Jakarta, Demokratis
Pemberian bantuan hukum oleh Organisasi Bantuan Hukum (OBH) memiliki peranan yang sangat besar yakni, mendampingi kliennya agar tidak akan diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh aparat. Demikian juga untuk pembelaan dalam hal materi, diharapkan dapat tercapainya keputusan yang mendekati rasa keadilan dari pengadilan.
Untuk penyelenggaraan pendanaan Organisasi Bantuan Hukum (OBH) dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Alokasi dana APBN untuk penyelenggaraan bantuan hukum adalah wujud kewajiban pemerintah dan disalurkan melalui anggaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagai penyelenggara bantuan hukum.
Namun kenyataannya, pemberian bantuan hukum oleh Organisasi Bantuan Hukum (OBH) terkadang lari dari konteks tujuan yang sesungguhnya. Tidak sedikit Organisasi Bantuan Hukum yang hanya memanfaatkan alokasi dana yang dibebankan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ini. Kehadiran OBH hanya dikarenakan adanya cost operasional dari pemerintah. Saat persidangan, penasehat hukum terkesan tidak sungguh-sungguh memperjuangkan kepastian hukum yang adil terhadap kliennya.
“Kehadiran OBH tersebut harus jelas. Visi dan misinya apa. Jangan hanya terpanggil karena adanya alokasi dana dari pemerintah,” ujar Wakil Sekretaris Jenderal DPN Peradi, Mohammad MM Herman Sitompul SH MH, di Jakarta, Sabtu (9/1/2022).
Lanjut Herman, bantuan hukum yang diberikan oleh negara melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia bertujuan agar semua lapisan masyarakat yang kurang mampu setara di muka hukum. Dapat terpenuhi hak-haknya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011.
Oleh karena itu, sambung Herman, OBH harus berpraktik idealis, kritis, serta berani menyuarakan kebenaran dan keadilan di persidangan. Jangan hanya menjadi pelengkap dalam sistem peradilan semata-mata. Setiap penasehat hukum yang ditunjuk untuk semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, mampu menjamin dan memenuhi hak bagi penerima bantuan hukum untuk mendapatkan akses keadilan.
“Tujuannya jelas, melayani masyarakat pencari keadilan khususnya masyarakat yang tidak mampu, untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,” papar Dosen tetap FHS Unma Banten yang juga merupakan Dosen terbang Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) ini.
Oleh karena itu, Herman berharap, Organisasi Bantuan Hukum yang ditunjuk mendampingi klien, memiliki sifat profesionalisme dan rasa peduli tinggi. Penesehat hukum harus korektif dan berani angkat bicara. Harus ada eksepsi untuk mengungkap fakta-fakta persidangan agar terang benderang.
“Hanya karena negara yang membiayai, penasehat hukum tidak korektif. Tidak berani angkat bicara. Akibatnya sidang terkesan dikondisikan. Cepat-cepat saja putus. Yes-yes saja,” imbuhnya.
Di akhir harapannya, advokat Batak bersuara “ronggur” menyakini jika Organisasi Bantuan Hukum tetap selalu berupaya meningkatkan kinerja sebagai pelayan hukum. Walau memberi bantuan dengam cuma-cuma, tupoksi sebagai advokat tetap menjadi patokan utama, sehingga anggaran yang diberikan oleh pemerintah tidak sia-sia dan bertepat guna.
“Mari sama-sama kita belajar dan memahami tujuan sesungguhnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2021. Masyarakat para pencari keadilan wajib kita perjuangkan, sebagaimana kita menangani kasus-kasus biasa bertarif operasional cost dan succes fee,” pungkasnya. (MH)