Tentu saja selesai kita tunaikan puasa bulan Ramadhan ada hasil perubahan. Salah satu wujudnya pada perilaku seorang muslim adalah kepedulian antar sesama atau peningkatan empati.
Takrif sikap empati judul di atas adalah hidup yang peduli dengan sesama apa yang ada dan tidak angkuh atau sombong berusaha. Yaitu orang yang ridha menerima kenyataan. Keridhaannya itu diisi dengan terus berbuat bekerja baik dan berusha.
Dalam istilah lazimnya adalah selaras dengan makna baik yang bersyukur. Ia ibarat sebuah pohon, yang tegak, tidak tumbang diterpa badai. Lalu karena itu, sang pohon berdahan beranting dan berbuah.
Sebaliknya hamba yang lemah, diibaratkan identik dengan pohon terombang ambing, maka pohonpun kerdil, merana, tidak berbuah dan terkulai mati.
Pokok soal apa perspektif qanaah jika dikaitkan pada keperluan masa depan bangsa.
Persoalan tersebut mari kita tinjau dari beberapa sisi, yaitu:
Pertama, dari hubungan vertikal orang yang ridha adalah hamba yang memelihara pikirannya dan gerakannya secara konsisten dengan Chaliknya. Dari mulutnya tidak terputus permohonan, perlindungan, petunjuk dan taufiknya. Ringkas kata, ada kekuatan doa pada dirinya, sehingga tidak mudah untuk putus asa.
Artinya orang yang ridha memiliki modal kekuatan atau power penuh. Kekuatan tidak hanya pada fisik dirinya melainkan juga kekuatan batinnya.
Kedua, dilihat dari sisi hubungan horizontal orang yang qanaah adalah orang ridha yang menjaga hubungan baik dengan sesama. Mereka membangun relasi satu sama lain karena kesadar bahwa ia sebagai mahluk sosiologis. Mereka hidup berkelompok saling memerlukan. Prinsip hidup mereka adalah mustahil kalau manusia itu hidup sendirian.
Hidup dengan ridha dengan kebersamaan, sakit sama sakit, senang dinikmati bersama. Artinya jika ibarat tubuh, jika ada bagian tubuh sakit, maka seluruh tubuh itu merasakan sakit pula. Bukan sebaliknya, sakit ditanggung sendiri tidak ada yang peduli. Juga kalau senang dinikmati sendiri, tidak ada kemauan untuk membagi kebahagian dengan orang lain.
Dengan paparan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa sikap hidup qanaah, atau hamba rida yang bersyukur mempunyai nilai lebih karena keredaan dan semangatnya berbuat baik kepada sesama.
Dari nilai lebih tersebut yakni keredaan dan spirit berbuat baiknya, terbangun dua hal, yaitu:
Pertama, sebagai fungsi relasi vertikal dengan Chaliknya.
Kedua, karena fungsi relasi  horizontal  kepada  sesama  sebagai  bagian konsep sosiologis.
Kembali pada pertanyaan pokok di atas yaitu apa perspektif syukur untuk masa depan, maka dapat dinyatakan bahwa, hamba yang bersyukur adalah hamba yang diharapkan. Karena memiliki kekuatan yang bisa diandalkan. Bangsa yang bersyukur memerlukan potensi kekuatan. Atau dengan kata lain punya powerful untuk membangun dan mengisi masa depan. Semoga!
Jakarta, 1 Juni 2021