Jakarta, Demokratis
Pakar politik Saiful Mujani menyebut demokrasi dan stabilitas politik di Indonesia sedang berada dalam ujian berat. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akan menjadi oposisi tunggal dengan kekuatan yang tidak berarti. Pandangan itu disampaikan dalam catatan Saiful yang dibagikan kepada wartawan, Sabtu (13/3/2021).
Hal ini, menurut Saiful, memunyai konsekuensi lain. Dijelaskan, jumlah warga yang tak puas dengan kinerja pemerintah memang bukan mayoritas, tetapi cukup besar atau sekitar 30%. Saiful menilai angka tersebut menjadi lahan cukup luas untuk membesarkan PKS.
Saiful menuturkan, karakteristik PKS selama ini adalah berpolitik dengan narasi Islam. Dengan posisi PKS sebagai oposisi tunggal, maka seolah-olah hanya PKS yang menjadi wakil umat Islam berhadapan dengan pemerintah.
“Narasi ini bertemu dengan fakta bahwa umat Islam memang terbelah secara politik. Pada dua Pilpres terakhir, umat Islam terbelah dua. Yang membuat Jokowi menang di dua Pilpres itu adalah pemilih nonmuslim. Dengan PKS sebagai oposisi tunggal, polarisasi politik karena identitas kemungkinan akan semakin dalam. Demokrasi dan stabilitas politik kita dalam ujian berat,” kata Saiful.
Saiful mengatakan checks and balances menjadi pembeda antara demokrasi dengan sistem lain. Menurut Saiful, DPR seperti rem mobil yang bisa ikut menjaga agar pemerintah berjalan terarah. Tidak menabrak sana sini. Dengan begitu, program sesuai dengan yang telah disepakati.
“Checks and balances itu mensyaratkan ada kekuatan DPR yang otonom atau independen dari pemerintah. Independensi itu terkait dengan apakah partai yang punya wakil di DPR itu anggota koalisi pemerintah atau tidak,” ucap Saiful.
“Bisa saja anggota koalisi itu berperan untuk checks and balances, untuk kontrol pemerintah, tapi dalam prakteknya tidak mudah, tidak cukup independen, maka checks and balances itu lebih bisa diperankan oleh partai yang berada di luar koalisi,” imbuh Saiful.
Saiful menyatakan, kekuatan partai di DPR yang di luar koalisi tidak mesti harus mayoritas, tetapi wajib cukup besar. Sebab kalau mayoritas dan kuat sekali, bisa membuat pemerintahan deadlock. Dikatakan, cukup 40-45% anggota DPR dari partai bukan pendukung pemerintah.
Saiful menambahkan, memang tidak ada aturan jumlah partai yang dibolehkan untuk menjadi anggota koalisi pemerintah. Sekarang ini, lanjut Saiful, pemerintah boleh saja merangkul semua partai. Menurut Saiful, hal ini bisa membuat checks and balances lemah atau bahkan mati.
“Ini harus dipikirkan agar ada aturan tentang itu,” kata Saiful.
Saiful mengungkap, pada masa Presiden keempat Abdurrahman Wahid, tidak ada partai yang jelas oposisi. Namun, Golkar yang berkekuatan di DPR sekitar 25% cukup berperan untuk jadi motor checks and balances itu. Ditambahkan, ketika Presiden kelima Megawati Soekarnoputri juga tidak cukup jelas partai oposisinya kecuali PKB.
Saiful menuturkan, pada masa Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kekuatan checks and balances diperankan oleh PDI Perjuangan, Partai Gerindra, dan Partai Hanura.
“Kekuatan mereka sekitar 30% di DPR. Lumayan. Kasus yang menonjol adalah interpelasi Bank Century. Juga bersebrangan soal UU Pilkada antara DPR dan Presiden,” ujar Saiful.
“Pada term pertama presiden Jokowi, checks and balances dapat diperankan oleh Gerindra, Demokrat, dan PKS. Kekuatan mereka juga sekitar 30%. Lumayan. Pada term kedua presiden Jokowi, Gerindra dan Prabowo yang jadi lawan utama Pilpres 2014 dan 2019, takluk pada pemerintah dengan imbalan dua jabatan menteri. Ini kejadian politik langka di kolong langit,” demikian Saiful.
Saiful menyatakan, PKS dan Partai Demokrat yang berada di luar pemerintah bersikap oposisi. Terlihat dari sikap dalam UU Cipta Kerja yang merupakan inisiatif pemerintah, dan revisi UU Pemilu. Dua partai itu menginginkan revisi seperti partai lain sebelumnya seperti Golkar dan Nasdem. Namun, kemudian tinggal dua partai itu yang ingin revisi.
“Kekuatan PKS dan Demokrat di DPR hanya sekitar 15%. Ini merupakan jumlah yang paling kecil sejak Presiden SBY,” kata Saiful.
Sekarang, menurut Saiful, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko ditetapkan menjadi ketua umum Demokrat melalui Kongres Luar Biasa (KLB).
“Bila hasil KLB ini diterima pemerintah dan menang di pengadilan jika AHY menggugat, bisa dipastikan Demokrat juga akan bergabung dengan pemerintah, maka tinggal ada PKS sebagai oposisi. Kekuatannya sekitar 8% saja. Bila tinggal 8% oposisi, maka checks and balances bisa dikatakan hilang dalam demokrasi kita. Demokrasi yang demikian sebenarnya bukan demokrasi, setidaknya demokrasi yang lemah,” ucap pendiri SMRC ini. (Bs/Dem)