Jakarta, Demokratis
Sebagai orang tua tentunya kita tahu bahwa usia awal pertumbuhan, yakni usia 1 hingga 3 tahun atau dikenal dengan istilah the golden age, yang jadi saat paling krusial dalam tumbuh kembang, baik dalam memberikan pendidikan yang tepat dan juga pemberian gizi seimbang. Mengapa memberikan pendidikan usia dini dianggap penting? Apa pengaruhnya terhadap kesehatan?
Pakar sekaligus konsultan pendidikan Sielvy Megawaty memaparkan, pendidikan karakter dan kreativitas merupakan yang paling utama. Tentunya dengan mendampingi mereka, memaparkan mereka terhadap banyak hal, karena dengan semakin terpapar banyak hal, mereka akan semakin ingin mencari tahu. Anak-anak biasanya berkembang mengikuti lingkungan sekitarnya. Karena itu, karakternya pun akan berbeda-beda.
Ada anak yang pemalu, banyak bicara (cerewet), dan berbagai karakter lainnya. Misalnya pada anak yang pemalu, tentu harus diajarkan (diajak berbicara) dengan nada suara yang pelan, gestur yang lembut, sehingga mereka bisa merasa percaya diri. “Jadi pendekatannya berbeda-beda, menyesuaikan karakter anak, istilahnya nurturing healthy emotional growth,” tutur pemilik Stamford School Semarang tersebut.
Karena bukan hanya kesehatan fisik yang akan diperhatikan sehingga menghasilkan pertumbuhan yang optimal, tapi kesehatan emosional (kejiwaan) sang anak pun akan terbentuk dengan bagus. Anak-anak harus melalui tahapan perkembangan yang sesuai dengan usianya. Mulai dari bayi ketika ia bisa mengangkat kepala dan tengkurap, lalu belajar duduk, merangkak, berjalan, dan seterusnya.
Jangan paksakan anak untuk cepat bisa, karena hal tersebut pun berkaitan dengan emosionalnya. Untuk belajar motorik misalnya, motorik kasar harus lulus terlebih dahulu, baru mengajari motorik halus. Misalnya dengan mengajari mereka untuk memegang mainan.
Ketika kemampuannya dalam memegang atau menggenggam sesuatu sudah bagus, baru ajari mereka memegang pensil, misalnya mengajari mengambar dan mewarnai. Jangan dipaksa memegang pensil, apalagi kalau anaknya belum mau. Selain merasa tertekan, jemari mereka pun bisa kram karena dipaksa harus bisa.
Hindari juga menggunakan kata-kata seperti, “Kamu, kok enggak bisa-bisa sih?”, tapi gunakan kata-kata yang lebih membangun. Seperti, “Ayo, kamu bisa, sini, ibu bantu.” Tiap anak memiliki kemampuan yang berbeda-beda, ada yang cepat belajar, ada pula yang harus berulang-ulang baru bisa.
Eksplorasi
Mengidentifikasi learning style atau cara belajar anak juga bisa dilihat dengan mengajaknya beraktivitas yang mengasah kreativitas, yang mengaktifkan semua panca inderanya. Mulai dari melihat, mendengar, meraba atau memegang, menghirup dan mengecap. “Anak akan lebih termotivasi untuk belajar apabila dia bisa exploring (menjelajah) dan discovering (menggali).
Melalui dua hal itu, anak belajar menyelesaikan masalah dan bisa menggunakan imajinasinya untuk bermain,” jelas pemilik Edu First Institute tersebut. Otomatis, supaya anak bisa terus mengeksplor, sebagai orang tua harus terus mencari ide-ide baru dalam beraktivitas supaya mereka tidak bosan. Lalu bagaimana dengan pemberian gizi seimbang? Sielvy mengatakan, justru asupan gizi yang krusial adalah pada saat masih dalam kandungan.
Ibu hamil, terutama pada trimester pertama kehamilan, harus memenuhi asupan gizi seimbang karena tiga bulan pertama merupakan awal pembentukan janin. Lebih bagus lagi apabila sebelum hamil pun sudah mengonsumsi gizi yang baik. Memberikan gizi yang seimbang pada usia 0 hingga 3 tahun pun, harus bersifat seimbang.
Maksudnya, karena ingin tulang anak Anda kuat dan sehat, maka Anda memberikannya kalsium dalam jumlah banyak. Padahal kalsium yang berlebihan pun tidak bagus. “Kalsium yang terlalu banyak bisa memicu autisme, jadi berikan saja sewajarnya, jangan berlebihan,” ujar Sielvy.
Menurut pandangannya, hanya memberikan anak makanan yang serbasehat, dalam artian real food atau hanya makanan asli, bukan produk olahan atau kemasan sebenarnya tidak masalah. Hanya, pencernaan sang anak akan menjadi lebih sensitif apabila ia tidak mengonsumsi makanan rumahan atau makanan buatan ibunya.
“Ketika sedang di luar kota atau luar negeri, yang mana tidak memungkinkan untuk makan makanan rumahan, anak jadi tidak bisa mencerna makanan yang tidak sehat, misalnya fast food atau makanan instan, karena ia tidak terbiasa. Jadi menurut saya pribadi, tidak masalah apabila anak ingin cokelat, es krim atau jajanan lainnya, selama diberikan sewajarnya dan diawasi orang tuanya,” kata Sielvy. Yang namanya anak-anak pasti penasaran dengan berbagai jenis makanan yang dia lihat.
Bila Anda melarangnya, berilah penjelasan yang bisa dipahami oleh mereka. Serta baik-buruknya apabila ia ingin mengonsumsinya. Adapun di sekolah, menurut Sielvy, ada baiknya bila kepala sekolah menerapkan peraturan bagi para peserta didiknya terhadap bekal makanan yang tidak boleh dibawa ke sekolah. Misalnya dilarang membawa bekal mi instan. Hal tersebut secara tidak langsung akan mengajarkan anak untuk bijak dalam mengonsumsi makanan.
Untuk kehidupan sosialnya, anak yang sedari dini sering diajak bertemu dengan orang-orang, baik orang dewasa, anak-anak yang berusia di atas, di bawah atau seusia dengannya, akan lebih belajar mengenal lingkungan sosial daripada anak yang hanya di rumah; hanya berinterkasi dengan orang-orang di rumahnya seperti ayah, ibu, dan pengasuhnya. “Biasanya orang tua yang enggan membawa anaknya ke luar (rumah) karena takut kuman dan lainnya.
Padahal kalau di rumah terus, ia malah jadi rentan terhadap kuman,” ujar ibu dari dua anak tersebut. Ketika anak sudah memasuki usia sekolah (kelompok bermain atau taman kanak-kanak), pilih tempat belajar yang kondusif, nyaman, dan bisa menjadi ruang gerak anak untuk bereksplorasi.
Lebih bagus lagi apabila dalam satu kelas, murid-muridnya terbatas. Misalnya satu orang guru dengan lima orang anak didik. Penting juga memperhatikan kecukupan alat permainan serta kebersihan sekolah. Memberikan pendidikan anak tentu saja tidak hanya sekolah, tapi yang terpenting adalah belajar di rumah bersama orang tua.
Sielvy memaparkan, biasakan anak dengan disiplin dan ritual. Misalnya membereskan mainannya setelah selesai bermain, menggosok gigi sebelum tidur, disiplin tidur malam sebelum jam 9, dan lainnya.
“Intinya, berikan sistem reward and punishment terhadap hal baik dan buruk yang dia (anak) lakukan,” tutur Sielvy. Berikutnya, selektif terhadap program televisi dan juga channel Youtube yang ditonton, selalu dampingi mereka ketika menonton. Lebih bagus lagi apabila Anda memberlakukan jam khusus untuk mengakses tontonan-tontonan tersebut.
Misalnya dalam sehari hanya boleh menonton paling lama dua jam atau hanya boleh pada saat akhir pekan. Jangan menjadi helicopter parents, yakni orang tua yang selalu siap membantu dan meladeni anaknya. Hal tersebut akan membuatnya manja dan malas mencari solusi. Semua kebiasaan terbentuk sejak kecil.
Dengan berusaha sendiri, tentunya ia akan belajar mandiri dan mencari solusi untuk masalah yang dihadapinya. Misalnya ia ingin mengambil mainan (yang bisa dijangkau), tapi meminta orang tuanya atau pengasuhnya untuk mengambil, maka minta ia untuk mengambilnya sendiri dan mengembalikan lagi ke tempatnya setelah selesai.
Biasakan anak-anak tidak menyuruh orang lain untuk membereskan kekacauan yang mereka buat. Terakhir, gunakan bahasa cinta kepada anak, termasuk ketika kita memerintahkan sesuatu kepada mereka. “Berikan aura yang positif, karena itu akan memberi sugesti yang bagus untuk mereka,” papar Sielvy. (Red/Dem*)