Sabtu, Oktober 12, 2024

Mensos Cincang Bansos Jadi Moncos

Rezim Soeharto berkuasa + 32 tahun. Selama 32 tahun tersebut kabinetnya tak ada yang terjerat kasus korupsi. Itu de jure-nya. Suka tidak suka, itu fakta politiknya. Kabinet dan Cendana tidak gaduh. Tetapi, mayoritas bangsa di negeri ini pastilah akan mengatakan pemerintahan rezim Soeharto sangatlah korup.

Tak ada yang tidak sepakat akan hal itu, terkecuali kroni-kroni Soeharto, sekalipun kemudian diakui pula oleh bagian kroninya yang membenarkan bahwa selama rezim Soeharto berkuasa sangatlah korup. Entah karena takut akan terkena getahnya dalam gelombang reformasi 1998 dan atau berani angkat bicara setelah Soeharto dilengserkan dengan kekuatan people power dalam gerakan ekstra parlementer yang menuntut Soeharto mundur dari kursi kepresidenanya, dan Soeharto pun kemudian mundur, tepat pada 21 Mei 1998. Lengsernya Soeharto tidak bisa dikatakan sebagai bentuk kudeta atau pengambilalihan kekuasaan secara paksa oleh sipil maupun militer.

Pasca reformasi, Soeharto pun tetap aman dan tidak pernah diadili sebagai koruptor hingga akhir hayatnya. Begitu pun dengan para menterinya (kabinet) hingga kini tak pernah ada yang disangkakan terlibat korupsi. Kroni-kroni dan anak-anak Soeharto juga tak pernah diperiksa atau diadili atas oligar ekonomi yang berakar dari oligarki kekuasaannya yang dikatakan sangat korup tersebut. Padahal, setelah Soeharto lengser, BJ Habibie menjadi Prersiden yang konon pro reformasi, setelah itu Gusdur dan Megawati yang juga konon pro reformasi. Waktu itu hampir semua para menteri dan kroni-kroni Soeharto masih pada hidup, sehingga untuk bisa diadili dalam kasus korupsi sangatlah terbuka, dan bahkan harus diadili jika rezim Soeharto dikatakan (sangat) korup. Faktanya tidak ada yang diadili dalam kasus korupsi hingga kini.

Suka tidak suka, sependapat atau tidak, realitas sosial politik sebagai empirik yang menjadi realitas fakta sosial adalah Soeharto sebagai Presiden jauh sangat mampu menjaga kabinetnya dalam mengelola keuangan negara (APBN), karena selama 32 tahun tidak ada yang terjerat kasus korupsi. Sekalipun kita sangat geram, jengkel dan memuakkan melihat dan mendengarnya. Kok dikatakan sangat korup tetapi tak ada satupun yang bisa dijerat. Aneh bin ajaib negeri ini. Kelegowoan dan kesantunan yang sangat hipokrit.

Tetapi, rezim Soeharto tetap kemudian dijadikan bulan-bulanan sejarah tiada akhir, tanpa kita mau menyelesaikan gugatan atau cacat sejarah tersebut, dan kita hingga kini juga tidak ada itikad untuk mengakhiri penyelesaian bulan-bulanan sejarah tersebut. Padahal, dalam sistem negara demokrasi dan negara hukum, proses hukum secara “in absentia” bisa dilakukan, tetapi itu tidak dilakukannya. Menjadi bulan-bulanan terus dimainkannya manakala kita membicarakan dan atau memperbincangkan kepemimpinan dari Presiden ke Presiden. Lucu dan menggelikan jadinya. Dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001, proses hukum “in absentia” bisa dilakukan (pasal 38:1). Tetapi, itulah fakta yang tak terbantahkan dan menjadi keniscayaan hingga kini baik secara de jure maupun de facto tidak dilakukan.

Kita telah kehilangan rasionalitasnya sebagai manusia, kita telah kehilangan logika dan akal waras sebagai manusia. Dari Presiden ke Presiden hal de facto tersebut dianggap dongeng di siang hari bolong yang diceritakan para gepeng (gelandangan dan pengemis) tuna wisma yang tengah mengigau, nglindur. Setiap kali kita mempertanyakan dan bertanya, di mana kah negara? Di mana kah negara? Hingga kini tak pernah ada jawabnya. Presiden ke Presiden tak ada yang bergeming, sama halnya dengan kasus pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) 1998 yang setiap Kamisan, payung hitam, baju hitam dan pita hitam di depan Istana tak pernah terjawab bahkan Istana pun memalingkan pandangannya. Kenyerian sejarah tak pernah bisa menyentuh Istana. Karpet merah tak pernah gundahgulana.

 

Korupsi di Kabinet

Setelah (gelombang) reformasi, seharusnya negara terbebas dari lilitan korupsi yang melingkar-lingkar dari Pusat hingga Daerah jika kita mau belajar dari sejarah buruk rezim Orba (Orde Baru), rezim Soeharto yang otoritarian dan korup. Konon, kita jangan melupakan atau meninggalkan Jas Merah. Adakah itu maknanya?

Jas Merah ternyata hanyalah jargon dan retorika politis dari rezim ke rezim. Era rezim Megawati Soekarnoputri, kabinetnya terjerat kasus korupsi. Yang sial atau apes empat menteri dalam kabinetnya; (1) Rokhmin Dahuri (Menteri Kelautan dan Perikanan, 2001-2004), kasus korupsi dana dekonsentrasi sebesar Rp 15 miliaran lebih. (2) Achmad Sujudi (era Gus Dur-Mega, Menteri Kesehatan, 2001-2004), kasus korupsi pengadaan alat kesehatan di Departemen Kesehatan tahun 2003. (3) Hari Sabarno (Menteri Dalam Negeri, 2001-2004), kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran dengan kerugian negara Rp 97,2 miliar. (4) Bachtiar Chamsyah (era Mega-SBY, Menteri Sosial, 2001-2004), kasus korupsi pengadaan mesin jahit, yang merugikan keuangan negara hingga Rp 33,7 miliar.

Era rezim SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), 2004-2014, kabinetnya terjerat kasus korupsi; (1) Siti Fadilah Supari (Menteri Kesehatan), kasus korupsi pengadaan alat kesehatan untuk antisipasi kejadian luar biasa (KLB) 2005. Menerima suap Rp 1,875 miliar dari PT Graha Ismaya. Kerugian negara mencapai Rp 6,1 miliar. (2) Andi Alfian Mallarangeng (Menteri Pemuda dan Olah Raga), kasus korupsi proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional Hambalang, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 7,6 miliar (Audit Investigasi BPK 2012-2013, CNN Indonesia, 31/3/2016). (3) Suryadharma Ali (Menteri Koperasi dan UKM, Menteri Agama), kasus korupsi penyelenggaraan ibadah haji dan penyelewengan dana oparasional menteri (DOM), merugikan negara hingga Rp 27,2 miliar dan 17,9 Riyal Arab Saudi, dan juga pengadaan Al Quran. (4) Jero Wacik (Menteri Kebudayaan dan Parawisata, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral), kasus korupsi pengadaan proyek dan dana operasional menteri di Kementerian ESDM 2011-2013, merugikan keuangan negara Rp 5 miliar.

Era rezim Joko Widodo, kasus  korupsinya menjadi heboh, karena dana bantuan sosial (Bansos) untuk yang terkena dampak bencana nasional pandemi Covid-19 ternyata dicincang Mensos Jualiari Peter Batubara, sehingga menjadi “moncos” sampai ke tangan KPM (keluarga penerima manfaat) yang kata Menkeu Sri Mulyani Indrawati untuk 40 persen masyarakat dari jumlah penduduk.

Kabinetnya yang terjerat korupsi; (1) Kemenpora Imam Nahwari (dari PKB) terkena OTT KPK (18/12/2018) kasus suap KONI senilai Rp 14,7 miliar selama 2014-2018 dan Rp 11,8 miliar selama 2016-2018, total Rp 26,5 miliar. (2) Menteri Sosial Idrus Marham (dari Golkar) kasus suap PLTU Riau-1 sebesar Rp 2,250 miliar, bermula KPK menangkap Eni Saragih di rumah Idrus Marham (Menos waktu itu), terkena OTT KPK pada 13/7/2028. Yang mujur adalah Rini Sumarno (waktu itu Menteri BUMN) atas dugaan kasus Pelindo yang sudah di tangan KPK kemudian tenggelam, lenyap begitu saja hingga kini. (3) Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (dari Gerindra) dengan staf khusus dan staf lainnya terkena OTT KPK sehabis foya-foya (shopping) di Amerika Serikat, (diduga) menerima suap Rp 9,8 miliaran dalam kasus lobster. (4) Kemensos Juliari Peter Batubara (dari PDIP), kasus suap Bansos senilai Rp 17 miliaran. Tidak menutup kemungkinan kabinetnya masih sangat terbuka untuk terjerat lagi, karena kekuasaan periode kedua kabinetnya baru berjalan setahun jika kursinya terpasung dalam bagi-bagi kue kenikmatan jabatan dalam kekuasaan, sebab sisa waktu masa kepresidenannya masih cukup panjang, akan berakhir tahun 2024.

 

Keteladanan Buruk

Yang terlihat dengan kasat mata, dari Presiden ke Presiden ternyata juga tidak melupakan atau meninggalkan Jas Merah dari pelajaran sejarah, di mana kita semua harus sepakat mengatakan bahwa pemerintahan rezim Soeharto sangatlah korup dan menyengsarakan rakyat. Jas Merah sebagai pelajaran untuk pembelajaran pemerintahannya, ternyata hanya memungut keteladanan yang buruknya saja. Jas Merah hanya dipakai untuk berkaca dalam cermin yang retak. Seharusnya sejarah buruk tersebut dikuburkan sedalam-dalamnya atau harus dihanyutkan ke samudra lautan lepas. Tidak tersisa lagi hingga fosil-fosil kekorupannya, karena lengsernya rezim Soeharto menelan korban jiwa, harta dan benda yang tidak sedikit. Yang mana kenyerian sejarah 1998 tidak bisa kita kuburkan sepanjang sejarah negeri ini; penculikan, penyikasaan, pelenyapan nyawa dan penembakan yang menggenangkan darah sejarah kemanusiaan.

Apa hendak dikata. Apa lacur, pelacur harus memilih jalan yang bukan takdirnya menjalani kepelacuran dan atau menjalani kehidupan sosialnya sebagai pelacuran. Takdir sosial membawanya kepelacuran. Itu masih sangat jujur. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa mengampuninya dan semoga cahaya menuntunnya kembali ke kodrat ajalinya sebagai manusia yang berhati, berjiwa atau bernurani atau manusia yang masih bisa bermimpi untuk bisa sampai ke surga di akhir kematiannya. Kepelacurannya bukan untuk kenikmatan seksualitas, bukan untuk foya-fpya atau menggantang fantasia dalam hidup. Tetepi, hanya untuk bertahan hidup, karena kesendiriannya yang tak berdaya atau karena suami tak bertanggungjawab dalam kehidupan anak istrinya.

Akan tetapi, kini yang namanya pelacuran kekuasaan yang mengakibatkan ekonomi negara pontang panting terbelit hutang, dan menjadi sebab akibat kesengsaraan, itulah yang mengada dan merajalela, tak bisa dikendalikan. Fakta sosialnya di negeri republik ini setelah reformasi justru makin gila-gilaan, makin menjadi-jadi baik di pusat maupun di daerah, dan bahkan masyarakatnya sendiri pun tak jauh, gayung bersambut. Gendang berdendang, menari-nari di atas air mata, derita dan nestapa.

Dari Presiden ke Presiden tidak mampu memilih manusia-manusia terbaik yang terhampar dari Sabang hingga Merauke untuk membantunya menjalankan amanat negara untuk bisa mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahterakan kehidupan rakyatnya, karena korupsi menjadi pilihan takdir sosialnya. Korupsi menjadi pilihan kesadaran atas takdir sosial kekuasaan, sehingga tidak ada ikhtiar untuk bisa melawan takdir sosial kekuasaan tersebut. Sungguh memedihkan nasib sosial bangsa dan negeri ini. Negeri yang terkepung oligar-oligar dan terpasung belitan hutang-hutang. Yang lebih menyakitkan kita adalah hutang rente pada kartel-kartel ekonomi kemudian hanya untuk dijadikan ladang korupsi bagi kekuasaan dengan membagi-bagikan kue kekuasaan.

Dalam negara yang beradab dan bermartabat, para pemimpin dan atau para petinggi negara (pemerintahan) menjadi keharusan untuk memberikan keteladanan yang baik. Bukan sebaliknya, mempertontonkan keteladanan yang buruk. Menggemerincingkan kegaduhan pinjam tangan. Seolah-olah karpet merah dalam istana telah disterilisasi dengan menyemprotkan desinfektan, sehingga terkesan tak ada bakteri, kuman atau kutu-kutu loncat yang berloncatan dalam karpet merah istana. Seolah-olah istana dihuni oleh orang-orang bijak yang menafikkan kekuasaan bagi dirinya, sehingga suara-suara yang bersliweran di atmosfir dikatakannya memfreming istana.

Kasus korupsi di Kementrian Sosial yang melibatkan Mensos Juliari Peter Batubara (PDIP) terjaring operasi senyap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada Jumat, 5/12/2020:02.00 WIB atas dana Bansos untuk jaring pengaman sosial dalam pandemi Covid-19 adalah keniscayaan yang tak bisa terbantahkan, bahwa karpet merah banyak kutunya. Bahkan kutunya kini berloncatan kemana-mana.

Atas Mensos Juliari P Batubara, KPK menyita barang bukti uang sebesar Rp 14,5 miliar. KPK merincikan pelaksanaan paket sembako periode pertama diduga menerima fee Rp 12 miliar  yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus Joko Santoso (Pejabat Pembuat Komitmen) kepada Juliari P Batubara melalui Adi Wahono (Pejabat Pembuat Komitmen) dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar. Untuk periode kedua pelaksanaan paket Sembako, terkumpul uang fee dari Oktober hingga Desember 2020 sejumlah Rp 8,8 miliar yang diduga akan digunakan untuk keperluan Mensos. Di tangan Mensos saja senilai Rp 17 miliaran, dengan pihak swasta Ardian IM dan Harry Sidabuke.

 

Bansos di Jabodetabek

Dengan terjaringnya OTT atas kasus suap tersebut, bisa dipastikan, bahwa pengadaan paket sembako tentu kualitasnya akan sangat rendah atau buruk dan atau tidak sebagaiman mustinya; beras, minyak goreng, sarden, kecap dan lainnya yang diterima oleh sejumlah 40 persen masyarakat atau + 107.433.206,4 jiwa (jika bansos tersebut penerimanya per KK sebagai KPM, sehingga jumlah penerimanya + 53.717.603,2 KPM), karena Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (Pemerintah) mengklaim bahwa pemerintah telah menggelontorkan Bansos untuk sebanyak 40 persen dari jumlah penduduk (masyarakat). Populasi penduduk kini sebanyak 268.583.016 jiwa. Populasi penduduk laki-laki sejumlah 135.821.768 jiwa, mengalami kenaikan sebesar 0,71 persen dari tahun  2019, yaitu 134.858.411 jiwa. Perempuan sejumlah 132.761.248 jiwa, mengalami kenaikan populasi 0,82 persen dari tahun 2019, yaitu 131.676.425 jiwa (Kemendagri-Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil per 30/6/2020).

Jika Bansos Covid-19 saja berani dicincang hingga Rp 17 miliaran oleh Mensos sehingga menjadi “moncos” dan sebesar itu yang lagi kena sial atau yang apes, karena tidak menutup kemungkinan sesungguhnya jauh lebih besar lagi, termasuk juga ada kemungkinan dana di semua Kementerian terjadi hal yang serupa. Lahan korupsi berantai dan berjamaah tersebut terutama dalam hal distribusi Bansos dalam segala bentuk, jenis dan model seperti bantuan tunai langsung, Sembako dan Bansos-bansos lainnya, bahkan Kartu Tani yang akan digulirkan pastilah sarat dengan permianan patgulipat penerimaanya. Bisakah kita membayangkannya? Tentu tidak semua dari kita mampu berimajinasi akan hal tersebut, imaji-imaji liar sekalipun.

Kita tentu akan melongo, membaca matematika dalam kalkulasi Majalah Tempo (edisi, 19 Desember 2020), korupsi Mensos mencapai setidaknya Rp 216 miliar. Memungut sedikitnya Rp 10 ribu dari setiap kemasan bansos korban pendemi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Anggaran pemerintah untuk proyek bansos Rp 300 ribu/kemasan untuk 21,6 juta kemasan yang dibagikan dalam 12 gelombang. Biaya pembuatan goodie bag bantuan dikerjakan PT Sritex, Solo-Jateng pun terlalu mahal.

Kita harus mengatakannya sangat fantastis, karena itu merupakan job order yang besar. Harga sesungguhnya tidak sampai sebesar itu atau dengan perkataan lain, harganya di-mark-up. Secara rasional bukan keuntungan yang wajar. Siapa bisa sangka, jika kita punya nurani, kecuali kebiadaban yang hanya kita punya, karena ini bansos dalam kondisi negara dalam bencana nasional pendemi Covid-19 yang entah kapan akan berakhir sebelum negara akan mengalami resesi ekonomi yang bisa melumpuhkan kehidupan negara, dan kemudian membarakan kemarahan sosial yang tak terkendali. Dalam takdir sosial, harus ada korban dan menelan korban yang dikorbankan secara sosial politik, diendingnya.

Sehabis melongo, kita ternyata masih harus berlanjut dengan mengatakan wow wow wow jika membaca matemtika kalkulasi MAKI (Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia). Bansos yang disunat diduga mencapai Rp 33 ribu/paket bantuan. Anggaran yang diterima pemborong Rp 270 ribu, keuntungan 20 persen adalah Rp 54.000. 270-54 = 216. Mestinya yang dikerjakan barang adalah Rp 216 ribu, tapi dugaannya barang (Bansos) itu hanya bernilai Rp 188 ribu. Jadi 216.000-188.000 = Rp 28.000. Goodie Bag, anggaran 15.000, namun yang ada di lapangan diduga Rp 10.000. 15.000-10.000 = Rp 5.000. Perhitungannya jadi 28.000 + 5.000 = Rp 33.000. Jadi dana yang diduga korupsi Rp 33.000 ini diduga bukan untuk JPB pribadi, tapi sebagai bancakan oknum pejabat, vendor dan supplier, yang dimakan JPB adalah Rp 10 ribu sebagaimana rilis KPK, sisanya Rp 23 ribu  ini yang diduga dinikmati oknum lain baik pejabat maupun swasta. (KompasTV, 12/12/2020.15:52 WIB. AntaraNews, Rabu, 16/12/2020. 17:15WIB: Maki Lapor ke KPK penyelewengan nilai bansos sembako Covid-19).

Sehabis kita geleng-geleng kepala, wow wow-an yang tak habis dimengerti, ternyata kita dihadapankan pada kengiluan, ngeri dan nyerinya membaca hasil audit BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), yang fakta auditnya sangat amat fentastis. Yang tentu, jika KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mampu melakukan penyelidikan dan penyidikan investigatif, kita akan semakin nyeri, karena BPKP dengan hasil auditnya (KoranTempo, 23/12/2020) membuat kita nyeri dan pedih.

Kemensos mengelola anggaran sebesar Rp 134,008 triliun dan realisasi sudah lebih dari 97,2 persen per 6 Desember 2020 atau tertinggi dari 85 Kementerian dan Lembaga. Jumlah anggaran yang masuk skema program perlindungan sosial, baik yang reguler maupun nonreguler (khusus), jumlahnya mencapai Rp128,78 triliun dan realisasi juga sudah lebih dari 98 persen (sumber: Kemensos).

Audit BPKP untuk goodie bag bertulisan `Bantuan Presiden RI melalui Kementerian Sosial saja sudah Rp 6,09 milar untuk pengadaan 7,07 juta paket senilai Rp 2,27 triliun dalam program penyaluran tahap 1-4 dan bantuan kebutuhan pokok itu. Kementerian Sosial telah menggelontorkan 22,8 juta paket bantuan kebutuhan pokok dalam 12 tahap selama April-Desember. Maka, nilai yang dicincang sebesar Rp 6,09 miliar x 3 = Rp 19,63 miliar lebih.

Jika BPKP mengatakan kisaran 140-150/paket, maka menjadi 150.000 x Rp 22,8 juta = silakan pencet kalkulator sendiri. Bisakah kita membayangkannya? Ini baru di Jabodetabek saja.  Bagaimana dengan Bansos yang ke daerah?

Jika kita membaca matematika FITRA (Forum Indonesia untuk Tranparansi Anggaran) itu lebih gila dan sadis lagi, karena FITRA menjelaskan potensi Bansos yang bisa dikorupsi hingga Rp 3,59 triliun. Matematikanya didasarkan pada analisis logika bahwa satu paket Bansos seharga Rp 300 ribu  dan ada 359,3 juta paket Bansos dengan analisis yang dikorupsi Rp 10 ribu per paket Bansos. Dalam hitungan FITRA, jika saat ini total belanja program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) bidang perlindungan sosial Rp 203,90 triliun, 53 persennya atau Rp 107,80 triliun dipakai untuk Bansos berupa sembako/logistik di Jabodetabek dan non Jabodetabek. Berdasarkan data KPK, paket Sembako di Kemensos tahun 2020 dengan nilai Rp 5,9 triliun dengan total 272 kontrak pengadaan dan pelaksanaan dengan dua periode. Yang berarti jika atas dasar matematika FITRA adalah untuk semua masyarakat penerima se-Indonesia, potensi korupsinya hingga mencapai Rp 3,59 triliun. Sungguh gila, sadis dan ini manusia tak berjiwa, tak bernurani untuk tidak dikatakan sangat biadab menari-nari di atas derita bangsa dan air mata bencana. Manusia waras ataukah manusia gila ataukah manusia gila-gilaan?

 

Bansos di Daerah

Bansos yang dekat dengan sentral istana saja tega dicincang, apalagi yang jauh. Di berbagai daerah penyincangan Bansos pun terjadi sedemikian rupa. Jika Komisioner KPK mengatakan bahwa dari Rp 300 ribu disunat Rp 100 ribu yang merupakan informasi masyarakat, lebih tepat dikatakan fakta dan data tersebut merupakan laporan pengaduan masyarakat yang real terjadi di berbagai darah.

Pelbagai model yang terjadi di daerah. Dalam banyak kasus yang terjadi, jika Bansos tersebut penyalurannya melalui rekening langsung menerima, juga masih bisa dicincang, sehingga yang sampai ke penerima tidak lagi utuh, moncos semua, ada penyunatan Rp 100 ribu/KK dan besarannya variatif untuk masing-masing daerah dan desa. Pencincangan di daerah yang ke desa-desa dan ke kelurahan, biasanya dilakukan oleh para pamong desa, tetapi juga ada yang langsung inisiatifnya dari Kepala Desa. Banos juga dimanfaatkan untuk kepentingan politik pencitraan petahana dalam Pilkada serentak 9 Desember 2020.

Di berbagai daerah, ternyata Bansos juga dicincang hingga menjadi moncos. Salah satunya adalah Indramayu. Pencincangan mulai dari Pemerintah Daerah hingga sampai ke desa. Fakta dan data yang cukup membuat kita tak henti-hentinya untuk mengatakan Masya Allah, tega nian, astaghfirullah (sambil geleng-geleng kepala) seperti berikut ini.

Bansos ditangani oleh Dinas Ketahanan Pangan (DKP) dengan penyedia barang adalah BUMD (Badan Usaha Milik, Daerah) yang bernama PD BWI (Perusahaan Daerah Bumi Wiralodra) untuk enam jenis item barang, yakni Beras Premium Poles (20 Kg), Sarden ABC 425 gram/Setara (1 kaleng), Dendeng Ikan Tembang 500 gram/Setara (1 pack), Kecap Sedap 550 ml/Setara (1 pouch), Minyak Goreng Restro 900 ml/Setara (1 pouch) dan Mie Sedap rebus/Setara (8 bungkus).

Dari tabel data (ada harga satuan, biaya kemas, biaya kirim dan banyaknya barang yang diterima oleh KPM) yang dikeluarkan oleh PD BWI untuk Bansos yang ditangani DKP adalah untuk 24.914 KPM (Keluarga Penerima Manfaat) dengan menelan anggaran Rp 37 miliar. Yang luar biasa adalah kepintarannya mematematikakannya dengan kalkulator, yaitu semua barang diberlakukan dengan dihitung adanya biaya kemasan, biaya kirim dan harga yang dimahalkan (mark up), sehingga setiap KPM dalam enam item jenis sembako tersebut senilai Rp 349.000,00.

Fakta harga pasar dari semua jenis barang tersebut lebih murah bahkan jauh lebih murah dan semua barang tersebut sudah termasuk kemasannya, artinya, kemasan tersebut sudah otomatis, bukan dikemas ulang (rekemasan), kecuali untuk kandek beras, dimana ada merek dan logo khusus sehingga harus dicetak tersendiri, tetapi harganya tentu sudah plus kemasan khusus tersebut. Salah satu contohnya adalah harga beras premium saat itu (bulan Juni, Juli dan Agustus) untuk periode paket bansos sudah harga eceran di warung-warung (warung pengecer dengan pembeli sekilogram atau dua kilogram) adalah Rp 9.000,00/Kg. Sedangkan kualitas beras yang diterima KPM lebih jelek (buruk) atau bukan kualitas premium.

Berdasarkan fakta dan data harga pada penggiling padi (heler) jika order dalam  partai besar (pembelian ton-tonan), harganya jauh lebih murah, yang kualitas premium waktu itu hanya Rp 8.000,00/Kg, dan harga beras yang seperti diterima oleh KPM (kualitas di bawah premium) hanya Rp 7.000,00 – Rp 7.500,00/Kg. Begitu juga kelima jenis barang lainnya dalam pembelian partai besar harganya selisih lebih murah dengan kisaran Rp 200,00/kaleng/pouch/pack/bungkus. Untuk beras kisaranya Rp 3.500,00/Kg. PD BWI dalam bisnisnya tidak bergerak dalam usaha dagang untuk komoditas sarden, dendeng ikan, mie, kecap dan minyak koreng. Core business PD BWI bergerak pada bidang Rice Center, Depot LG 3 Kg bersubsidi dan pupuk. Rice Center sendiri juga tidak melakukan kemitraan sistem plasma atau seperti PIR (Petani Inti Rakyat), tetapi lebih banyak beli beras jadi sudah karungan, tidak membeli gabah untuk diolah menjadi beras, dan kemudian dipasarkan ke Pasar Induk Jakarta.

Bisakah kita membayangkan atau berimaji liar jika kita masih punya nurani, berapa besar yang dicincang di tingkat kabupaten saja, belum lagi yang dicincang di desanya, sekalipun berbeda model dan cara. Dari beras saja hingga Rp 3.500/Kg x 20 Kg x 24.914 KPM, biaya kemasan Rp 1.550,00/Paket/KPM x 24.914 KPM dan biaya kirim Rp 8.050/paket KPM x 24.914 KPM.

Untuk 6 jenis barang berarti yang dicincang sebagai berikut: (1). Beras = + 3.500,00 x 20 x 24.914 KPM =? (2) Sarden =  + 1.000,00 x 24.914 KPM  =? (3). Dendeng Ikan = + 1.000,00 x 24.914 KPM =? (4) Kecap = + 1.000,00 x 24.914 KPM =? (5) Minyak goreng = + 1.000,00 x 24.914 KPM =? Dan (6) Mie sedap rebus = + 300,00 x 8 bungkus x 24.914 KPM =?. BUMD merupakan penopang utama ke APBD sebagai PAD (Pendapatan Asli Daerah). Kok, Pemkab dalam hal sekedar untuk diberi amanat untuk meneruskan Bansos dalam bencana nasional pandemi Covid-19 yang penuh derita, air mata dan keputusasaan sulitnya ekonomi, tega hati membisniskannya, mencari keuntungan rente atau keuntungan kartel  dengan tiada terkira.

Yang terjadi di depan mata itu, apakah aparatus negara yang berada dalam lembaga-lembaga pengawasan seperti Ispektorat dengan APIP (Aparat Pengawasan Internal Pemerintah) dan P2UPD (Pejabat Pengawasan Untuk Pemerintah Daerah), BPK, BPKP, Kepolisian dan Kejaksaan tidak tahu ataukah memejamkan mata? Tidak mungkin tidak tahu, karena kanal mata publik telah bicara dan bahkan telah melaporkannya. Kanal mata pers pun telah menginformasikannya dalam pemberitaan. Dan, apakah dewan yang konon mengklaim sebagai representasi sebagai wakil rakyat tidak tahu dan atau tidak mendengarnya atau telah menulikan pendengarannya dan menggerhanakan matanya.

Begitu naïf jika tidak, karena medsos, media cetak dan online telah menginformasikannya ke publik, dan para legislator tersebut kemudian berlangganan media massa atas nama lembaganya yang dibayar oleh dan atau dari uang masyarakat. Setali tiga uang, jeruk makan jeruk atau pagar makan tanaman, itulah yang coba kita bisa deskripsikan realitas empiriknya itu semua.

Jika Bansosnya dalam bentuk sembako; beras, telur, minyak gorong, kecap dan lainnya, tidak diterima secara utuh oleh penerima, sekalipun memakai sistem kartu khusus atas nama KPM. Di banyak daerah dan desa, penerima Bansos sudah terima di rumah atas sembako tersebut. Biasanya para RT atau RW atau pamong desa masing-masing yang mengambilnya, dan RT atau RW meminta uang dengan alasan ongkos jalan, dan pelbagai cara dilakukan untuk menghisap penderitaan yang tidak saja mulai dari pusat. Begitu juga Bansos yang pengambilannya melalui bank atau Kantor Pos, KPM dikoordinir dan diantar oleh pihak desa. Tentu harus ada uang jasanya. Suka tidak suka, mau tidak mau, uang yang diterima tidak utuh lagi. Masyarakat penerima pun biasanya pasrah saja, tak ada gejolak. Bahkan banyak yang mengatakan, daripada tidak menerima, ya diterima saja, wong itu uang tidak bertuan. Kita tak berkeringat, itu uang nemu, dapat bagian, masa kita tolak atau tidak mau terima.

Sesederhana itu mereka mengatakan. Bahkan tidak sedikit dengan adanya Bansos tersebut pada implikasinya membuat masyarakat menjadi pemalas untuk mencari nafkah atau malas bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Lebih suka menghitung hari, menghitung tanggal berlalu, nananti untuk menerima Bansos.

Di sisi lain, banyaknya juga terjadi, kucuran Bansos yang diberikan tumpang tindih. Kadang satu KK (Kartu Keluaga) dapat bansos lebih dari tiga paket bantuan seperti bantuan Sembako,  bantuan sosial tunai, BLT Dana Desa, listrik gratis, BLT usaha mikro kecil dan lainnya. Belum lagi bantuan untuk PKH, ibu hamil, KIP (PIP), KIS, Bansos Rastra/bantuan pangan non tunai (BPNT).

Pemerintah menggelontortkan APBN 2021, sebesar Rp 110 triliun untuk program lanjutan perlindungan  sosial  mulai Januari 2021 sebanyak 7 program; Program Kartu Sembako (Rp 45,1 triliun untuk 18,8 juta keluarga), Program Keluarga Harapan (Rp 28,7 triliiun untuk 10 juta KPM selama 4 triwulan), Bantuan Sosial Tunai (Rp 12 triliun untuk 10 juta KPM), Program Kartu Prakerja (Rp 10 triliun untuk pelatihan peningkatan skill para calon pekerja), BLT Dana Desa (Rp 4,4 triliun untuk para penerima manfaat), diskon listrik (untuk seluruh masyarakat Indonesia), subsidi gaji karyawan (Rp 37,7 triliun untuk karyawan yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan dengan gaji di bawah Rp 5 juta) dan BLT Usaha Mikro Kecil (untuk 12 juta usaha mikro kecil sebesar Rp 2,4 juta/keluarga via rekening).

Semua kucuran bantuan sosial bersumber dari hutang luar negeri dan atau mencetak SUN (surat utang negara) yang jatuh di tangan para rente atau kartel. Kita menjadi bangsa dan negara yang keberlangsungan negaranya menjadi sangat bergantung pada hutang luar negeri atau sangat bergantung pada belas kasihan negara-negara lain.

Pelbagai program dan jenis bantuan tersebut, disadari atau tidak, pada akhirnya, menjadi sebab akibat yang ini berimplikasi pada kemalasan struktural dan atau hanya menciptakan dan melahirkan kemalasan, pemalas struktural, dan perkorupsian di mana-mana. Sungguh mengenaskan, hutang luar negari hanya untuk melahirkan kemalasan, pemalas struktural semata. Kemalasan, pemalas struktural hanya akan melahirkan kemiskinan yang membuat pertumbuhan ekonomi tidak berdaya. Apalagi untuk berkompetisi global.

Hal yang lebih substansial adalah terabaikannya menghadirkan atau membangun infrastruktur produksi untuk bisa berproduksi, sehingga kita tidak menjadi sangat ketergantungan akan impor untuk memenuhi hajat hidup kehidupan bangsanya, terutama pemenuhan Sembako yang merupakan kebutuhan primer (GKM) dan bahkan kebutuhan skunder (GKNM), sehingga kita tidak hanya bisa mengkonsumsi tanpa mampu memproduksi akan kebutuhan hidup bangsanya sendiri.

Kenaikan upah buruh dan gaji pegawai, jika infrastruktur produksi diabaikan, tidak akan mampu mendorong daya beli. Hal ini dikarenakan, kebutuhan primer apalagi kebutuhan skunder menjadi ketergantungan impor, yang secara rasional, logika dan akal waras akan menghasilkan harga yang jauh lebih tinggi atau lebih mahal ketimbang kita bisa memproduksinya sendiri secara massal.

Kebutuhan primer dan atau  skunder yang murah akan menjadi kurva atau konjungtur daya beli yang memicu pertumbuhan ekonomi, karena perputaran uang tidak hanya dalam kebutuhan primer yang absolut sehingga bisa saving atau pendapatan tersisa untuk bisa memenuhi kebutuhan skunder. Akan tetapi, jika pendapatannya pun tinggi, tetapi harga kebutuhan primernya juga tinggi atau mahal. Pendapatan tersebut tidak berarti dari adanya kebijakan kenaikan upah buruh dan gaji, telebih jika kebutuhan skundernya menjadi tinggi atau mahal yang dipermainkan oleh gelombang dolar dalam transaksi berjalannya. Pendapatan yang relatif tinggi tersebut juga akan tanpa sisa dan berarti juga tidak akan bisa saving atau bisa untuk memutar daya belinya untuk kebutuhan skunder, dan bahkan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dan  pendidikan yang serba mahal, menjadi tidak berdaya. Kita akan tetap terperosok dan terjerembab pada persoalan kemiskinan yang melumpuhkan daya beli, sehingga pertumbuhan ekonomi akan tetap tertatih-tatih, tegopoh-gopoh adanya.

Garis kemiskinan berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) terbagi menjadi dua, yaitu, Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) dalam mengukur kemiskinan. Metode ini digunakan oleh BPS sejak 1998 hingga saat ini agar hasil penghitungan konsisten dan terbanding dari waktu ke waktu (apple to apple). Konsep tersebut mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah suatu batas yang disebut garis kemiskinan, tergolong sebagai penduduk miskin.

Kebutuhan primer yang murah akan melahirkan kita bisa untuk  saving, dan berarti kita juga bisa untuk mendorong daya beli dikebutuhan skundernya, sehingga pertumbuhan ekonomi berjalan dengan cukup sehat. Yang berarti pula infrastruktur produksi mampu berproduksi untuk mengisi pasar dunia (ekspor), sehingga neraca perdagangan tidak berbanding linear terbalik.

Jika kita abai akan hal tersebut,  pada akhirnya kita harus tunduk dan patuh pada Negara Pemberi Hutang dan atau akan terus dikepung oleh para oligar-oligar ekonomi, rente-rente ekonomi dan kartel-kartel dalam mafia ekonomi dunia yang bersekongkel dengan para elit politik keuasaan dan atau para petinggi negeri ini. Yang akhirnya, rakyat pula yang akan menderita, yang karena kenikmatan sesaat atas berbagai bansos yang ia terima, padahal itu dari hutang luar negeri, yang di kemudian hari akan menjerat dan mencekik leharnya sendiri.

Presiden tidak akan menanggung beban hutang jika jabatan kepresidenannya berakhir. Akankah karena hutangnya kemudian setelah tidak lagi menjadi Presiden, harta kekayaannya harus diserahkan sebagian untuk melunasi hutang negara pada saat ia menjadi Presiden. Tentu tidak! Mantan Presiden terbebas dari persoalan hutang negara. Ia akan tetap hidup mewah dan nyaman, tidak seperti kita yang terlena dengan Bansos dan selalu mengejar-ngejar Bansos.

 

Kabinet Berkorupsi

Kasus korupsi dikalangan kabinet tersebut (pejabat tinggi negara dan kroni-kroninya), mau tidak mau, suka tidak suka, adalah bagian yang tidak bisa dipisah-bataskan dengan kekuasaan Istana. Mengapa? Karena sebab, penunjukkan dan pengangkatan para kabinet adalah otoritas absolut Presiden. Apapun alasannya, tak bisa terbantahkan, jika memang Presiden dengan sadar tidak menggunakan filter lubang jarum dalam menyaring sebuah integritas dan mentalitas orang per orang dalam kabinetnya agar bisa terhindar dari potret buruk Istana? Ataukah memang karena sebab akibat kepungan kekuasaan untuk bagi-bagi kue untuk kepentingan partai politiknya dan atau partai koalisi pendukung kekuasaannya, di samping memposisikan dirinya sebagai petugas partai politik.

Kasus korupsi tidak akan bersarang atau bersemayan di kabinetnya, terlebih korupsi itu tersebut bersemayan dan tumbuh di Mensos atas dana Bansos pandemi Covid-19. Sehingga, Istana dengan potret kabinetnya tidak mampu mempertontonkan orchestra kejernihan air mengalir dalam penyelenggaraan negara. Tetapi, itulah memang hukum kausalitas bagi-bagi kue dalam kekuasaan yang merupakan realitas empiris yang menjadi fakta sebagai takdir sosial. Itu pula yang namanya ranjau takdir sosial, jika kita tidak bisa melawan takdir sosial itu sendiri dalam kepemimpinan.

 

Mentalitas

Yang dipilih dan duduk di Mensos seharusnya adalah sosok manusia yang melekat jiwa atau nurani kesosialannya, bukan pengusaha bebas hambatan. Manusia yang senantiasa melekat kenyerian sosial atas derita dan nestapa rakyatnya. Manusia yang melakat jiwa yang menengadah ke langit menatap kilauan cahaya-Nya, bukan menerawang lorong-lorong kegelapan cahaya untuk bisa bersembunyi atau bermain-main dengan kenikamatan yang menggerhanakan mata. Manusia yang sudah bisa hidup lintas perutnya, bukan perutnya masih harus diisi dengan kemegahan dan kenikmatan yang tanpa batas. Itu semua yang mungkin bisa terjaga mengemban tanggungjawab negara.

Orang-orang yang di kabinet seharusnya adalah sosok manusia yang telah lunas paganism dalam keberagamaannya. Realitas empiriknya sebagai fakta sosial adalah korupsi tidak berelasi dengan  persoalan kaya atau miskin. Apakah bersekolah tinggi (hingga doktor dan bergelar profesor) atau hanya sekolah rendah saja. Apakah bergaji besar atau kecil atau berpengasilan besar atau kecil. Apakah Islam atau bukan. Apakah beragama atau memang atheis. Apakah yang telah berkali-kali berhaji dan umroh atau yang belum sama sekali. Tidak berelasi.

Apakah yang rajin ke mesjid, gereja, kuil, wihara dan lainnya atau yang tidak pernah bersetentuhan dengan tempat-tempat peribadatan. Apakah dermawan yang selalu disiarkan televisi atau Medsos ataukah memang yang sangat tidak peduli dengan banyak hal. Itu semua,    ternyata tak berelasi dengan korupsi. Korupsi tidak dimaknai sebagai kejahatan kemanusian yang sangat tak bernurani dan atau yang harus kita katakan adalah sebagai kejahatan kemanusiaan yang sangat biadab, karena Bansos itu untuk 40 persen dari jumlah penduduk (masyarakat) dalam bencana nasional pandemi Covid-19. Ini kondisi bencana nasional. Tidak berelasi.

Ternyata, dengan fakta-kata sosial tersebut dan banyak fakta lainnya sebagai penguat argumentasi tersebut, dari pusat hingga daerah, dari pejabat tinggi hingga rakyat (termasuk lapisan akar rumput) tidak bisa melepaskan diri dari paganism dalam banyak hal, sehingga kebenaran itu bisa tidak menjadi kebenaran lagi dalam banyak hal. Kita (sibuk) beragama tetapi kita melupakan Tuhan.

Kita berkhutbah tapi kita tidak tahu lagi apa yang kita sampaikan itu, kita berkhutbah tapi melupakan Tuhan. Kita sangat berapi-api mengatakan Tuhan tetapi kita tak mampu memaknai keberadaan dan kehendak Tuhan. Kita terlampau sibuk membicarakan hidayah dan pengampunan.

Padahal, doa-doa dan takbir kita hanya sekedar untuk mengolok-olok Tuhan dengan perkataan jika Tuhan menghendaki dan itu adalah kehendak Tuhan dan itu sudah skenario Tuhan, tanpa kita mau tahu apa yang dikehendaki Tuhan dan apa kehendak-Nya, dan apa pula skenario-Nya? Otoritas absolut Tuhan telah kita ambil alih dan kita rampas dengan begitu saja oleh kita yang sangat pintar atau yang sangat keledai.

Kebenaran yang benar telah hilang. Kebenaran yang hilang tersebut ternyata berakar dari persoalan mentalitas. Jika kita menyisir dari realitas empirik sebagai sebuah fakta sosial, seperti halnya yang kita sebutkan di muka, dan latar pendidikan, apakah cetakan pendidikan sekolah agama (pesantren) ataukah sekolah umum, atau sekolahan anismisme, dan apakah beragama atau atheis, lagi-lagi, tidak berelasi dengan sebuah mentalitas seseorang, karena ternyata kebenaran yang hilang itu merupakan cerminan mentalitas. Sekali lagi, kita selalu sibuk beragama tetapi melupakan Tuhan. Mentalitas yang ajeg hanya lahir dan tumbuh dari akar keberagamaan yang mampu memaknai apa itu Tuhan dan bagaimana Tuhan itu yang sesungguhnya, bukan lahir dari keberagamaan yang paganism.

Yang menjadi keniscayaan yang tak bisa terbantahkan lagi adalah mentalitas bobrok itu lahir dari vagina keberagamaan paganism, karena fakta sosialnya adalah para pejabat tinggi yang korupsi, termasuk para Menteri bukanlah dari kasta jelata secara ekonomi, orang-orang berada dan bahkan (sangat) kaya, tetapi secara moral (mentalitas) menjadi kasta yang bobrok, karena menari-nari di atas air mata, menari-nari dan berpesta di atas kenyerian derita dan nestapa kaum papa dan duafa dalam bencana. Logika dan akal warasnya terkubur dalam paganism dalam memaknai dan menafsirkan akan kebenaran bahwa itu benar, dan bahwa itu salah atas kebenaran itu sendiri.

Mereka, bercermin dalam kaca yang retak, dan mereka tak bisa lagi mengenali kejernihan air yang mengalir tersebut untuk bisa berkaca, melihat kedalam diri, melihat bayangan dirinya yang dipermainkan riak kecil air yang mengalir jernih tersebut, sehingga akan menjadi sebuah keteladanan yang baik. Hal ini penting, karena kementerian merupakan kaki tangan perpanjangan program pusat hingga ke daerah, harus sampai ke yang berhak.

 

Data Harga Mati

Sesungguhnya sistem pengawasan yang dibuat pemerintah sudah cukup memadai baik dari sisi regulasi peraturan perundang-undangannya hingga keberadaan lembaga-lembanga pengawasannya yang dibentuk pemerintah. Aparatus negaranya dengan penghasilan yang cukup bisa sejahtera; ada gaji, tunjangan, intensif, dana perjalanan dinas, jaminan kesehatan dan lainnya yang semua itu dibayar dari uang rakyat dan atau dibayar oleh keringat dan air mata bahkan darah rakyat. Seperti kacang lupa kulitnya, dan kulitnya dihempaskan pula ke tong sampah tanpa bisa membela diri.

Lembaga-lembaga pengawasan yang ada cukup berlapis-lapis mulai dari tingkat pusat hingga daerah, ada BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), Inspektorat (dengan APIP dan P2UPD) mulai dari tingkat propinsi, kabupaten dan kota, kepolisian dengan perangkat unit kerjanya sendiri yang bernama intel, Kejari juga ada unit Intelejennya sendiri, dan BIN (Badan Intelejen Negara) jika korupsi dikatakan sebagai extra ordinary crime, ancaman bagi negara dan atau musuh negara secara ekonomi. Bukankah itu semua sudah lebih dari cukup? Yang tidak cukup apanya lagi?

Jika para aparatus negara yang berada dalam lembaga-lembaga negara tahu apa fungsi melekatnya, maka Bansos tidak akan dicincang Mensos hingga menjadi moncos dan hingga pencincangan itu sampai ke daerah-daerah dan desa-desa. Begitu juga hal-hal koruptif lainnya, sehingga negara tidak dalam kubangan genanagan korupsi hingga kini, yang makin tahun makin merajalela dan makin berjamaah, seolah-olah tidak ada lembaga-lembaga pengawasan.

Memang tidak bisa disangkal, bahwa sekalipun sistemnya sudah baik atau mendekati kesempurnaan, karena yang sempurna bukanlah ada pada kita (milik absolut Tuhan),  tetap tidak akan bisa berjalan dengan baik dan optimal, karena sebuah sistem adalah ruh yang tak berdetak seperti paru-paru, tak berdenyut seperti jantung. Sistem adalah kerangka mati. Sistem, harus ditiupkan ruh agar bisa hidup dan berjalan. Yang menghidupkan dan menjalankan sistem adalah  para pelaku sistem itu sendiri.

Sistem yang baik hanya bisa berjalan dengan baik pula jika para pelaku sistemnya cakap dan jujur, yang oleh Bradford Cadmus & Arthur JE Child (1953:15) dikatakan harus adanya praktik-praktik yang sehat dalam melaksanakan sistem oleh para pelaku sistem itu sendiri. Tanpa praktik-praktik yang sehat dan pelaku sistem yang cakap, sistem tidak akan berjalan. Dalam hal ini, fungsi-fungsi dan peran lembaga-lembaga pengawasan tidak akan berjalan atau tidak akan bisa mencegah terjadinya korupsi yang sudah sedemikian rupa cerdik pandai.

Jika kita menganut dan yakin dengan adanya pertumbuhan ekonomi, maka data penerima bansos bukanlah sebuah data matai atau data harga mati. Selama ini data Bansos seperti PKH, KIP, KIS, bantuan sosial tunai, bantuan Sembako dan yang lainnya menjadi data mati dan data harga mati. Padahal, bisa saja kemungkinannya kondisi ekonominya pulih atau sudah tidak memenuhi lagi kriteria akan hak Bansos itu sendiri.

Data Bansos itu seharusnya dinamis, fluktuatif, sehingga minimal setiap tahunnya dilakukan update data. Yang terjadi kini, saling lempar dan tidak menyelesaikan masalah. Bahkan, kini banyak terjadi diberbagai daerah, ada penerima Bansos bertumpuk-tumpuk, di sisi lainnya, justru yang seharusnya berhak penerima bansos tidak menerimanya seperti ada jompo, ada janda tua, ada lelaki tua sendirian, ada keluarga sangat miskin (fakir).

Kesemrawutan data bansos yang menjadi data mati atau harga mati, merupakan tugas pokok pembenahan Kemensos yang baru (Tri Rismaharini, yang dipanggil Ibu Risma) setelah Mensos Jualiari Peter Batubara terkena OTT KPK. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Mensos Risma akan membuat dan mengambil (political) public policy yang berakar dari persoalan social policy? Jika tidak, maka problem sosial dan Bansos bagaikan obat nyamuk bakar yang melingkar-lingkar. Menjadi abu dan arang yang akan melahirkan kemalasan (pemalas) struktural, karena Bansos yang harus dutanggung dengan hutang luar negeri, kemoncosan akan berulang terus dan membelit terus menerus adanya.

Public policy harus memecahkan dan menemukan solusi dulu atas persoalan social policy-nya, sehingga menjadi anak panah yang terukur dan tepat sasarannya. Tetapi, mungkinkah itu dilakukan Mensos Risma? Ternyata, Risma sebagai Mensos baru tinggal menjalankan dan melaksanakan saja, karena tujuh paket program telah dicetak Presiden Jokowi, sehingga menjadi amat naïf jika itu berakar dari social policy dalam public policy-nya tersebut. Maka, jika seperti itu, Bansos akan tetap menjadi pencincangan banyak kepentingan.

Ketika negara tidak mampu mengoperasionalkan sistem pengawasannya dan atau karena lembaga-lembaga pengawasan dan atau para aparatus negara yang diberi otoritas pengawasan tidak mampu mencegah dan atau membongkar praktik-praktik perkorupsian, mulai dari kebijakan yang diambil, dana yang dianggarkan hingga pada tahap pelaksanaan anggaran untuk sampai pada yang berhak menerima dan atau supaya tepat sasaran sehingga tidak menjadi moncos lagi, karena di mana-mana ternyata terjadi pagar makan tanaman, jeruk makan jeruk.  Jika pun Presiden punya itikat baik, tak akan bisa mencegah apalagi memberantasnya, jika istana mengunci diri dan selalu melempar bantahan atas realitas di depan matanya. Menjadi omong kosong jika mengatakan, saya akan menjewer sendiri dengan cara saya sendiri.

Jika mau, tak ada pilihan lain, selain negara harus membuka mata, hati dan telinga untuk mendengar, melihat dan membaca dengan baik, jujur dan jernih atas kanal mata publik (termasuk Medsos) dan kanal mata pers (media massa). Kita sangat yakin, bahwa istana tidak akan mampu melakukan pengawasan dan atau pencegahan terjadinya korupsi, karena ini adalah merupakan efek domino dari sebuah sistem bagi-bagi kue dan lainnya.

Kanal mata publik dan kanal mata pers tersebut kemudian dilakukan pengujian kebenarannya atas informasi yang diberikan dan atau yang disampaikan, dan menindaklanjutinya atas temuan dan atau (indikasi) adanya perkorupsian yang terjadi yang telah dibongkar oleh mata publik dan mata pers, seperti halnya dengan Majalah Tempo atau Koran Tempo (Selasa, 19/1/2021) yang kini membongkar kembali tragedi putar-putar  Bansos kuota super jumbo senilai Rp 3,4 triliun yang diduga melibatkan legislator Senayan dari PDIP, yaitu Herman Hery (Ketua Komisi Hukum) mendapatkan 7,6 juta paket senilai Rp 2,1 triliun dan Ihsan Yunus (Ketua Ketua Komisi Sosial) memperoleh 4,6 juta paket senilai Rp 1,3 triliun, yang kemudian diikuti oleh media lainnya untuk diinformasikan ke ranah publik dan istana, sehingga baik istana maupun APH (Aparatus Penegak Hukum) tentu tidak ada alasan untuk tidak mendengar dan atau tidak membaca dan atau tidak mempedulikannya jika pemerintah tidak membudayakan korupsi.

KPK yang masih menjadi tumpuhan publik, harus sungguh-sungguh serius untuk membongkarnya, karena kanal mata pers dan kanal mata publik telah menginformasikannya dan membeberkannya dalam ranah atmosfir publik, dan kemudian di daerah-daerah, kejaksaan dan kepolisian seharusnya gayung bersambut dalam orchestra yang sama, bukan berpangku tangan atau sengaja tidak mau mendengarkannya, tidak mau membacanya dan tidak mau ingin mengetahuinya atas tanggungjawab negara untuk menyelamatkan negara.

Negara (pemerintah) bukan kemudian bersikap sebaliknya, seperti fakta sosial politiknya sekarang. Jika ada pers (media massa) yang bisa membongkar praktik-praktik koruptif, yang seharusnya negara berterima kasih, justru malah responnya terbalik, ramai-ramai pemerintah (kalangan istana) membantah habis-habisan, berapologi dan beralibi, dan bahkan menyerang pers itu sendiri dengan mengatakan hoax pemberitaannya, fitnah dan lain-lainnya untuk mendikte publik menjadi tidak percaya, dan bahkan para penghamba kekuasaan, baik yang berada dalam kalangan kekuasaan maupun yang jauh dari sumbu kekuasaan pun beramai-ramai mengeroyok media (pers) yang membongkar kasus perkorupsian tersebut dengan caci maki dan mencemooh sebagai metofora kebiadaban etics.

Cover Majalah Tempo (21/12/2021 maupun edisi sebelumnya) dengan pemberitaannya pada edisi sebelumnya, menjadi diolok-olok kanal Cokro: Logika Ade Armando dan Akal Sehatnya. Cover Tempo yang sekarang mempertegas olok-olok balik atas logika dan akal sehatnya Ade Armando (Akademisi) dalam pemberitaan kasus Bansos. Bahkan publik kemudian di balik semiotika kasus Bansos yang digamabarkan dalam cover Majalah Tempo tersebut bisa ditarfirkan dan dideskripsikan jauh lebih melebar hingga siapa yang berada di balik semiotika cover Tempo tersebut yang digambarkan perempuan (wanita) yang berpakaian kekuasaan dan duduk di kursi kekuasaan tersebut, yang dalam mitologi kekuasaan disebut Madam.

Begitu juga yang menimpa kanal mata publik juga direspon serupa seperti halnya pers yang bisa membongkar perkorupsian baik yang masih terselubung maupun yang sudah amat terbuka, karena sudah dalam penyidikan APH (Aparat Penegah Hukum). Para penghamba kekuasaan pun gayung bersambut seperti pantun, mengeroyok dan mencaci maki, tidak yang sekolah rendah dan atau yang sekolah tinggi bahkan menjadi akademisi. Negeri ini membuat kita miris jika kita masih punya jiwa, hati nurani, masih punya logika dan akal sehat, dan jika kita tidak menjadi atheis; beragama tetapi melupakan Tuhan.

Jika negara menafikkan dan menaifkan kanal mata publik dan kanal mata pers, ini tanda dan atau cirinya pemerintah yang sesungguhnya hanya membuat metafor-metafor saja bahwa korupsi adalah musuh kita bersama, korupsi merupakan extra ordinary crime dan seterusnya yang pada akhirnya menjadi dagangan politik, politik mempolitiki. Atau menjadi sebuah identifikasi bahwa pemerintahan dengan otoritarianisme memproteksi perkorupsian yang tak terkendalikan lagi.

Negara dikemudikan oleh para penyelenggara pemerintahan yang korup, sehingga keprihatinan dan pemikiran besar yang disumbangkan oleh Adam Smith dengan Wealth of Nation hanya menjadi fantasia belaka dan bahkan menjadi imaji-imaji liar yang utopis semata, yang jika kita menggunakan teori David Ricardo akan tergambarkan kurva pertumbuhan ekonomi yang terbalik, karena terjadinya stationary state (kemadegan), yang oleh Thomas Robert Maltus dengan teori deret dan hitungnya akan menjadi kebutuhan pokok (Sembako) bertambah menurut deret hitung dan populasi penduduk bertambah menurut deret ukur, sehingga masyarakat hidup pada tingkat subsistence (pas-pasan), dan perekonomian pada akhirnya mengalami kemandegan juga karena korupsi yang terjadi di mana-mana tidak bisa dicegah dan atau dibongkar oleh pemerintah sendiri bersama para penghamba kekuasaan terus-terus membantah dan mengeroyok kanal mata publik dan kanal mata pers (yang masih berjiwa dan bernurani), menaifkannya, menafikkannya, dan bahkan para penghamba kekuasaan mengambil tindakan melaporkan dengan tudingan fitnah, pencemaran nama baik dan pemberitaan dan atau penyebaran berita hoax. Di sinilah problem kita bernegara dan berbangsa hingga kini di republik negeri ini. Akankah kita bisa keluar dari kebijakan yang koruptif dan keluar dari praktik-praktik korupsi?

Sisa waktu masa kepresidenan Jokowi, sesungguhnya masih banyak waktu untuk bisa berbenah. Tidak hanya persoalan Bansos saja, tetapi bagairma juga kita harus keluar dari hutang luar negeri dan para pengepung ekonomi. Tak ada pilihan lain, selain bahwa kekuasaan harus berjalan pada rel kekuasaannya yang diamanatkan negara, dan harus pula mengakhiri bagi-bagi kue kekuasaan yang pada akhirnya menyengsarakan rakyatnya. Istana juga harus keluar dari singgasana berpikirnya tentang kekuasaan, karena potret yang tampak dari luar yang bagaikan kaca adalah adanya politik pinjam tangan. ***

Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. E-mail: jurnalepkspd@gmail.com

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles