalan Pribadi, melainkan semata karena hubungan pekerjaan yang professional (SPD-FD: Alinea 4, Jkt, 18/9/2020).
Membaca Surat Pengunduran Diri Febri Diansyah, setidak-tidaknya kita bisa melakukan pembacaan yang sangat gamblang dalam lorong-lorong kegelapan, yaitu, pertama, kondisi politik dan hukum telah berubah bagi KPK. Hal tersebut mengafirmasi keniscayaan bahwa UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK sejatinya adalah untuk melemahkan institusi pemberantasan korupsi yang disangkal Senayan, Istana dan para penghamba kekuasaan. KPK kehilangan ruh pemberantasan korupsinya, tak lebih dari Kejaksaan dan Kepolisian. UU KPK yang baru, memberikan fakta sosial bahwa KPK ada tapi meniada dan tiada, ada tapi tidak meng-ada. Fakta sosial tersebut merupakan bukti bahwa dengan UU baru tersebut KPK menjadi lumpuh, lemah, dan memang dilemahkan, sekalipun, sekali lagi, pelemahan atas KPK tersebut dibantah bahkan menjadi penegasian Senayan dan Istana, dan kalangan yang berada di sumbu-sumbu kekuasaan.
Kedua, selama sebelas bulan Febri Diansyah berada dalam UU KPK yang baru dengan para komisioner yang baru pula (Firli Bahuri, Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron, Nawawi Pomolango dan Alexander Marwata), keberadaannya tidak lagi sejalan, yang istilah Febri Diansyah tidak bisa memberikan kontribusi. Asumsinya, pertama, karena cara pandang, berpikir, berlogika dan ber-akal waras sudah tersinggirkan dan atau bersilangan dari cara pandang dan tafsir para komisioner yang baru terhadap apa itu korupsi dan bagaimana korupsi itu dilakukan dan bagimana bisa terjadi, dan bagaimana rangkaian sistemik perkorupsian itu dan struktur zigzag papan catur korupsi tersebut yang Febri Diansyah kerapkali dikatakan dalam berbagai acara televisi.
Asumsi kedua, karena tradisi atau budaya pemberantasan korupsi yang berada dalam genggaman komisoner baru itu tidak bisa dia pahami secara logika dan akal waras, padahal, korupsi tersebut merupakan extra ordinary crime dan harus dianggap musuh bersama, bangsa dan negara, sehingga pilihannya mundur, bukan bertahan di dalam. Hal yang dilakukan Febri Diansyah bukan berarti melempar handuk seperti yang kita saksikan dalam ring tinju. Paling tidak, itulah sebagian dari pembacaan terhadap KPK hari ini (kini).
Ketiga, karena kondisi politik dan atau cara pandang politik dalam penanganan korupsi mengental dalam komisioner KPK, sehingga apa yang menjadi harapan Febri Diansyah yang bermula dari habitat penggiat antikorupsi meniada dalam pengharapan tersebut. Lagi-lagi dikatakan tidak bisa memberikan kontribusi, karena Febri Diansyah terlalu bermimpi atau merindukan KPK untuk memenuhi harapan publik yang mencintai negeri ini.
Keempat, karena Febri Diansyah tidak mau ditelanjangi oleh sejarah yang telah ditulisnya. Ini membuktikan bahwa intergritas dan idealisme yang mengkristal dalam dirinya merupakan nilai yang amat sangat berharga dari sebuah martabat dan harkat manusia. Hal ini pula untuk membuktikan bahwa dirinya, bukan seperti bagian dari orang-orang yang dulunya sebagai demontrans (aktivis) maupun sebagai penggiat antikorupsi yang berteriak lantang, lantas setelah berada dalam sumbu kekuasaan, lenyaplah identitas dirinya yang dulu sama-sama meneriakkan perubahan, meneriakkan pemberantasan korupsi dengan lantang, berbusa-busa dan berarapi dalam berbagai diskusi, forum dan turun ke jalanan sebagai gerakan ekstra parlementer, kini kemudian memilih gelanggang penghambaan kekuasaan sebagai pecundang, kacung dan centeng kekuasaan atau Malin Kundang Sejarah, termasuk di dalamnya sebagai buzzer dan influencer kekuasaan dan atau sebagai penghamba kekuasaan, tetapi itu bukan pilihan sikap dan pandangan hidup Febri Diansyah jika kita membaca Surat Pengunduran Dirinya.
Kedua, pembacaan yang bisa kita lakukan atas: Semoga insan KPK dapat terus loyal pada nilai dan berjuang bersama untuk mencapai cita-cita membersihkan Indonesia dari Korupsi, memberikan pembacaan yang tegas bahwa KPK sekarang tidak bisa lagi sebagai pengharapan atas upaya pemberantasan korupsi, dimana korupsi dikatakan sebagai extra ordinary crime di negeri ini. Febri Diansyah memilih jalan lain, keluar dari gelanggang untuk kembali ke gelanggang sama dengan tembok yang berbeda. Febri Diansyah ingin menunjukkan dirinya bukan sebagai bebek-bebek yang mau nyaman berenang di kolam susu. Dirinya tidak ingin menjadi beo dalam sangkar emas, dan dirinya tidak ingin menjadi ikan koi yang indah dan cantik dalam akuarium platina (emas putih) yang terlihat berenang ke sana ke mari.
Susunan pilihan kata dan kalimat yang amat sangat santun dibahasakan tersebut tak bisa menghindar dari bantahan yang tak terbantahkan lagi bahwa memang KPK tidak sungguh-sungguh menjunjung tinggi nilai dan tak sungguh-sungguh pula berjuang untuk upaya pemberantasan korupsi yang harus dianggap musuh bersama kita. Semoga insan KPK dapat terus loyal pada nilai. Hiperbolis yang dibangun Febri Diansyah sekaligus merupakan satire yang mencerminkan gambaran di dalamnya, dan itu tak bisa teringkari, karena dilanjutkan dengan kalimat: dan berjuang bersama untuk mencapai cita-cita membersihkan Indonesia dari Korupsi. KPK adalah institusi yang dirancang, dibangun dan dibentuk adalah untuk jati diri dalam pemberantasan korupsi, yang filosofisnya karena terjadinya krisis kepercayaan publik terhadap institusi Kejaksaan dan Kepolisian.
Kalimatnya di bawah sadarnya adalah tak pelak lagi menjadi paradoks, sekalipun diawalai dengan kata “Semoga insan KPK dapat terus loyal.” Kata semoga menjadi perlambang doa dalam kenestapaan, tetapi berada dalam substansi yang mencerminkan atau sebagai destinasi dari pengharapan yang meniada akan kesungguhan penanganan korupsi, yang tidak saja dilemahkan oleh UU KPK yang baru tersebut, tetapi juga ada persoalan, problema dilematis yang membelit pada pribadi para komisionernya dengan perkataan lain, ini soal mentalitas. Soal mentalitas tidak berelasi dengan tingkat kepandaian, kaya atau miskin, sekolah tinggi atau tak tamat sekolah rendah, beragama atau tidak beragama dan seterusnya.
Ketiga, pembacaan yang bisa kita lakukan adalah punah, sirnanya apa yang kita stabilo dengan makna kata atau apa yang kita definisikan sebagai independensi, integritas dan kesejatian KPK sebagai lembaga antirasuwah yang menjadi pohon harapan dan penantian publik. Kata “semoga” yang mengawali kalimat pada aline ke-4 tersebut, sekaligus juga sesungguhnya mengafirmasi kebenaran yang tegas dan nyata, apa yang kita semua cemaskan sejak dibuatnya RUU KPK, yang mendapat reaksi dan gelombang penolakan nasional waktu itu menjadi fakta sosiologis di negeri ini.
Febri Diansyah telah keluar dari gelanggang (KPK), dan berarti Febri Diansyah ingin menjaga kehormatannya, mentalitasnya, panggilan kalbunya, keintelektualitasannya dan moralitasnya, ketika kondisi politik dan hukum telah merubahnya. Tetapi, Febri Diansyah tidak ingin dikatakan “melempar handuk” dalam sejarah, maka di berbagai media mengatakannya, “keluar dari gelanggang untuk kembali kegelanggang yang lain”, yaitu, gelanggang di luar pagar KPK dalam upaya yang sama seperti apa yang ia tumpahkan ketika berada dalam KPK; tetap sebagai penggiat antikorupsi dan membentuk badan hukum publik, dan tetap akan mendorong dan membantu para penggiat antikorupsi lainnya diberbagai daerah. Semoga. Hanya itu yang bisa kita ucapkan. Semoga sejarah dan waktu tidak mencatatnya dan membicarakannya sebagai Febri Diansyah Si Malin Kundang Sejarah. Semoga dan semoga. Amiin.***
*)Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com